Malam ketujuh. Kami
masih selengkap kemarin: aku, Markuat, Watim, Gopar, Senen dan si tua berbadan
kecil itu, Mat Wiji. Orang tua itu jangan ditanya, dia sudah sejak malam
pertama berada di sini sementara beberapa dari kami, para pemuda kampung dibagi
menjadi tiga kelompok besar untuk bergantian menjagai makam sialan itu. Sialan
kataku karena yang ditanam di sana justru bukan orang baik-baik.
"Sagrip itu," kata seseorang
yang pernah kudengar, "Bisa kaya raya karena punya pesugihan.
Lihat saja, kerjaannya tidak jelas juntrungannya, tiap malam hanya cari
kesenangan joget sama lengger dari kampung satu ke kampung lainnya,
menghambur-hamburkan uang seenak udel, judi, mabuk-mabukan, tapi tetep saja
uang di tangannya tidak pernah habis. Dia memang punya buto ijo."
"Selain menumbalkan manusia, kelak
jika waktunya sampai, dia pun akan mati dicekik piaraannya itu."
Sudah sering orang-orang bercerita begitu
hingga ketika kemudian Sagrip itu tujuh hari yang lalu ditemukan mati di
kamarnya selepas semalaman berhura-hura hingga pagi, cerita itu seolah-olah
menemukan pembenaran. Aku memilih untuk percaya saja, toh kejanggalan dalam
hidup bahkan kematian orang itu memang jelas sekali. Apalagi dengan embel-embel
hari kematiannya itu tepat di jumat kliwon dan weton almarhum itu pun ternyata
sama dengan pasaran kematiannya pula. Jumat kliwon.
Bukankah mayatnya merupakan sasaran yang
baik buat para pencuri mayat? Para pencari pesugihan dan penganut ngelmu hitam
seperti punya telik sandi jempolan yang akan mengabarkan kematian-kematian
seperti itu. Celakalah makam orang yang mati pada jumat kliwon, tubuhnya bisa
lenyap setelah lebih dulu makamnya dibongkar paksa. Jadilah kami harus berjaga
tujuh hari penuh di makam sialan ini atas permintaan keluarga si Sagrip yang
sudah jadi mayat itu.
"Baru lepas isya' tapi aku sudah merkinding,"
kudengar suara Watim, pemuda sebayaku yang berbadan paling besar tapi nyalinya
seukuran jambu pentil.
Wajahnya kurang bisa kulihat jelas
karena lampu teplok hanya satu dan itupun digantungkan di kayu nisan. Setelah
pandanganku mengedar aku baru sadar, ternyata memang kami tidak bisa saling
melihat dengan jelas.
"Gara-gara Mat Wiji kiye,
" kudengar satu suara lagi, Gopar, pemuda yang paling tua di antara kami
bergerak-gerak dari duduknya yang paling dekat dengan tempatku duduk.
"Kenangapa?"
tanyaku.
"Lampu teplok yang dinyalakan cuma
satu. Bahaya tadi katanya. Justru kalau bahaya bukan lebih bagus kalau lampu
teplok dinyalakan semua?"
Aku menggeremeng.
Ada alasannya. Kata Mat Wiji ini malam
terakhir, kesempatan terakhir juga buat para pencuri mayat yang mungkin sudah
mengamati makam sialan itu sejak malam pertama. Menurut perhitungannya, segala
resiko akan diambil oleh orang-orang pencari kesaktian atau pesugihan itu untuk
mencuri mayat itu malam ini, karena setelah tujuh hari tidak akan ada yang akan
mereka dapat kecuali mayat busuk dan tidak bertuah lagi.
Dengan menyalakan satu teplok, justru
akan lebih mudah mengawasi dari tempat Mat Wiji kini bersembunyi agar
keberadaannya itupun tidak diketahui orang-orang yang berniat buruk, sementara
kami yang muda-muda dan sebagian besar memang penakut disuruhnya untuk berjaga
di sekitar makam itu. Cara berpikir orang klenik memang tidak mudah dimengerti.
"Gemagus!"
kudengar seseorang memaki dan suara kepala yang dikeplak, Gopar mengaduh, Mat
Wiji tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya.
"Aku yakin belum sampai tengah
malam nanti kau justru sudah tidur mendahului lainnya seperti malam
kemarin!"
"Halah, aku pikir bapake lagi
keliling. Tahu juga kalo lagi dirasani," kata Gopar lagi, yang lain
tertawa.
Mat Wiji itu melompat dengan tubuhnya
yang kecil dan ringan itu menyebelahiku. Tercium bau kemenyan dan miyak duyung
dari tubuhnya membuatku sesak dan berdebaran. Aku yakin malam ini dia
jadi lebih serius, justru di malam terakhir.
"Gawat," katanya kemudian.
"Gawat apane, Pak?" tanya
Markuat yang sepertinya sangat santai tiduran di atas makam seseorang beberapa
kaki dari makam yang kami jagai itu. Dua kakinya ditumpangkan di kepala nisan.
"Ada suara gaok di sudut barat,
tapi aku belum yakin," jawab Mat Wiji serius sambil mengeluarkan kotak
tembakau lintingannya.
Kami hanya diam, malah seperti sama-sama
menunggu Mat Wiji selesai melinting rokoknya. Senen yang duduk menyendiri di
sudut sebelah utara sampai perlu untuk beringsut mendekat pada jangkauan terang
teplok.
"Udud,
Bas? Nyah..."
Mat Wiji menyorongkan kotak tembakaunya yang dengan halus kutolak.
"Aku mau, Pak." Seru Markuat
buru-buru bangkit dari posisinya, mendekati kami dan mengambil kotak tembakau
itu dari tangan Mat Wiji.
Yang lain pun serentak merubungnya.
Di sebelahku, Mat Wiji menghembuskan
asap rokoknya ke udara. Tangannya menggamitku ketika kemudian dia berkata:
"Hanya kau dan aku malam ini."
Sungguh, aku tak tahu apa maksudnya.
*****
Lewat tengah malam, sepertinya. Tidak
ada apa-apa yang terjadi seperti malam sebelumnya ketika kelompok kami ini
mulai berjaga. Mat wiji pun telah nganglang lagi, berkeliling untuk mengamati
keadaan sementara yang lain setelah sama-sama menghirup kopi bebeg jagung,
masing-masing memilih tempat sendiri-sendiri di sekitar makam yang kami jaga
untuk merebahkan diri.
Lampu teplok telah kuganti karena
ternyata Watim yang bertugas menggantinya justru telah tertidur dengan cepat.
Memanglah kurang terang, tetapi bulan yang sepotong telah tergelincir ke arah
barat dan justru cahayanya lebih membantu dibanding teplok yang telah berganti
itu sehingga aku bisa mengerti keadaan tanah pekuburan yang gelap gulita itu.
Mungkin juga karena mataku yang telah terbiasa.
Kuedarkan pandanganku. Tanah pekuburan
ini sebenarnya sangat luas, lebih luas dari pemakaman di kampung-kampung
tetangga yang rata-rata hanya unggul panjang. Tanah pemakaman ini justru
berbentuk segi empat yang sama panjangnya dan letaknya lebih ke selatan mendekati
bibir pantai. Selebar apapun, tetap saja hanya diisi bangkai, pikirku.
Pandanganku kemudian terhenti pada
sebuah makam yang besar karena telah diberi dinding batu di sekitarnya dan atap
tinggi yang hanya terlihat hitam. Makam keluarga Mbah Singa, seorang tetua di
jaman kakekku dulu. Aku tertegun sebentar karena melihat sesuatu bergerak-gerak
di sana, tepat di depan gerbang kecilnya yang menghadap ke arahku.
"Sst ... Mar!" panggilku
pelan pada Markuat yang kulihat sedang duduk bersandarkan nisan dan berkerodong
kain sarung tidak jauh dari tempatku berdiri.
Kudengar dia hanya melenguh sedikit.
"Nen!" aku mencoba memanggil
yang lainnya, "Par!"
Tidak ada jawaban kecuali hanya
dengkuran Watim yang terdengar seolah memenuhi pekuburan yang hening itu. Dadaku
berdebaran, sementara pandanganku tetap lekat kepada apa yang kulihat
bergerak-gerak itu.
Aku bukanlah seorang pemberani, tapi
entah kenapa saat itu aku merasa sangat ingin tahu dan tanpa pikir panjang lagi
berjalan terbata-bata mencoba untuk mendekat. Sekira hanya beberapa puluh
tombak dari makam Sagrip letaknya, tapi aku harus beberapa kali memutar
menghindari nisan-nisan yang tinggi ataupun pohon kamboja, sehingga
memperlambat jalanku.
Sampai di depan tembok pembatas makam
keluarga Mbah Singa itu aku mulai mencari-cari, tapi apa yang kupikir sesuatu
yang bergerak-gerak tadi itu telah lenyap. Jangkrik! Apakah mataku saja yang
menipuku?
"Pak Amat!" panggilku pelan,
berharap apa yang kulihat bergerak-gerak itu adalah sosok Mat Wiji.
Tidak ada jawaban. Kupanggil sekali
lagi, sama saja. Aku surut ke belakang dan pelan-pelan berbalik untuk kembali
ke tempatku karena teringat bahwa akulah satu-satunya yang masih terjaga, tentu
saja selain Mat Wiji yang entah sedang nglanglang kemana,
mengawasi dan berkeliling ke setiap sudut tanah pekuburan ini.
Sesuatu menghentikan langkahku.
Entahlah, tiba-tiba saja seorang anak perempuan berkemben jarik muncul di
hadapanku. Matanya mencorong seperti mengeluarkan lidah api di malam yang gelap
itu saat menatapku, tapi anehnya aku tidak menjadi kaget atau takut.
"Eh?" itu saja seruan yang
keluar dari mulutku.
Kulihat anak itu nyengir dan mengangkat
tangannya, menyodorkan sesuatu kepadaku.
"Apa itu?" tanyaku.
"Ambil dan pulanglah,"
kudengar katanya.
"Aku kau suruh pulang, Nok?"
tanyaku sambil tertawa," Tidak bisa, aku ada keperluan dengan makam si
Sagrip."
"Pulang atau tidurlah saja,"
katanya lagi berkeras. Tangannya masih terangkat.
"Sebenarnya ingin, tapi aku tidak
bisa. Eh, kau ini dari mana, Nok? Malam-malam begini masih bermain di sini.
Orang tuamu tidak mencari?"
"Dasar goblok!" serunya marah.
"Eh?"
"Kalian semua goblok! Tidak ada
untungnya menjagai makam itu!" teriaknya sambil meloncat untuk menamparku.
Aku tidak sempat berkelit, sehingga
tangannya yang kecil itu telak mendarat di pipi kiriku. Waduh, biyung! Tanpa
dapat kumengerti, aku langsung jatuh tersungkur ke tanah seperti pohon pisang
yang dibabat. Hanya bisa kudengar cekikikan anak itu yang tiba-tiba saja
melarikan dirinya melompat-lompat antara nisan-nisan yang berjejer sambil
berteriak-teriak:
"Pulang! Pulang! Pulang!"
"Jangkrik!" makiku.
"Apa yang jangkrik?" Mat Wiji
tiba-tiba telah berada di atasku, merenggut kerah bajuku dan menarikku bangkit.
"Anak kurang ajar itu!"
"Anak yang mana?"
"Yang tadi. Baru saja dia
menyuruhku pulang dan menyodorkan sesuatu."
Air muka Mat wiji berubah.
"Sesuatu? Apa?"
"Entahlah, aku tidak menerimanya
dan dia menamparku."
Mat Wiji tertawa terkekeh-kekeh
melepaskan kerah bajuku..
"Bodoh sekali kau, dia pasti
memberimu uang. Kenapa tidak kau terima?"
"Uang?"
"Ya, uang. Aku telah ditawarinya
sejak hari yang pertama, tapi aku menolak dan kini di hari terakhir dia
melakukan hal yang sama padamu."
"Dari hari pertama?Dia siapa?"
"Teman kita..rupanya dia bukanlah
orang yang kasar."
"Siapa?"
"Pemburu bangkai!"
*****
Sulit masuk di akal, tapi bagaimanapun
juga sedikit dari yang diceritakan Mat Wiji setelahnya bisa kupahami. Anak yang
kulihat tadi adalah salah satu piaraan orang yang berngelmu tinggi yang ditugaskan
untuk membujukku pulang . Adapun maksud Mat Wiji dengan mengatakan pemburu
bangkai itu bukanlah orang yang kasar karena ternyata dia bertindak
hati-hati sekali, tidak ceroboh sejak hari pertama dan tidak grusa-grusu menyerang
para penjaga dengan kasar yang mungkin bisa mengakibatkan cidera atau bahkan
yang lebih parah lagi: kematian.
"Bersiaplah. Apa yang kau alami
barusan itu hanya gangguan kecil dan upayanya membujuk agar makam itu tidak
usah dijagai. Apalagi ini malam terakhir dan dia tidak punya kesempatan lagi
selain malam ini," kata Mat Wiji.
"Kenapa yang lain tidak
dibujuknya?"
"Mereka tidak perlu dibujuk."
"Sih kenangapa?"
"Kau lihat saja," jawab Mat
Wiji sambil mengedarkan pandangan ke sekitar makam Sagrip di mana kawan-kawanku
yang empat orang itu tidur, "mereka bukan ancaman buatnya. Dari empat
temanmu itu siapa kira-kira yang bisa kau bangunkan sekarang? Aku
menantangmu."
"Gopar," kataku yakin sambil
berjalan menuju tempat Gopar berbaring dan langsung menendang kakinya.
Ajaib, dia tidak bangun. Beberapa kali
lagi kutendang kakinya itu dan kugoyang-goyang badannya, dia diam saja.
Begitupun kulakukan pada yang lain, tapi mereka pun sama saja. Mat Wiji
kemudian hanya terkekeh sambil mengeluarkan kotak tembakaunya.
"Kenapa mereka, Pak?"
"Menurutmu?"
"Tidur."
"Aku sudah tahu."
"Lha?"
"Biasanya apa yang bikin orang
tidur seperti mati?"
"Sirep?"
"Nah."
"Tidak mungkin."
"Lha?"
"Kalau memang sirep, kenapa mataku
tetap mentheles?"
Mat Wiji terkekeh lagi mendengar
pertanyaanku dan menyalakan rokok lintingannya.
"Rogoh saku celanamu!"
perintahnya. Aku manut. Setelah merogoh saku celana komprangku yang memang
hanya satu dan letaknya di belakang, aku menemukan sehelai daun dadap srep berukuran
kecil dan dilipat di sana.
"Apa ini?" tanyaku sambil
membuka lipatan itu dan mendekatkannya pada lampu teplok. Samar-samar,
aku melihat beberapa bentuk yang menyerupai aksara-aksara yang tidak kupahami.
Sepertinya di goreskan dengan arang.
"Rajah," desisku.
Mat Wiji tertawa lagi.
"Obat anti tidur. Anti sirep. Aku
hanya memberikannya untukmu," katanya masih terkekeh.
"Kapan bapake masukin ini ke
saku?"
"Tadi.Yang jelas, hanya kita berdua
malam ini."
Dadaku berdebar-debar. Setelah
penjelasannya tentang gangguan yang tadi, apakah setelah ini masih akan ada
gangguan lagi?
"Kemari kau," katanya setelah
meletakkan puntung rokoknya pada sisi sebuah nisan.
Aku beringsut mendekat.
"Apapun yang terjadi nanti, jangan
tunjukkan ketakutan, jangan berkata apapun, jangan lari dan jangan tutup matamu
kecuali untuk berkedip. Jangan pula tutup hidung dan telingamu," katanya
kemudian sambil mengeluarkan sebuah kantung dari saku celananya, membukanya dan
menumpahkan isinya yang ternyata adalah tanah pada telapak tangannya.
Diludahinya tanah itu, lalu dengan jari telunjuknya itu di sentuhnya
sedikit-sedikit dan dioleskannya ke sekitar mata, hidung, telinga dan mulutku.
Sisa tanah itu kemudaian diratakannya ke seluruh lengan dan kakiku.
"Apa ini, Pak?" tanyaku tambah
berdebar.
"Tanah yang aku ambil dari kuburan
bapakku."
"Biar?"
"Biar tidak digigit nyamuk,"
jawabnya seperti asal-asalan sambil tertawa terkekeh lagi.
"Jangan bercanda, Pak,"
kataku.
"Eh, betul ini," katanya lagi
setelah selesai membaluri lengan dan kakiku dengan apa yang disebutnya tanah
kuburan bapaknya. Lalu sambil menepuk-nepuk kepalaku mengucapkan sedikit mantra
di telingaku: "Duh, Gusti kang murbing
dumadi..mugi slamet jabang bayine Basuki."
Makin berdebar saja aku mendengar itu.
"Ada apa sih, Pak?"
"Sst..waktunya sudah hampir datang.
Kau berani melihat mahluk gaib, kan?"
"Tidak."
"Sudah kebacut. Ndangak!"
Aku manut saja dan mengangkat wajahku
sementara dia dengan sigap meneteskan sesuatu di kedua mataku. Aku sedikit
mengaduh karena rasanya sangat-sangat pedih. Itu belum selesai, setelah itu dua
telingaku pun ditiupnya.
"Pedih sebentar, nanti juga baik
lagi."
Kukerjap-kerjapkan mataku untuk
mengatasi rasa pedih itu dan membiasakan penglihatanku kembali. Kulihat dia
tesenyum di depanku.
"Nah, coba kau tengok ke
kiri," katanya, "ingat, jangan tutup mata, telinga atau
hidungmu."
Masih manut, aku menuruti katanya itu.
Awalnya sangat kabur walaupun jelas kulihat sesuatu. Sesuatu yang putih dan
berada di atas makam Sagrip yang masih baru. Sesuatu itu makin jelas dan....apa
yang kulihat kemudian itu membuatku terkejut setengah mati hingga aku sedikit
terlonjak dari dudukku!
Jangkrik anyang-anyangen! Wedus bandot!
Setan alas! Asu buntung, renganen! Hatiku memaki-maki
tiada habis, tetapi mulutku tetap bungkam karena kejutan itu.
"Bagaimana?" tanya Mat Wiji
masih terkekeh-kekeh.
Apa yang kulihat benar-benar belum pernah
kubayangkan sama sekali. Dalam terang lampu teplok yang tidak seberapa itu, aku
melihat sesosok lelaki tua tanpa busana yang sangat pucat sehingga putih
seluruh tubuhnya, tengah duduk santai memandangi lampu teplok. Sesekali kulihat
pula dia menyorongkan tubuhnya itu dan wajahnya mendekat pada api teplok lalu
lidahnya keluar dan menjilati kaca torong penutup api!
Sedikit gemetaran aku mengalihkan
pandanganku kepada Mat Wiji. Aku masih ingat pesannya, tidak menutup mataku
kecuali untuk berkedip. Akan tetapi yang terjadi, mataku malah sulit untuk
sekedar berkedip karena takjubku.
"Siapa itu, Pak? " tanyaku
dengan suara bergetar.
"Lha, itu sirepnya."
"Sirepnya? Kenapa bentuknya
begitu?" tanyaku bodoh.
"Goblok. Memangnya kau pikir sirep
itu seperti apa?"
"Tidak tahu, Pak. Belum pernah
lihat."
"Hmm..sekarang sudah tahu, kan?
Nah, aku buka inderamu itu biar kau bisa mengetahui sekitarmu. Anak yang kau
ceritakan tadi bisa kau lihat karena dia memang berniat menampakkan dirinya.
Untuk yang tidak mau menampakkan diri seperti hantu sirep itu, sekarang kau
bisa lihat."
Jantungku berhenti satu detik rasanya.
Itulah sosok yang menidurkan kawan-kawanku! Pastilah dia dikirim oleh
pemiliknya yang ingin menggali makam Sagrip yang kami jaga.
"Jadi, mahluk halus apapun bisa
kulihat sekarang, Pak?"
"Ya, tentu. Menarik, bukan?"
Menarik dengkulmu ambles!
Aku masih saja memaki-maki dalam hati.
Awalnya aku membayangkan berjaga di kuburan hanyalah pindah tidur saja
sementara dari rumah. Tenyata di hari terakhir ini, hari di mana masuk
giliranku berjaga aku harus mengalami hal seperti ini. Takut sih tidak terlalu.
Menegangkan, iya. Tapi kalau boleh memilih, aku lebih baik tidak mengalami yang
seperti ini.
"Tenang saja, selain tandangnya
yang mengerikan itu, dia tidak akan melakukan apa-apa yang tidak diperintahkan
tuannya. Tugasnya hanya menidurkan, jadi dia akan pergi dari sini begitu kokok
ayam pertama terdengar."
"Tapi, kenapa yang lain dibiarkan
kena sirep, Pak? Kalau mereka tidak tidur, bukankah kita jadi lebih banyak?"
"Kau berani mengambil resiko salah
satu dari mereka menjadi histeris dan membuat yang lainnya pun jadi gentar?
Tidak pingsan juga sudah bagus. Apalagi jika maling-maling itu kalap, apa tidak
dibantainya kalian semua? Korban jadi banyak sementara kemampuanku pun
sebenarnya hanya sanggup melindungi satu saja dari kalian. Jadi biarkan saja
orang-orang tidak berguna itu tidur dengan pulas. Aku hanya butuh kau yang
kulihat sebenarnya mempunyai keberanian yang lebih dari mereka untuk menjagai
makam ini sementara aku berjaga di ujung utara."
"Kalau mereka datang dari arah
lain?"
"Tidak mungkin. Selatan, Timur dan
Barat sudah ada tuannya. Bisa geger!"
Aku diam saja, tidak mengerti dengan
kata-kata orang klenik seperti Mat Wiji itu. Mataku justru mencuri-curi pandang
pada sosok yang duduk di atas makam Sagrip sambil terus menjilati torong lampu
teplok itu. Hatiku begidik ngeri.
"Aku ikut bapake saja," kataku
kemudian, karena pikirku buat apa aku berjaga di sini dan Mat Wiji di tempat
lain. Tiba-tiba juga aku jadi ingin membangunkan semua kawan-kawanku itu.
"Goblok! Kalau tidak ada yang
berjaga di ujung utara, maling-maling kroco pun bakalan bisa masuk!"
"Tapi, yang tadi? Dia pun
sebenarnya sudah bisa masuk, bukan?"
"Ya, tapi wadagnya tidak. Makanya
hanya piaraannya itu. Dia hebat."
"Tapi, bukankah jadi sia-sia saja
aku berjaga di sini? Lebih baik kami berlima seperti semalam."
Mat Wiji menarik napasnya, kelihatan
tidak sabar.
"Kau tahu," katanya sambil
mendekatkan wajahnya, "sejak malam pertama aku sudah menghalau beberapa
orang dari mereka. Dari yang kroco bengel sampai yang ngelmunya ngedab-edabi
seperti yang ini, tapi aku tidak cerita. Sebenarnya tidak butuh banyak orang
untuk menjaga makam, tapi aku tidak menolak karena keluarga si Sagrip ini tidak
mau begitu saja mempercayaiku melakukannya sendirian. Terbukti bukan, orang
banyak gampang dibereskan kalau dia mau. Sepertinya malam ini dia belum menyerah
dan semua isi gudangnya dikeluarkannya, aku sudah merasakanny. Sekuat-kuat
ngelmuku, aku tidak yakin bisa menahan piaraannya yang banyak itu. Peranmu di
sini hanya diam. Diam dan diam. Jangan tertidur atau lari ketakutan. Cukup satu
orang tetap terjaga sampai pagi dan dia tidak akan bisa mengambil mayat Sagrip.
Mengerti?"
"Aku tidak yakin, Pak."
"Pasrah marang Gusti Allah. Kau mau
berbuat baik, kan? Nah, berbuat baiklah pada si mayit itu, menjagai makamnya
dari tangan-tangan nggrathil yang
akan mencuri tubuhnya. Aku tahu, kau pasti tidak suka dengan Sagrip semasa
hidupnya, tapi berbuat baik tidak memandang orang, bukan? Apalagi orangnya
sudah jadi bangkai."
"Tapi kalau harus mengorbankan
nyawaku...."
Mat Wiji terkekeh-kekeh sambil
menepuk-nepuk bahuku.
"Tidak akan ada yang mati di sini.
Paling kau hanya ketakutan setengah mati. Anggap saja ini ujian buat
kematanganmu sebagai manusia, kejantananmu sebagai laki-laki."
Aku diam saja, tapi terasa benar
kata-katanya membakar jantungku, menantang kejantananku.
"Nah, ada yang datang," kata
Mat Wiji kemudian, pandangannya diarahkan ke utara, "itu pasti dia,
satu-satunya yang tersisa dan paling kuat. Ingat pesanku..apapun yang terjadi,
jangan takut. Jangan menutup mata, telinga atau hidungmu! Tugasmu hanya
mengamati makam Sagrip itu. Pelototi saja. Orang-orang seperti mereka pantang
mempertunjukkan keahlian membongkar kubur orang di bawah tatapan orang lain.
Bisa magel ngelmunya.
Aku mau sedikit berbincang dengan dia yang ngelmunya ngedab-edabi itu. Mudah-mudahan
tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Seandainya bisa berdamai, aku
memilih cara itu."
Setelah berkata demikian, Mat Wiji
bangkit dan berjalan ke arah utara. Aku masih terdiam di tempatku dengan
tegang.
*****
Seperti telah lama sekali Mat Wiji
meninggalkanku sendirian ketika tiba-tiba saja aku diserang rasa kantuk yang
dahsyat. Kedua kelopak mataku rasa-rasanya bagai diganduli batu kali yang
besar-besar.
"Eling, Bas...eling, Bas."
bisikku berkali-kali pada diriku sendiri.
Aku paham, kantuk yang kurasakan ini
tidaklah sewajarnya. Tak sengaja, aku menoleh ke kiriku, kulihat hantu tua yang
berwarna putih dan duduk di makam Sagrip itu masih tetap pada posisinya, tak
sedikitpun menoleh padaku. Sesekali masih dijilatinya torong lampu teplok itu.
Langsung kupalingkan wajahku ke arah lain. Bukan dia, pikirku. Mungkin ada
kekuatan yang lain.
Saat itulah hidungku mencium wangi yang
aneh. Aroma kembang dan bangkai berbaur menjadi satu membuat perutku seketika
bergejolak. Ada keinginan untuk menutup hidungku, tetapi aku ingat pesan Mat
Wiji sehingga aku hanya bisa mendengus-dengus menolak aroma aneh yang menyusup
ke dalam lubang hidungku itu. Bersamaan dengannya pula terdengar kemudian bunyi
krincing-krincing yang nyaring dan tiba-tiba saja segala bebunyian yang ramai
masuk pula ke telingaku. Ada suara orang bercakap, tertawa, benda jatuh, hingga
suara meriam menggelegar memaksaku bekerja keras menenangkan degup jantungku
sendiri.
Tidak terlalu lama keemudian,
suara-suara itu serentak berhenti dan sayup sampai kudengar ada yang menyebut
namaku, seperti berbisik saja.
"Basuki...."
Seperti dekat tetapi seperti pula jauh.
Sukar dijelaskan
"Yaaa.." tanpa sadar aku
menanggapinya.
"Basuki..."
Peluhku bercucuran seperti air hujan
yang merembes pada dinding gedek, tapi
aku sama sekali tidak berani menoleh atau sekedar menggerakkan jari-jari
tanganku.
"Kau tidak pulang, Basuki?"
tanya suara itu. Arahnya kini dari sisi kananku. Begitu dekat, karena kurasakan
pula hembusan napas yang dingin menyentuh telinga dan sebagian leher serta
bagian kanan wajahku.
"Aku..aku tidak akan pulang
sekarang. Aku akan pulang selepas subuh," jawabku sedikit terbata-bata.
Lalu kudengar suara tertawa cekikikan
yang melengking tinggi dan sebuah sosok perempuan berambut panjang tiba-tiba
telah muncul di hadapanku, duduk memunggungiku. Rambutnya yang panjang
seakan-akan menutupi seluruh tanah pekuburan ini dan aku merasakan aku justru
telah duduk pula beralaskan rambutnya. Duh, biyung!
Dia kudengar bersenandung lirih sambil
memain-mainkan dengan tangannya beberapa helai anak rambut di samping
telinganya dengan kepala miring ke kanan. Sedikit demi sedikit tubuhnya yang
tidak bisa kulihat kakinya itu berputar dan berbalik menghadapiku. Aku
dicengkam ketegangan yang luar biasa hingga ingin rasanya melarikan diriku
pulang, tetapi rasa-rasanya untuk bergerak pun sulit.
Perlahan-lahan tubuhnya berhadapan
denganku dalam jarak hanya sekira dua jengkal sehingga dapat tercium wangi
tubuhnya yang bercampur dengan bau busuk yang amis menggelitik hidungku.
Awalnya hanya bisa kulihat matanya yang hijau itu. Lalu dahinya nampak pucat
melebihi pucat kulit mayat. Sedikit-demi sedikit, seperti gordin yang
disibakkan, keseluruhan wajahnya kemudian terpampang jelas di mataku.
Ah, wajahnya sebenarnya cantik, tapi
bagiku bibirnya yang tersenyum itu terlalu lebar. Benar-benar lebar hingga
tarikan sudutnya hampir mencapai kedua telinganya membuatku ngeri dan beringsut
ke belakang beberapa jengkal.
Dia masih bersenandung dan memainkan
anak rambutnya, tetapi matanya itu tajam menatapku. Ketika beberapa lama
kemudian senandungnya berhenti, dia berkata ketus:
"Bali
nganah!"
Aku tertegun. Dalam ketakutanku itu aku
masih bisa berpikir dan teringat pesan Mat Wiji. Apapun yang terjadi, aku harus
tetap ada di sana. Harus tabah. Maka aku menjawabnya dengan terbata-bata:
"Ti..tidak mau..."
Lalu tangan kanannya yang tertelan
lengan bajunya yang panjang itu terangkat seperti akan menamparku, tetapi urung
dan berhenti di udara. Aku yang sudah merasa pasrah saja akhirnya benar-benar
bisa bernapas lega. Ada yang menghalanginya untuk melakukan sesuatu terhadapku.
Kudengar suara tercekat di tenggorokannya, lalu tanpa berbicara lagi, dia
berbalik dan tubuhnya seperti kapas saja terangkat dan melayang hingga hilang
di kegelapan. Hanya terdengar tawa cekikikannya memenuhi pekuburan ini.
Kuatur napasku untuk mendinginkan
perasaanku dan juga karena rasa legaku, tapi belum sempat dua tarikan napas
kuselesaikan, ada sesuatu yang jatuh dari atas dan menahan kepalaku. Seperti
sebuah tangan yang besar dan berjari lebar mencengkeramnya sehingga aku tidak
mampu sama sekali memutar leher. Apa lagi ini, Gusti?
Tanpa pikir panjang, kedua tanganku
kuulurkan ke belakang menggapai-gapai karena perasaanku mengatakan sesuatu yang
mengerjaiku sekarang berada di belakangku. Aku tak menemukan apa-apa. Di
samping kanan dan kiriku, sama saja.
Hanya ada satu kemungkinan.
Dengan menelan ludah dan memberanikan
diriku walaupun tubuhku pun gemetaran, aku mencoba menyentuh sesuatu yang
menekan bagian atas kepalaku itu dengan kedua tanganku. Aku meraihnya...
Sepasang kaki! Sepasang kaki dengan
sepuluh jari! Dingin dan keras seperti batang kayu cengkeh yang beku!
Segera kuturunkan kembali kedua tanganku
dan memukul-mukulkannya ke pahaku karena rasa panikku. Sepertinya dua kaki itu
bergerak-gerak mengacaukan rambutku sementara tekanan yang kurasakan semakin
berat hingga wajahku tertunduk dan leherku terasa pegal. Lalu kurasakan sesuatu
ndlewer membasahi kepalaku. Cairan yang entah bagaimana terasa lengket dan
berbau luar biasa busuk ketika sampai ke hidungku. Lagi-lagi bau busuk.
Sungguh, sebenarnya aku sudah hampir muntah jika saja aku tidak
lekas-lekas teringat pesan Mat Wiji lagi.
"Mbah," kataku kemudian dengan
suara bergetar dan sepertinya tak jelas pengucapannya, "tolong, saya di
sini cuma pesuruh yang bodoh. Saya tidak mau diganggu. Rika punya tugas, saya
juga punya tugas. Kalau kita sama-sama berkeras, tidak akan pernah selesai kecuali
mbah mau bunuh saya."
Haduh, dari mana aku bisa mengeluarkan
kata-kata seperti itu? Aku jelas tidak akan mau dibunuh setan piaraan orang.
Jangkrik!
Kudengar suara lelaki tertawa tanpa
membuka mulutnya, karena suaranya itu seperti teredam dalam sumur yang dalam.
Lalu:
"Cocotmu! Awakmu mambu lemah
kuburan!"
"Nggih, Mbah. Badan saya memang bau
tanah kuburan. Ada orang baik yang kasih untuk perlindungan," kataku.
Sekali lagi aku heran dengan jawabanku sendiri.
Setelahnya kurasakan tekanan di kepalaku
perlahan-lahan berkurang dan kemudian lenyap sama sekali. Masih merasakan pegal
pada leherku, aku mencoba mendongakkan kepalaku ke atas. Tidak kulihat apapun.
Syukurlah, pikirku. Satu penampakan yang
menyeramkan lagi, aku pikir aku akan bisa kapok. Tanganku mengusap-usap rambut
dan wajahku. Hanya keringat saja, tidak ada cairan berbau busuk yang kurasakan
tadi. Keteganganku sedikit sirna.
Sepertinya masih beberapa jam lagi
hingga pagi, pikirku ketika merasakan perangai hawa berubah tiba-tiba. Angin
berhembus cukup kencang menggoyangkan batang dan daun kamboja hingga
bunga-bunganya berguguran. Beberapa berjatuhan di atas tubuh Senen yang
tertidur di bawah pohon kamboja yang berdekatan dengan salah satu makam yang
ditidurinya. Mataku melirik lagi pada hantu sirep yang tua dan telanjang itu.
Perasaanku sudah biasa saja, apalagi dengan keyakinan bahwa dia tidak akan
menggangguku.
Saat kemudian aku sedikit menggeser
dudukku, anak perempuan yang tadi menamparku tiba-tiba muncul lagi di
hadapanku. Berjongkok dengan kedua tangannya menopang dagu, memperhatikanku.
"Eh?" hanya itu lagi yang
kuucapkan, sama seperti ketika bertemu dengannya untuk pertama kalinya.
"Belum mau pulang kamu?"
tanyanya ketus.
Aku surut ke belakang beberapa jengkal
hingga punggungku membentur kaki Watim. Aku justru sedikit takut dan masih
terbayang dengan tangan kecilnya yang mampu menjatuhkanku dengan sekali
tamparan.
"Mau ditampar lagi? Jangan berlagak
pahlawan!"
Aku diam saja menatapnya. Dia mendekat
dan ditariknya kedua tanganku dengan kasar kemudian diendusnya. Kulihat
wajahnya seperti menahan marah..
"Wiji itu...." katanya dengan
marah. Sepertinya dia membaui tanah kuburan yang dilumurkan oleh Mat Wiji.
Seketika timbul keberanianku.
"Kenapa? Bau tanah kuburan?"
tanyaku menarik kedua tanganku.
Kulihat kedua matanya membesar dan
mulutnya mengeluarkan lengkingan marah. Lalu sambil tertawa cekikikan dia
meloncat-loncat pergi sambil berteriak-teriak:
"Magel! Magel! Magel!"
Seiring kepergiannya, kantuk kembali
datang menyerangku tiba-tiba dan aku benar-benar sudah tak kuasa
menahannya.....
*****
"Heh! Bangun!" kudengar
bentakan Mat Wiji.
Aku membuka kedua mataku.
Mengerjap-ngerjap sebentar mencoba mengenali keadaan sekitarku. Aku memang
tertidur di pekuburan, pikirku. Tiba-tiba aku teringat dengan tugasku dan
langsung terloncat duduk.
"Pak Amat!" teriakku,
"aku ketiduran?"
"Ya," jawabnya santai sambil
duduk menggelosor di tanah dan mengeluarkan kotak tembakaunya.
"Aku gagal?"
"Tidak juga."
"Berhasil?"
Mat Wiji tertawa terkekeh-kekeh.
"Mari kita pulang," katanya.
"Apa yang terjadi dengan pencuri
itu?" tanyaku ingin tahu.
"Rahasia orang-orang tua,"
jawabnya pendek.
Lalu kami berdua mengumpulkan
barang-barang kami. Lampu-lampu teplok, beberapa batang bambu kuning untuk
cagak lampu-lampu teplok itu malam sebelum-sebelumnya, kendi berisi sisa-sisa
air kopi bebeg jagung yang langsung kutuangkan ke atas makam Sagrip sambil
menawarinya minum kopi dalam hati. Dia toh seharusnya berterimakasih kepada
kami karena makamnya itu tetap utuh hingga hari yang terakhir.
"Biarkan mereka," kata Mat
Wiji ketika aku hendak membangunkan empat kawan-kawanku yang masih pada
tertidur itu, "biarkan saat bangun nanti mereka kebingungan. Pemuda-pemuda
yang tidak berguna."
Aku tertawa saja mendengarnya.
Matahari mulai mengintip di cakrawala
ketika kulihat sesosok tubuh berdiri tepat di samping gerbang barat pekuburan
saat aku dan Mat Wiji berjalan menuju pulang. Sagrip! Jantungku berdebar-debar.
Apa lagi ini?
"Terima kasih," kata Sagrip
yang sudah mati itu saat kami hampir melewatinya.
Tanpa sadar, tubuhku merapat pada Mat
Wiji. Mat Wiji sama sekali tidak memperhatikan sosok itu, tetap klepas-klepus
merokok.
"Biarkan saja," bisiknya
padaku..
Aku masih memperhatikan sosok yang
membungkuk hormat itu dengan takjub hingga kami benar-benar melewatinya.
"Itu Sagrip, Pak," kataku
penuh keheranan, "benar-benar Sagrip!"
"Bukan."
"Lha?"
"Kau pikir orang yang sudah mati
bisa jalan-jalan pagi semaunya? Itulah setan. Pandai meniru. Jika kau
mempercayainya, kau pasti tidak pernah mengaji."
"Memang bapake pernah ngaji?"
"Aku mengaji dengan caraku
sendiri."
Aku mengangguk-angguk.
Terbayang lagi peristiwa semalam, suatu
pengalaman yang ajaib dan menakjubkan buatku. Cukup sekali saja kualami karena
aku sungguh tidak ingin mengulanginya lagi.
"Kau masih menyimpan rasa
takut?" tanya Mat Wiji.
Aku menggeleng mantap.
"Anak baik," katanya lagi
sambil terkekeh.
Cigugur, 13 Mei 2011
3 komentar:
sagriv poreper lah..
ternyata masih sedikit kecing juga ya..haha..
genah iya koh..haha..
Huaaaaa, aku baca tadi belum selesai, terus laptop mati. Maklumlah, lapinya sering mati mendadak. Eror :(
Nah, terus tak tinggal tidur, malah mimpi aneh2, asyem tenan mimpinya di kuburan! :|
Ini udah selesai baca, KEREN!
Posting Komentar