Kebangkitan Sagrip


Awalnya terdengar suara ketukan di jendela kamar ketika saya sedang menikmati sebatang rokok sementara istri saya sudah terlelap. Saya pikir hanya angin yang bermain-main menepuk kaca jendela, tetapi ketika terdengar bisikan memanggil nama saya, barulah saya yakin ada seseorang di luar sana. Penasaran, saya segera membuka jendela. Terlihatlah dia, melompat-lompat seperti kelinci dalam balutan kain kafan yang berlumuran tanah menuju ke bawah pohon jambu saat sorot lampu kamar menembaknya.
"Ini aku ... Sagrip!" dia berkata sedikit menekan suaranya. Mungkin merasa perlu untuk mengatakan siapa dirinya melihat saya yang masih mencoba membiasakan mata untuk mengenali.
"Sagrip?"
"Iya!"
Aneh dan mengherankan. Hanya sekedar itu yang saya rasakan. Tidak ada rasa takut atau semacamnya walaupun dia sudah mati tiga hari yang lalu. Jika benar dia hantu, toh hantu teman dan tetangga sendiri, pikir saya. Saya lalu keluar rumah dengan mengendap-endap, khawatir membangunkan istri. Sagrip berdiri menunggu di bawah pohon jambu sambil menggesek-gesekkan punggungnya ke pokok pohon itu saat saya sudah sampai padanya.
"Gatal," katanya.
"Lepas dulu kainmu itu."
"Ikatan ini."
Saya menepuk jidat. Jelas saja dia tidak bisa begerak bebas karena tubuhnya tersimpul tali tujuh. Segera setelah saya melepaskan semua, dia terlihat lega, menggesek-gesekkan punggungnya lagi beberapa saat lalu menggelar kain kafannya itu untuk alas duduknya di tanah. Tubuhnya telanjang bulat.
"Untuk orang yang sudah dikubur tiga hari, kau kelihatan segar bugar," kata saya sambil memandanginya takjub. Dia terkekeh.
"Diam di dalam kubur tidak menyenangkan! Untungnya tidak ada pertanyaan-pertanyaan pula untukku."
"Maksudmu kau belum bertemu dua malaikat itu?" Ini mulai menarik. Mungkin saja bisa jadi ide untuk cerita-cerita saya berikutnya.
"Jangan sampai."
"Jadi kau memang tidak bertemu mereka?"
"Mudah-mudahan tidak akan pernah, karena itu aku datang kemari."
"Maksudmu?"
Matanya menatap dalam kegelapan dan saya merasakan ekspresi keheranan.
"Kau pura-pura bodoh atau memang bodoh? Tidak akan ada kelanjutan cerita dengan setting dalam kubur, 'kan?" dia bertanya dengan nada selidik. Saya menatapnya tidak mengerti.
"Aku tidak mengerti."
Dia terbatuk-batuk. Lucu sekali karena tubuh telanjang yang buncit perutnya akibat kesukaannya pada minuman keras itu terguncang-guncang dan saya bertambah tidak mengerti karena setelah itu dia tertawa. Tubuh dan perut buncitnya berguncang lebih keras lagi.
"Aku tahu sekarang! Pantas saja aku kesepian di kuburku. Tidak ada malaikat yang datang, tidak ada pertanyaan-pertanyaan, tidak ada siksaan ... gelap dan dingin ... ternyata memang tidak ada kelanjutan cerita tentangku. Untung aku memutuskan datang kemari, jadi aku tidak seperti menunggu ayam jantan bertelur. Eh, apa saja sih yang kau lakukan setelah kematianku?"
"Aku tidak melakukan apa-apa."
Dia mengangguk-angguk. Saya lihat sekelebat pikiran seperti muncul dalam benaknya, tergambar jelas dari wajahnya
"Kalau begitu kau bisa membantuku."
"Bantu apa?"
"Menjelaskan bahwa sebenarnya aku belum mati."
Saya tidak bisa untuk tidak tertawa.
"Kenapa harus dijelaskan?"
"Biar mereka semua tahu bahwa Sagrip belum mati."
"Terus, kau mau balas dendam?"
"Tidak ... eh, ya ...eh," dia tergagap.
Saya tertawa lagi.
"Aku yakin, setelah mereka tahu kuburmu kopong kau akan langsung dicari hingga ke lubang-lubang semut. Bahkan di saat kau belum sempat menyusun rencana dan menyingkirkan kain kafanmu."
"Karena itu, bantulah aku."
"Bantu dengan apa?"
"Dengan pengaruhmu."
"Memangnya aku punya pengaruh?"
"Tolong, sekali ini dengarkanlah aku. Bukankah selama ini aku selalu menuruti kemauanmu?"
Iba juga melihat wajah memelasnya.
"Apa yang kau ingin aku lakukan?"
Senyumnya mengembang. Terlihat penuh kelicikan di mata saya. Saya pun merasa setengah bermimpi bisa berbicara dengan orang yang sudah mati.
Sebelum dia pergi beberapa menit kemudian, seperti meyakinkan dirinya sendiri dia bertanya lagi:
"Kau tidak pura-pura linglung, 'kan?"

*****

"Sagrip hidup lagi?" tanya istri saya dengan heran. Matanya seperti tidak mempercayai ketulusan wajah saya ketika mengabarkan hal itu padanya.
"Ya. Semalam dia mengetuk jendela dan kami mengobrol. Dia memintaku meyakinkan siapapun bahwa dia masih hidup. Katanya aku punya peran besar untuk itu. Aneh, 'kan? Peristiwa kebangkitannya dari kubur adalah keajaiban. Tuhan masih memberinya kesempatan untuk menjalani hidup sekali lagi dan dia akan menjalaninya dengan sangat berbeda dari kehidupannya yang dulu. Pada intinya dia bersumpah akan bertobat dan menjadi manusia yang baik. Sedikit mendendam kepara para pengeroyoknya, mungkin, tapi dia tidak akan membalas. Lucu, dia duduk begitu saja beralaskan kain kafan ..."
"Dan kau akan menurutinya?"
"Tentu saja," jawab saya. Sedikit heran karena dia menyela di tengah cerita.
"Bodoh! Sagrip itu tidak ada!" sentak istri saya tiba-tiba dengan mata melotot, terlihat murka.
"Kenapa kau jadi marah-marah?"
Sambil menggerutu dan memaki dia menarik saya menuju komputer.
"Nyalakan!" perintahnya ketus. Tentu saja saya menurutinya walaupun dengan masih bertanya-tanya dalam hati. Disuruhnya saya membuka fail kumpulan cerita-cerita yang telah saya tulis selama ini.
"Baca lagi semua! Kau sudah membunuh Sagrip, tapi hanya dalam cerita yang kau tulis!"
Saya mengerutkan dahi.
"Kau serius?"
"Baca lagi!"
Saya hampir tidak mempercayai kata-katanya itu, tapi setelah beberapa cerita saya buka dan baca kembali, memang beberapa kali tokoh Sagrip muncul di sana. Biasanya hanya menjadi pelengkap, lebih sering antagonis. Dalam beberapa cerita saya dia bisa menjadi orang biasa yang baik, pernah menjadi pemabuk, orang gila, penjudi, bahkan hantu. Di cerita terakhir saya, dia memang terbunuh karena dikeroyok massa.
"Sagrip itu anak Pak Muhtar tetangga kita, 'kan? Dia mencuri motor beberapa hari lalu dan tewas digebuk massa? Aku salah satu yang menggotong kerandanya ke pemakaman," saya masih mencoba untuk membantah walaupun dengan bukti yang jelas di depan mata, sulit sekali untuk menyangkal bahwa saya mulai linglung.
"Muhtar siapa? Tidak ada satupun tetangga kita bernama Muhtar! Tidak ada yang tewas digebuk massa! Tidak ada Sagrip, semua hanya ada dalam cerita-cerita bodohmu!" Istri saya terlihat gemas dan jari telunjuknya mengetuk-ngetuk kepala saya seperti pelatuk pada kulit pohon yang kosong berongga. Tuk-tuk-tuk!
"Tapi, semalam ..."
"Kau sudah kacau karena terlalu banyak melamun mencari ide cerita hingga jadi pikun seperti kakek-kakek! Dasar penulis abal-abal! Memalukan, kau mulai bisa disetir oleh tokoh rekaanmu. Pikirmu kenapa dia mendatangi dan memintamu menuruti keinginannya? Sedikit-sedikit tokoh rekaanmu itu akan mencekokimu dengan keinginannya, menguasai otakmu hingga tidak jelas lagi mana kenyataan dan mana khayalan. Tapi semua hanya ada dalam pikiranmu!"
Saya diam. Kata-kata istri saya ada benarnya juga. Saya seratus persen seperti langsung disadarkan dari lamunan panjang nan bodoh. Ah, saya mungkin harus banyak mengurangi kopi, rokok dan begadang.
Sagrip memang sialan! Jangkrik betul!

*****

Malamnya, jendela kamar diketuk lagi dari luar dan seseorang memanggil nama saya. Pasti Sagrip. Ada satu keinginan untuk membiarkannya saja karena toh dia hanya ada dalam pikiran saya. Tidak nyata dan saya sadari itu. Mana ada orang yang sudah mati bangkit lagi? Apalagi sudah jelas dia hanya tokoh rekaan dalam cerita-cerita saya. Tapi kalau dia masih terus datang, bukankah kesadaran saya hanya percuma?
Saya melihat ke arah ranjang, istri saya sudah terlelap. Bagus, sepertinya lebih baik saya selesaikan malam ini juga. Saya tidak membuka jendela tetapi segera ke luar dengan berjingkat-jingkat menuju ke samping rumah. Sagrip sedang berdiri di bawah pohon jambu seperti semalam. Kain kafan disampirkannya ke dahan terendah, sementara dia sendiri seperti nyaman bertelanjang. Saya jijik melihatnya, tapi segera terpikir ide untuk membuat sebuah cerita tentang pocong bugil. Mungkin akan seru. Siapa tahu bisa difilmkan karena film-film picisan seperti itu justru sangat digemari.
"Bagaimana?" tanyanya begitu melihat kedatangan saya sambil kedua tangannya terlipat ke belakang, menggaruk-garuk punggung.
Saya diam melipat tangan di depan dada. Saya harus tegas jika tidak ingin dia terus merongrong mendatangi saya dengan bertelanjang seperti itu. Menenteng-nenteng kain kafan pula.
"Aku bosan menunggu di dalam kubur. Cepatlah kau mulai. Cerita yang kemarin belum tamat dan hanya kau sendiri yang bisa mengutak-atik peran. Nah, jadikan aku hidup kembali. Tapi ingat, bukan sebagai hantu gentayangan seperti cerita-cerita picisan lainnya. Sebuah keajaiban membangkitkanku dan akan mengubah hidupku selamanya. Hidupku seperti baru dimulai dan ... ehm, bisa saja aku jadi mempunyai kekuatan supranatural yang mumpuni sebagai umumnya imbas dari keberhasilan menghadapi kematian."
Sagrip mulai mendikteku untuk kelanjutan cerita tentangnya. Saya tahu maksud di dalamnya, dia ingin tetap hidup dan berusaha mendapatkan keuntungan dari sana. Tapi saya sudah bertekad tidak akan mendengarkan ocehannya. Justru isi kepala saya sibuk dengan pertanyaan: jika ada yang memergoki saya tengah malam seperti ini, pasti yang dilihatnya adalah saya yang tengah berhadap-hadapan sendiri dengan pohon jambu. Sumpah, saya malu jika nantinya disangka gila.
"He, kenapa diam? Kau mau menulisnya, 'kan?"
Saya menggeleng dan dia terlihat heran. Dia lalu mendekat seperti akan membuat konfrontasi. Badannya yang tinggi besar dengan perut buncit sangat-sangat mengerikan jadinya di mata saya, tapi toh dia hanya ada dalam khayalan saya. Saya tidak takut karena merasa lebih berkuasa darinya.
"Kau tidak nyata. Istriku sudah mengingatkanku," kata saya mencegah tubuhnya lebih mendekat lagi. Karena jujur, dia bau mayat. Gila, dalam khayalan, sensor saraf penghidu pun bekerja juga?
"Istrimu pintar juga, ya? Lalu kenapa jika aku tidak nyata?"
"Berarti kau akan tetap kubikin mati."
Kedua bola matanya membulat besar, terbelalak. Lalu tanpa saya duga-duga, dia seketika berlutut di hadapan saya dan mulai menangis tersedu-sedu. Intinya dia memohon agar saya menghidupkannya lagi, mengeluh akan kebosanannya sendirian di dalam kubur, menjanjikan rupa-rupa hal kepada saya, tapi saya tidak bergerak. Saya toh ingin jadi orang waras. Bagaimana bisa saya menuruti kemauan seorang tokoh rekaan seperti dia?
"Sudahlah, intinya kau tetap dalam kuburmu. Kedatanganmu justru membuatku berpikir lagi untuk berhenti menulis sementara. Aku ingin beristirahat, menikmati kebersamaan dengan istriku. Akhir-akhir ini dia jadi sering marah-marah karena aku lebih banyak berkutat dengan huruf dan kata-kata. Akupun jadi seperti linglung terlalu terbawa ke dalam berbagai cerita di kepalaku. Untung saja dia mengingatkanku."
Saya lalu menyuruhnya pergi beberapa lama kemudian setelah dia sudah tidak menangis lagi. Terlihat sangat sedih bercampur marah, tapi dia memang tidak bisa berbuat apa-apa. Sambil meraih kain kafannya dari dahan pohon jambu, dia bersungut-sungut:
"Hati-hati dengan pikiranmu, Penulis abal-abal. Kau mulai tidak waras. Kau pikir siapa istrimu itu?"
Lalu dia pergi begitu saja tanpa menoleh dengan menyeret-nyeret kain kafan. Saya terdiam merenungi kata-katanya. Memangnya ada apa dengan istri saya?
Kata-kata terakhir Sagrip itu masih saja berputaran di kepala sampai ketika saya membuka pintu rumah dan lampu ruang tamu tiba-tiba menyala. Istri saya sudah berdiri di hadapan saya berkacak pinggang. Rambutnya awut-awutan, wajahnya memerah karena marah dan kedua biji matanya seperti akan meloncat keluar.
"Jadi kau mau berhenti menulis, ya? Tidak bisa! Selesaikan dulu cerita tentang istri sadis penyiksa suami itu!"
Jangkrik! Saya terkejut setengah mati. Sumpah, jika ada yang melihat wajah bingung saya saat ini, tolong tampar saya!

Cigugur, 6 Oktober 2011


0 komentar:

Posting Komentar