Tujuh


Malam ketujuh. Kami masih selengkap kemarin: aku, Markuat, Watim, Gopar, Senen dan si tua berbadan kecil itu, Mat Wiji. Orang tua itu jangan ditanya, dia sudah sejak malam pertama berada di sini sementara beberapa dari kami, para pemuda kampung dibagi menjadi tiga kelompok besar untuk bergantian menjagai makam sialan itu. Sialan kataku karena yang ditanam di sana justru bukan orang baik-baik.
"Sagrip itu," kata seseorang yang pernah kudengar, "Bisa kaya raya karena punya pesugihan. Lihat saja, kerjaannya tidak jelas juntrungannya, tiap malam hanya cari kesenangan joget sama lengger dari kampung satu ke kampung lainnya, menghambur-hamburkan uang seenak udel, judi, mabuk-mabukan, tapi tetep saja uang di tangannya tidak pernah habis. Dia memang punya buto ijo."
"Selain menumbalkan manusia, kelak jika waktunya sampai, dia pun akan mati dicekik piaraannya itu."
Sudah sering orang-orang bercerita begitu hingga ketika kemudian Sagrip itu tujuh hari yang lalu ditemukan mati di kamarnya selepas semalaman berhura-hura hingga pagi, cerita itu seolah-olah menemukan pembenaran. Aku memilih untuk percaya saja, toh kejanggalan dalam hidup bahkan kematian orang itu memang jelas sekali. Apalagi dengan embel-embel hari kematiannya itu tepat di jumat kliwon dan weton almarhum itu pun ternyata sama dengan pasaran kematiannya pula. Jumat kliwon.
Bukankah mayatnya merupakan sasaran yang baik buat para pencuri mayat? Para pencari pesugihan dan penganut ngelmu hitam seperti punya telik sandi jempolan yang akan mengabarkan kematian-kematian seperti itu. Celakalah makam orang yang mati pada jumat kliwon, tubuhnya bisa lenyap setelah lebih dulu makamnya dibongkar paksa. Jadilah kami harus berjaga tujuh hari penuh di makam sialan ini atas permintaan keluarga si Sagrip yang sudah jadi mayat itu.
"Baru lepas isya' tapi aku sudah merkinding," kudengar suara Watim, pemuda sebayaku yang berbadan paling besar tapi nyalinya seukuran jambu pentil.
Wajahnya kurang bisa kulihat jelas karena lampu teplok hanya satu dan itupun digantungkan di kayu nisan. Setelah pandanganku mengedar aku baru sadar, ternyata memang kami tidak bisa saling melihat dengan jelas.
"Gara-gara Mat Wiji kiye, " kudengar satu suara lagi, Gopar, pemuda yang paling tua di antara kami bergerak-gerak dari duduknya yang paling dekat dengan tempatku duduk.
"Kenangapa?" tanyaku.
"Lampu teplok yang dinyalakan cuma satu. Bahaya tadi katanya. Justru kalau bahaya bukan lebih bagus kalau lampu teplok dinyalakan semua?"
Aku menggeremeng.
Ada alasannya. Kata Mat Wiji ini malam terakhir, kesempatan terakhir juga buat para pencuri mayat yang mungkin sudah mengamati makam sialan itu sejak malam pertama. Menurut perhitungannya, segala resiko akan diambil oleh orang-orang pencari kesaktian atau pesugihan itu untuk mencuri mayat itu malam ini, karena setelah tujuh hari tidak akan ada yang akan mereka dapat kecuali mayat busuk dan tidak bertuah lagi.
Dengan menyalakan satu teplok, justru akan lebih mudah mengawasi dari tempat Mat Wiji kini bersembunyi agar keberadaannya itupun tidak diketahui orang-orang yang berniat buruk, sementara kami yang muda-muda dan sebagian besar memang penakut disuruhnya untuk berjaga di sekitar makam itu. Cara berpikir orang klenik memang tidak mudah dimengerti.
"Gemagus!" kudengar seseorang memaki dan suara kepala yang dikeplak, Gopar mengaduh, Mat Wiji tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya.
"Aku yakin belum sampai tengah malam nanti kau justru sudah tidur mendahului lainnya seperti malam kemarin!"
"Halah, aku pikir bapake lagi keliling. Tahu juga kalo lagi dirasani," kata Gopar lagi, yang lain tertawa.
Mat Wiji itu melompat dengan tubuhnya yang kecil dan ringan itu menyebelahiku. Tercium bau kemenyan dan miyak duyung dari tubuhnya membuatku sesak dan  berdebaran. Aku yakin malam ini dia jadi lebih serius, justru di malam terakhir.
"Gawat," katanya kemudian.
"Gawat apane, Pak?" tanya Markuat yang sepertinya sangat santai tiduran di atas makam seseorang beberapa kaki dari makam yang kami jagai itu. Dua kakinya ditumpangkan di kepala nisan.
"Ada suara gaok di sudut barat, tapi aku belum yakin," jawab Mat Wiji serius sambil mengeluarkan kotak tembakau lintingannya.
Kami hanya diam, malah seperti sama-sama menunggu Mat Wiji selesai melinting rokoknya. Senen yang duduk menyendiri di sudut sebelah utara sampai perlu untuk beringsut mendekat pada jangkauan terang teplok.
"Udud, Bas? Nyah..." Mat Wiji menyorongkan kotak tembakaunya yang dengan halus kutolak.
"Aku mau, Pak." Seru Markuat buru-buru bangkit dari posisinya, mendekati kami dan mengambil kotak tembakau itu dari tangan Mat Wiji.
Yang lain pun serentak merubungnya.
Di sebelahku, Mat Wiji menghembuskan asap rokoknya ke udara. Tangannya menggamitku ketika kemudian dia berkata:
"Hanya kau dan aku malam ini."
Sungguh, aku tak tahu apa maksudnya.

*****

Lewat tengah malam, sepertinya. Tidak ada apa-apa yang terjadi seperti malam sebelumnya ketika kelompok kami ini mulai berjaga. Mat wiji pun telah nganglang lagi, berkeliling untuk mengamati keadaan sementara yang lain setelah sama-sama menghirup kopi bebeg jagung, masing-masing memilih tempat sendiri-sendiri di sekitar makam yang kami jaga untuk merebahkan diri.
Lampu teplok telah kuganti karena ternyata Watim yang bertugas menggantinya justru telah tertidur dengan cepat. Memanglah kurang terang, tetapi bulan yang sepotong telah tergelincir ke arah barat dan justru cahayanya lebih membantu dibanding teplok yang telah berganti itu sehingga aku bisa mengerti keadaan tanah pekuburan yang gelap gulita itu. Mungkin juga karena mataku yang telah terbiasa.
Kuedarkan pandanganku. Tanah pekuburan ini sebenarnya sangat luas, lebih luas dari pemakaman di kampung-kampung tetangga yang rata-rata hanya unggul panjang. Tanah pemakaman ini justru berbentuk segi empat yang sama panjangnya dan letaknya lebih ke selatan mendekati bibir pantai. Selebar apapun, tetap saja hanya diisi bangkai, pikirku.
Pandanganku kemudian terhenti pada sebuah makam yang besar karena telah diberi dinding batu di sekitarnya dan atap tinggi yang hanya terlihat hitam. Makam keluarga Mbah Singa, seorang tetua di jaman kakekku dulu. Aku tertegun sebentar karena melihat sesuatu bergerak-gerak di sana, tepat di depan gerbang kecilnya yang menghadap ke arahku.
"Sst ... Mar!" panggilku pelan pada Markuat yang kulihat sedang duduk bersandarkan nisan dan berkerodong kain sarung tidak jauh dari tempatku berdiri.
Kudengar dia hanya melenguh sedikit.
"Nen!" aku mencoba memanggil yang lainnya, "Par!"
Tidak ada jawaban kecuali hanya dengkuran Watim yang terdengar seolah memenuhi pekuburan yang hening itu. Dadaku berdebaran, sementara pandanganku tetap lekat kepada apa yang kulihat bergerak-gerak itu.
Aku bukanlah seorang pemberani, tapi entah kenapa saat itu aku merasa sangat ingin tahu dan tanpa pikir panjang lagi berjalan terbata-bata mencoba untuk mendekat. Sekira hanya beberapa puluh tombak dari makam Sagrip letaknya, tapi aku harus beberapa kali memutar menghindari nisan-nisan yang tinggi ataupun pohon kamboja, sehingga memperlambat jalanku.
Sampai di depan tembok pembatas makam keluarga Mbah Singa itu aku mulai mencari-cari, tapi apa yang kupikir sesuatu yang bergerak-gerak tadi itu telah lenyap. Jangkrik! Apakah mataku saja yang menipuku?
"Pak Amat!" panggilku pelan, berharap apa yang kulihat bergerak-gerak itu adalah sosok Mat Wiji.
Tidak ada jawaban. Kupanggil sekali lagi, sama saja. Aku surut ke belakang dan pelan-pelan berbalik untuk kembali ke tempatku karena teringat bahwa akulah satu-satunya yang masih terjaga, tentu saja selain Mat Wiji yang entah sedang nglanglang kemana, mengawasi dan berkeliling ke setiap sudut tanah pekuburan ini.
Sesuatu menghentikan langkahku. Entahlah, tiba-tiba saja seorang anak perempuan berkemben jarik muncul di hadapanku. Matanya mencorong seperti mengeluarkan lidah api di malam yang gelap itu saat menatapku, tapi anehnya aku tidak menjadi kaget atau takut.
"Eh?" itu saja seruan yang keluar dari mulutku.
Kulihat anak itu nyengir dan mengangkat tangannya, menyodorkan sesuatu kepadaku.
"Apa itu?" tanyaku.
"Ambil dan pulanglah," kudengar katanya.
"Aku kau suruh pulang, Nok?" tanyaku sambil tertawa," Tidak bisa, aku ada keperluan dengan makam si Sagrip."
"Pulang atau tidurlah saja," katanya lagi berkeras. Tangannya masih terangkat.
"Sebenarnya ingin, tapi aku tidak bisa. Eh, kau ini dari mana, Nok? Malam-malam begini masih bermain di sini. Orang tuamu tidak mencari?"
"Dasar goblok!" serunya marah.
"Eh?"
"Kalian semua goblok! Tidak ada untungnya menjagai makam itu!" teriaknya sambil meloncat untuk menamparku.
Aku tidak sempat berkelit, sehingga tangannya yang kecil itu telak mendarat di pipi kiriku. Waduh, biyung! Tanpa dapat kumengerti, aku langsung jatuh tersungkur ke tanah seperti pohon pisang yang dibabat. Hanya bisa kudengar cekikikan anak itu yang tiba-tiba saja melarikan dirinya melompat-lompat antara nisan-nisan yang berjejer sambil berteriak-teriak:
"Pulang! Pulang! Pulang!"
"Jangkrik!" makiku.
"Apa yang jangkrik?" Mat Wiji tiba-tiba telah berada di atasku, merenggut kerah bajuku dan menarikku bangkit.
"Anak kurang ajar itu!"
"Anak yang mana?"
"Yang tadi. Baru saja dia menyuruhku pulang dan menyodorkan sesuatu."
Air muka Mat wiji berubah.
"Sesuatu? Apa?"
"Entahlah, aku tidak menerimanya dan dia menamparku."
Mat Wiji tertawa terkekeh-kekeh melepaskan kerah bajuku..
"Bodoh sekali kau, dia pasti memberimu uang. Kenapa tidak kau terima?"
"Uang?"
"Ya, uang. Aku telah ditawarinya sejak hari yang pertama, tapi aku menolak dan kini di hari terakhir dia melakukan hal yang sama padamu."
"Dari hari pertama?Dia siapa?"
"Teman kita..rupanya dia bukanlah orang yang kasar."
"Siapa?"
"Pemburu bangkai!"

*****

Sulit masuk di akal, tapi bagaimanapun juga sedikit dari yang diceritakan Mat Wiji setelahnya bisa kupahami. Anak yang kulihat tadi adalah salah satu piaraan orang yang berngelmu tinggi yang ditugaskan untuk membujukku pulang . Adapun maksud Mat Wiji dengan mengatakan pemburu bangkai itu bukanlah  orang yang kasar karena ternyata dia bertindak hati-hati sekali, tidak ceroboh sejak hari pertama dan tidak grusa-grusu menyerang para penjaga dengan kasar yang mungkin bisa mengakibatkan cidera atau bahkan yang lebih parah lagi: kematian.
"Bersiaplah. Apa yang kau alami barusan itu hanya gangguan kecil dan upayanya membujuk agar makam itu tidak usah dijagai. Apalagi ini malam terakhir dan dia tidak punya kesempatan lagi selain malam ini," kata Mat Wiji.
"Kenapa yang lain tidak dibujuknya?"
"Mereka tidak perlu dibujuk."
"Sih kenangapa?"
"Kau lihat saja," jawab Mat Wiji sambil mengedarkan pandangan ke sekitar makam Sagrip di mana kawan-kawanku yang empat orang itu tidur, "mereka bukan ancaman buatnya. Dari empat temanmu itu siapa kira-kira yang bisa kau bangunkan sekarang? Aku menantangmu."
"Gopar," kataku yakin sambil berjalan menuju tempat Gopar berbaring dan langsung menendang kakinya.
Ajaib, dia tidak bangun. Beberapa kali lagi kutendang kakinya itu dan kugoyang-goyang badannya, dia diam saja. Begitupun kulakukan pada yang lain, tapi mereka pun sama saja. Mat Wiji kemudian hanya terkekeh sambil mengeluarkan kotak tembakaunya.
"Kenapa mereka, Pak?"
"Menurutmu?"
"Tidur."
"Aku sudah tahu."
"Lha?"
"Biasanya apa yang bikin orang tidur seperti mati?"
"Sirep?"
"Nah."
"Tidak mungkin."
"Lha?"
"Kalau memang sirep, kenapa mataku tetap mentheles?"
Mat Wiji terkekeh lagi mendengar pertanyaanku dan menyalakan rokok lintingannya.
"Rogoh saku celanamu!" perintahnya. Aku manut. Setelah merogoh saku celana komprangku yang memang hanya satu dan letaknya di belakang, aku menemukan sehelai daun dadap srep berukuran kecil dan dilipat di sana.
"Apa ini?" tanyaku sambil membuka lipatan itu dan mendekatkannya pada lampu  teplok. Samar-samar, aku melihat beberapa bentuk yang menyerupai aksara-aksara yang tidak kupahami. Sepertinya di goreskan dengan arang.
"Rajah," desisku.
Mat Wiji tertawa lagi.
"Obat anti tidur. Anti sirep. Aku hanya memberikannya untukmu," katanya masih terkekeh.
"Kapan bapake masukin ini ke saku?"
"Tadi.Yang jelas, hanya kita berdua malam ini."
Dadaku berdebar-debar. Setelah penjelasannya tentang gangguan yang tadi, apakah setelah ini masih akan ada gangguan lagi?
"Kemari kau," katanya setelah meletakkan puntung rokoknya pada sisi sebuah nisan.
Aku beringsut mendekat.
"Apapun yang terjadi nanti, jangan tunjukkan ketakutan, jangan berkata apapun, jangan lari dan jangan tutup matamu kecuali untuk berkedip. Jangan pula tutup hidung dan telingamu," katanya kemudian sambil mengeluarkan sebuah kantung dari saku celananya, membukanya dan menumpahkan isinya yang ternyata adalah tanah pada telapak tangannya. Diludahinya tanah itu, lalu dengan jari telunjuknya itu di sentuhnya sedikit-sedikit dan dioleskannya ke sekitar mata, hidung, telinga dan mulutku. Sisa tanah itu kemudaian diratakannya ke seluruh lengan dan kakiku.
"Apa ini, Pak?" tanyaku tambah berdebar.
"Tanah yang aku ambil dari kuburan bapakku."
"Biar?"
"Biar tidak digigit nyamuk," jawabnya seperti asal-asalan sambil tertawa terkekeh lagi.
"Jangan bercanda, Pak," kataku.
"Eh, betul ini," katanya lagi setelah selesai membaluri lengan dan kakiku dengan apa yang disebutnya tanah kuburan bapaknya. Lalu sambil menepuk-nepuk kepalaku mengucapkan sedikit mantra di telingaku: "Duh, Gusti kang murbing dumadi..mugi slamet jabang bayine Basuki."
Makin berdebar saja aku mendengar itu.
"Ada apa sih, Pak?"
"Sst..waktunya sudah hampir datang. Kau berani melihat mahluk gaib, kan?"
"Tidak."
"Sudah kebacut. Ndangak!"
Aku manut saja dan mengangkat wajahku sementara dia dengan sigap meneteskan sesuatu di kedua mataku. Aku sedikit mengaduh karena rasanya sangat-sangat pedih. Itu belum selesai, setelah itu dua telingaku pun ditiupnya.
"Pedih sebentar, nanti juga baik lagi."
Kukerjap-kerjapkan mataku untuk mengatasi rasa pedih itu dan membiasakan penglihatanku kembali. Kulihat dia tesenyum di depanku.
"Nah, coba kau tengok ke kiri," katanya, "ingat, jangan tutup mata, telinga atau hidungmu."
Masih manut, aku menuruti katanya itu. Awalnya sangat kabur walaupun jelas kulihat sesuatu. Sesuatu yang putih dan berada di atas makam Sagrip yang masih baru. Sesuatu itu makin jelas dan....apa yang kulihat kemudian itu membuatku terkejut setengah mati hingga aku sedikit terlonjak dari dudukku!
Jangkrik anyang-anyangen! Wedus bandot! Setan alas! Asu buntung, renganen! Hatiku memaki-maki tiada habis, tetapi mulutku tetap bungkam karena kejutan itu.
"Bagaimana?" tanya Mat Wiji masih terkekeh-kekeh.
Apa yang kulihat benar-benar belum pernah kubayangkan sama sekali. Dalam terang lampu teplok yang tidak seberapa itu, aku melihat sesosok lelaki tua tanpa busana yang sangat pucat sehingga putih seluruh tubuhnya, tengah duduk santai memandangi lampu teplok. Sesekali kulihat pula dia menyorongkan tubuhnya itu dan wajahnya mendekat pada api teplok lalu lidahnya keluar dan menjilati kaca torong penutup api!
Sedikit gemetaran aku mengalihkan pandanganku kepada Mat Wiji. Aku masih ingat pesannya, tidak menutup mataku kecuali untuk berkedip. Akan tetapi yang terjadi, mataku malah sulit untuk sekedar berkedip karena takjubku.
"Siapa itu, Pak? " tanyaku dengan suara bergetar.
"Lha, itu sirepnya."
"Sirepnya? Kenapa bentuknya begitu?" tanyaku bodoh.
"Goblok. Memangnya kau pikir sirep itu seperti apa?"
"Tidak tahu, Pak. Belum pernah lihat."
"Hmm..sekarang sudah tahu, kan? Nah, aku buka inderamu itu biar kau bisa mengetahui sekitarmu. Anak yang kau ceritakan tadi bisa kau lihat karena dia memang berniat menampakkan dirinya. Untuk yang tidak mau menampakkan diri seperti hantu sirep itu, sekarang kau bisa lihat."
Jantungku berhenti satu detik rasanya. Itulah sosok yang menidurkan kawan-kawanku! Pastilah dia dikirim oleh pemiliknya yang ingin menggali makam Sagrip yang kami jaga.
"Jadi, mahluk halus apapun bisa kulihat sekarang, Pak?"
"Ya, tentu. Menarik, bukan?"
Menarik dengkulmu ambles!
Aku masih saja memaki-maki dalam hati. Awalnya aku membayangkan berjaga di kuburan hanyalah pindah tidur saja sementara dari rumah. Tenyata di hari terakhir ini, hari di mana masuk giliranku berjaga aku harus mengalami hal seperti ini. Takut sih tidak terlalu. Menegangkan, iya. Tapi kalau boleh memilih, aku lebih baik tidak mengalami yang seperti ini.
"Tenang saja, selain tandangnya yang mengerikan itu, dia tidak akan melakukan apa-apa yang tidak diperintahkan tuannya. Tugasnya hanya menidurkan, jadi dia akan pergi dari sini begitu kokok ayam pertama terdengar."
"Tapi, kenapa yang lain dibiarkan kena sirep, Pak? Kalau mereka tidak tidur, bukankah kita jadi lebih banyak?"
"Kau berani mengambil resiko salah satu dari mereka menjadi histeris dan membuat yang lainnya pun jadi gentar? Tidak pingsan juga sudah bagus. Apalagi jika maling-maling itu kalap, apa tidak dibantainya kalian semua? Korban jadi banyak sementara kemampuanku pun sebenarnya hanya sanggup melindungi satu saja dari kalian. Jadi biarkan saja orang-orang tidak berguna itu tidur dengan pulas. Aku hanya butuh kau yang kulihat sebenarnya mempunyai keberanian yang lebih dari mereka untuk menjagai makam ini sementara aku berjaga di ujung utara."
"Kalau mereka datang dari arah lain?"
"Tidak mungkin. Selatan, Timur dan Barat sudah ada tuannya. Bisa geger!"
Aku diam saja, tidak mengerti dengan kata-kata orang klenik seperti Mat Wiji itu. Mataku justru mencuri-curi pandang pada sosok yang duduk di atas makam Sagrip sambil terus menjilati torong lampu teplok itu. Hatiku begidik ngeri.
"Aku ikut bapake saja," kataku kemudian, karena pikirku buat apa aku berjaga di sini dan Mat Wiji di tempat lain. Tiba-tiba juga aku jadi ingin membangunkan semua kawan-kawanku itu.
"Goblok! Kalau tidak ada yang berjaga di ujung utara, maling-maling kroco pun bakalan bisa masuk!"
"Tapi, yang tadi? Dia pun sebenarnya sudah bisa masuk, bukan?"
"Ya, tapi wadagnya tidak. Makanya hanya piaraannya itu. Dia hebat."
"Tapi, bukankah jadi sia-sia saja aku berjaga di sini? Lebih baik kami berlima seperti semalam."
Mat Wiji menarik napasnya, kelihatan tidak sabar.
"Kau tahu," katanya sambil mendekatkan wajahnya, "sejak malam pertama aku sudah menghalau beberapa orang dari mereka. Dari yang kroco bengel sampai yang ngelmunya ngedab-edabi seperti yang ini, tapi aku tidak cerita. Sebenarnya tidak butuh banyak orang untuk menjaga makam, tapi aku tidak menolak karena keluarga si Sagrip ini tidak mau begitu saja mempercayaiku melakukannya sendirian. Terbukti bukan, orang banyak gampang dibereskan kalau dia mau. Sepertinya malam ini dia belum menyerah dan semua isi gudangnya dikeluarkannya, aku sudah merasakanny. Sekuat-kuat ngelmuku, aku tidak yakin bisa menahan piaraannya yang banyak itu. Peranmu di sini hanya diam. Diam dan diam. Jangan tertidur atau lari ketakutan. Cukup satu orang tetap terjaga sampai pagi dan dia tidak akan bisa mengambil mayat Sagrip. Mengerti?"
"Aku tidak yakin, Pak."
"Pasrah marang Gusti Allah. Kau mau berbuat baik, kan? Nah, berbuat baiklah pada si mayit itu, menjagai makamnya dari tangan-tangan nggrathil yang akan mencuri tubuhnya. Aku tahu, kau pasti tidak suka dengan Sagrip semasa hidupnya, tapi berbuat baik tidak memandang orang, bukan? Apalagi orangnya sudah jadi bangkai."
"Tapi kalau harus mengorbankan nyawaku...."
Mat Wiji terkekeh-kekeh sambil menepuk-nepuk bahuku.
"Tidak akan ada yang mati di sini. Paling kau hanya ketakutan setengah mati. Anggap saja ini ujian buat kematanganmu sebagai manusia, kejantananmu sebagai laki-laki."
Aku diam saja, tapi terasa benar kata-katanya membakar jantungku, menantang kejantananku.
"Nah, ada yang datang," kata Mat Wiji kemudian, pandangannya diarahkan ke utara, "itu pasti dia, satu-satunya yang tersisa dan paling kuat. Ingat pesanku..apapun yang terjadi, jangan takut. Jangan menutup mata, telinga atau hidungmu! Tugasmu hanya mengamati makam Sagrip itu. Pelototi saja. Orang-orang seperti mereka pantang mempertunjukkan keahlian membongkar kubur orang di bawah tatapan orang lain. Bisa magel ngelmunya. Aku mau sedikit berbincang dengan dia yang ngelmunya ngedab-edabi itu. Mudah-mudahan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Seandainya bisa berdamai, aku memilih cara itu."
Setelah berkata demikian, Mat Wiji bangkit dan berjalan ke arah utara. Aku masih terdiam di tempatku dengan tegang.

*****

Seperti telah lama sekali Mat Wiji meninggalkanku sendirian ketika tiba-tiba saja aku diserang rasa kantuk yang dahsyat. Kedua kelopak mataku rasa-rasanya bagai diganduli batu kali yang besar-besar.
"Eling, Bas...eling, Bas." bisikku berkali-kali pada diriku sendiri.
Aku paham, kantuk yang kurasakan ini tidaklah sewajarnya. Tak sengaja, aku menoleh ke kiriku, kulihat hantu tua yang berwarna putih dan duduk di makam Sagrip itu masih tetap pada posisinya, tak sedikitpun menoleh padaku. Sesekali masih dijilatinya torong lampu teplok itu. Langsung kupalingkan wajahku ke arah lain. Bukan dia, pikirku. Mungkin ada kekuatan yang lain.
Saat itulah hidungku mencium wangi yang aneh. Aroma kembang dan bangkai berbaur menjadi satu membuat perutku seketika bergejolak. Ada keinginan untuk menutup hidungku, tetapi aku ingat pesan Mat Wiji sehingga aku hanya bisa mendengus-dengus menolak aroma aneh yang menyusup ke dalam lubang hidungku itu. Bersamaan dengannya pula terdengar kemudian bunyi krincing-krincing yang nyaring dan tiba-tiba saja segala bebunyian yang ramai masuk pula ke telingaku. Ada suara orang bercakap, tertawa, benda jatuh, hingga suara meriam menggelegar memaksaku bekerja keras menenangkan degup jantungku sendiri.
Tidak terlalu lama keemudian, suara-suara itu serentak berhenti dan sayup sampai kudengar ada yang menyebut namaku, seperti berbisik saja.
"Basuki...."
Seperti dekat tetapi seperti pula jauh. Sukar dijelaskan
"Yaaa.." tanpa sadar aku menanggapinya.
"Basuki..."
Peluhku bercucuran seperti air hujan yang merembes pada dinding gedek, tapi aku sama sekali tidak berani menoleh atau sekedar menggerakkan jari-jari tanganku.
"Kau tidak pulang, Basuki?" tanya suara itu. Arahnya kini dari sisi kananku. Begitu dekat, karena kurasakan pula hembusan napas yang dingin menyentuh telinga dan sebagian leher serta bagian kanan wajahku.
"Aku..aku tidak akan pulang sekarang. Aku akan pulang selepas subuh," jawabku sedikit terbata-bata.
Lalu kudengar suara tertawa cekikikan yang melengking tinggi dan sebuah sosok perempuan berambut panjang tiba-tiba telah muncul di hadapanku, duduk memunggungiku. Rambutnya yang panjang seakan-akan menutupi seluruh tanah pekuburan ini dan aku merasakan aku justru telah duduk pula beralaskan rambutnya. Duh, biyung!
Dia kudengar bersenandung lirih sambil memain-mainkan dengan tangannya beberapa helai anak rambut di samping telinganya dengan kepala miring ke kanan. Sedikit demi sedikit tubuhnya yang tidak bisa kulihat kakinya itu berputar dan berbalik menghadapiku. Aku dicengkam ketegangan yang luar biasa hingga ingin rasanya melarikan diriku pulang, tetapi rasa-rasanya untuk bergerak pun sulit.
Perlahan-lahan tubuhnya berhadapan denganku dalam jarak hanya sekira dua jengkal sehingga dapat tercium wangi tubuhnya yang bercampur dengan bau busuk yang amis menggelitik hidungku. Awalnya hanya bisa kulihat matanya yang hijau itu. Lalu dahinya nampak pucat melebihi pucat kulit mayat. Sedikit-demi sedikit, seperti gordin yang disibakkan, keseluruhan wajahnya kemudian terpampang jelas di mataku.
Ah, wajahnya sebenarnya cantik, tapi bagiku bibirnya yang tersenyum itu terlalu lebar. Benar-benar lebar hingga tarikan sudutnya hampir mencapai kedua telinganya membuatku ngeri dan beringsut ke belakang beberapa jengkal.
Dia masih bersenandung dan memainkan anak rambutnya, tetapi matanya itu tajam menatapku. Ketika beberapa lama kemudian senandungnya berhenti, dia berkata ketus:
"Bali nganah!"
Aku tertegun. Dalam ketakutanku itu aku masih bisa berpikir dan teringat pesan Mat Wiji. Apapun yang terjadi, aku harus tetap ada di sana. Harus tabah. Maka aku menjawabnya dengan terbata-bata:
"Ti..tidak mau..."
Lalu tangan kanannya yang tertelan lengan bajunya yang panjang itu terangkat seperti akan menamparku, tetapi urung dan berhenti di udara. Aku yang sudah merasa pasrah saja akhirnya benar-benar bisa bernapas lega. Ada yang menghalanginya untuk melakukan sesuatu terhadapku. Kudengar suara tercekat di tenggorokannya, lalu tanpa berbicara lagi, dia berbalik dan tubuhnya seperti kapas saja terangkat dan melayang hingga hilang di kegelapan. Hanya terdengar tawa cekikikannya memenuhi pekuburan ini.
Kuatur napasku untuk mendinginkan perasaanku dan juga karena rasa legaku, tapi belum sempat dua tarikan napas kuselesaikan, ada sesuatu yang jatuh dari atas dan menahan kepalaku. Seperti sebuah tangan yang besar dan berjari lebar mencengkeramnya sehingga aku tidak mampu sama sekali memutar leher. Apa lagi ini, Gusti?
Tanpa pikir panjang, kedua tanganku kuulurkan ke belakang menggapai-gapai karena perasaanku mengatakan sesuatu yang mengerjaiku sekarang berada di belakangku. Aku tak menemukan apa-apa. Di samping kanan dan kiriku, sama saja.
Hanya ada satu kemungkinan.
Dengan menelan ludah dan memberanikan diriku walaupun tubuhku pun gemetaran, aku mencoba menyentuh sesuatu yang menekan bagian atas kepalaku itu dengan kedua tanganku. Aku meraihnya...
Sepasang kaki! Sepasang kaki dengan sepuluh jari! Dingin dan keras seperti batang kayu cengkeh yang beku!
Segera kuturunkan kembali kedua tanganku dan memukul-mukulkannya ke pahaku karena rasa panikku. Sepertinya dua kaki itu bergerak-gerak mengacaukan rambutku sementara tekanan yang kurasakan semakin berat hingga wajahku tertunduk dan leherku terasa pegal. Lalu kurasakan sesuatu ndlewer membasahi kepalaku. Cairan yang entah bagaimana terasa lengket dan berbau luar biasa busuk ketika sampai ke hidungku. Lagi-lagi bau busuk. Sungguh, sebenarnya aku sudah hampir muntah jika saja aku tidak lekas-lekas  teringat pesan Mat Wiji lagi.
"Mbah," kataku kemudian dengan suara bergetar dan sepertinya tak jelas pengucapannya, "tolong, saya di sini cuma pesuruh yang bodoh. Saya tidak mau diganggu. Rika punya tugas, saya juga punya tugas. Kalau kita sama-sama berkeras, tidak akan pernah selesai kecuali mbah mau bunuh saya."
Haduh, dari mana aku bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu? Aku jelas tidak akan mau dibunuh setan piaraan orang. Jangkrik!
Kudengar suara lelaki tertawa tanpa membuka mulutnya, karena suaranya itu seperti teredam dalam sumur yang dalam. Lalu:
"Cocotmu! Awakmu mambu lemah kuburan!" 
"Nggih, Mbah. Badan saya memang bau tanah kuburan. Ada orang baik yang kasih untuk perlindungan," kataku. Sekali lagi aku heran dengan jawabanku sendiri.
Setelahnya kurasakan tekanan di kepalaku perlahan-lahan berkurang dan kemudian lenyap sama sekali. Masih merasakan pegal pada leherku, aku mencoba mendongakkan kepalaku ke atas. Tidak kulihat apapun.
Syukurlah, pikirku. Satu penampakan yang menyeramkan lagi, aku pikir aku akan bisa kapok. Tanganku mengusap-usap rambut dan wajahku. Hanya keringat saja, tidak ada cairan berbau busuk yang kurasakan tadi. Keteganganku sedikit sirna.
Sepertinya masih beberapa jam lagi hingga pagi, pikirku ketika merasakan perangai hawa berubah tiba-tiba. Angin berhembus cukup kencang menggoyangkan batang dan daun kamboja hingga bunga-bunganya berguguran. Beberapa berjatuhan di atas tubuh Senen yang tertidur di bawah pohon kamboja yang berdekatan dengan salah satu makam yang ditidurinya. Mataku melirik lagi pada hantu sirep yang tua dan telanjang itu. Perasaanku sudah biasa saja, apalagi dengan keyakinan bahwa dia tidak akan menggangguku.
Saat kemudian aku sedikit menggeser dudukku, anak perempuan yang tadi menamparku tiba-tiba muncul lagi di hadapanku. Berjongkok dengan kedua tangannya menopang dagu, memperhatikanku.
"Eh?" hanya itu lagi yang kuucapkan, sama seperti ketika bertemu dengannya untuk pertama kalinya.
"Belum mau pulang kamu?" tanyanya ketus.
Aku surut ke belakang beberapa jengkal hingga punggungku membentur kaki Watim. Aku justru sedikit takut dan masih terbayang dengan tangan kecilnya yang mampu menjatuhkanku dengan sekali tamparan.
"Mau ditampar lagi? Jangan berlagak pahlawan!"
Aku diam saja menatapnya. Dia mendekat dan ditariknya kedua tanganku dengan kasar kemudian diendusnya. Kulihat wajahnya seperti menahan marah..
"Wiji itu...." katanya dengan marah. Sepertinya dia membaui tanah kuburan yang dilumurkan oleh Mat Wiji. Seketika timbul keberanianku.
"Kenapa? Bau tanah kuburan?" tanyaku menarik kedua tanganku.
Kulihat kedua matanya membesar dan mulutnya mengeluarkan lengkingan marah. Lalu sambil tertawa cekikikan dia meloncat-loncat pergi sambil berteriak-teriak:
"Magel! Magel! Magel!"
Seiring kepergiannya, kantuk kembali datang menyerangku tiba-tiba dan aku benar-benar sudah tak kuasa menahannya.....

*****

"Heh! Bangun!" kudengar bentakan Mat Wiji.
Aku membuka kedua mataku. Mengerjap-ngerjap sebentar mencoba mengenali keadaan sekitarku. Aku memang tertidur di pekuburan, pikirku. Tiba-tiba aku teringat dengan tugasku dan langsung terloncat duduk.
"Pak Amat!" teriakku, "aku ketiduran?"
"Ya," jawabnya santai sambil duduk menggelosor di tanah dan mengeluarkan kotak tembakaunya.
"Aku gagal?"
"Tidak juga."
"Berhasil?"
Mat Wiji tertawa terkekeh-kekeh.
"Mari kita pulang," katanya.
"Apa yang terjadi dengan pencuri itu?" tanyaku ingin tahu.
"Rahasia orang-orang tua," jawabnya pendek.
Lalu kami berdua mengumpulkan barang-barang kami. Lampu-lampu teplok, beberapa batang bambu kuning untuk cagak lampu-lampu teplok itu malam sebelum-sebelumnya, kendi berisi sisa-sisa air kopi bebeg jagung yang langsung kutuangkan ke atas makam Sagrip sambil menawarinya minum kopi dalam hati. Dia toh seharusnya berterimakasih kepada kami karena makamnya itu tetap utuh hingga hari yang terakhir.
"Biarkan mereka," kata Mat Wiji ketika aku hendak membangunkan empat kawan-kawanku yang masih pada tertidur itu, "biarkan saat bangun nanti mereka kebingungan. Pemuda-pemuda yang tidak berguna."
Aku tertawa saja mendengarnya.
Matahari mulai mengintip di cakrawala ketika kulihat sesosok tubuh berdiri tepat di samping gerbang barat pekuburan saat aku dan Mat Wiji berjalan menuju pulang. Sagrip! Jantungku berdebar-debar. Apa lagi ini?
"Terima kasih," kata Sagrip yang sudah mati itu saat kami hampir melewatinya.
Tanpa sadar, tubuhku merapat pada Mat Wiji. Mat Wiji sama sekali tidak memperhatikan sosok itu, tetap klepas-klepus merokok.
"Biarkan saja," bisiknya padaku..
Aku masih memperhatikan sosok yang membungkuk hormat itu dengan takjub hingga kami benar-benar melewatinya.
"Itu Sagrip, Pak," kataku penuh keheranan, "benar-benar Sagrip!"
"Bukan."
"Lha?"
"Kau pikir orang yang sudah mati bisa jalan-jalan pagi semaunya? Itulah setan. Pandai meniru. Jika kau mempercayainya, kau pasti tidak pernah mengaji."
"Memang bapake pernah ngaji?"
"Aku mengaji dengan caraku sendiri."
Aku mengangguk-angguk.
Terbayang lagi peristiwa semalam, suatu pengalaman yang ajaib dan menakjubkan buatku. Cukup sekali saja kualami karena aku sungguh tidak ingin mengulanginya lagi.
"Kau masih menyimpan rasa takut?" tanya Mat Wiji.
Aku menggeleng mantap.
"Anak baik," katanya lagi sambil terkekeh.

Cigugur, 13 Mei 2011

Category:

3 komentar:

Anonim mengatakan...

sagriv poreper lah..

ternyata masih sedikit kecing juga ya..haha..

Unknown mengatakan...

genah iya koh..haha..

anazkia mengatakan...

Huaaaaa, aku baca tadi belum selesai, terus laptop mati. Maklumlah, lapinya sering mati mendadak. Eror :(

Nah, terus tak tinggal tidur, malah mimpi aneh2, asyem tenan mimpinya di kuburan! :|

Ini udah selesai baca, KEREN!

Posting Komentar