Mertua

Mertua
AK Basuki

Suamiku berkali-kali mengatakan ingin pulang. Dia merasa harus berada di tengah semua orang-orang tercinta sebelum kanker jahat yang menggerogoti tubuhnya telanjur menunjukkan kuasa. Aku memahami bahwa akhir hidupnya seperti sudah ditentukan dan punya kewajiban moral untuk menuruti keinginannya itu. Tapi tidak mudah, karena dia telah menjadi keping pecahan terkecil yang terlepas dan merusak fondasi kokoh keluarganya.
Dia menikahiku tanpa restu. Maka, keberanian untuk lepas menentukan jalan hidup bersamaku seolah-olah menjadi sekat pemisah yang tebal antara aku dan keluarganya. Sekat itulah yang kini harus dirobohkan. Artinya, aku harus melupakan harga diriku, menanggalkan perasaan malu dan bersalah demi mewujudkan keinginannya.
“Kau mengembalikan dia setelah layu agar keluarga kami yang menanggung penderitaannya? Kami tidak melihat sebuah tanggung jawab yang seharusnya bisa kau hadapi sendiri sebagai konsekuensi dari apa yang telah kalian perbuat bagi keluarga ini,” kata kakak suamiku yang tertua mewakili keluarga besarnya, mencecarku. Akhirnya aku memang membawa suamiku pulang, tapi tidak ada niatku sedikitpun untuk meninggalkannya atau melepaskan tanggung jawab sebagai seorang istri.
“Saya bertanggung jawab. Karena itu, izinkan saya mendampinginya di sini.”
“Itu keinginannya atau keinginanmu?” Aku diam. Kupikir tidak akan memperbaiki keadaan jika harus berdebat tentang ini. Dalam kesedihan mereka, rasa-rasanya aku pun punya bagian. Bahkan lebih besar.
“Izinkan saya tinggal di sini mendampinginya.”
Di sinilah tempatnya, di tengah-tengah keluarga. Bagaimanapun keadaannya, dia akan selalu kami terima dengan tangan terbuka. Tapi tidak dengan kau.”
“Dia suami saya.”
“Pernikahan kalian tidak sah!”
Keadaan memanas. Apalagi ketika saudara-saudara suamiku yang lain turut melontarkan pendapat. Walaupun ada yang tidak terlalu antipati kepadaku, dan aku sangat berterima kasih untuk itu, tetap saja keputusan untuk menolakku lebih besar gaungnya. Berada di sana, aku seakan menjadi seekor cacing tersesat yang tidak berdaya di tengah kepungan gerombolan semut yang lapar.
Saat ibu mertuaku muncul dari dalam kamar tempat suamiku dibaringkan, masih terlihat basah kelopak matanya. Pastilah hatinya hancur sepertiku karena tangisnya memang sudah pecah sejak kedatangan kami beberapa jam sebelum itu. Aku benar-benar tidak sanggup membalas tatapan matanya. Harga diriku telah sejak dulu menciptakan tameng sendiri, bersiap dengan caci maki dari siapapun. Tapi untuk menghadapinya, aku perlu kekuatan yang lebih lagi.
“Biarkan dia di sini,” katanya. Wibawanya langsung membuat seisi ruangan senyap.
“Seharusnya tidak, Bu, anaknya yang tertua mencoba membantah.
“Begitu? Jadi kau mau memandikan dan menceboki adikmu setiap hari? Kalau kau memang mau, perempuan ini boleh pergi.” Seisi ruangan senyap kembali. Kata-katanya itu bagiku sangat menyakitkan, tapi justru menolongku.
“Kau,” katanya kemudian, ditujukan padaku. “Di waktu lain, aku pasti sudah menendang pantat montokmu itu jauh-jauh, bahkan sebelum kau melewati gerbang rumahku. Tapi demi anakku, kau boleh tinggal di sini.”
Tidak ada lagi kekuatan yang bisa menolakku. Tapi sebelum aku mengucapkan terima kasih, tubuh perempuan tua itu sudah tenggelam di balik pintu kamarnya. Aku lalu memilih untuk masuk pula ke dalam kamar suamiku, masa bodoh dengan semua yang masih menentangku. Aku menang.
“Ujian mental yang bagus, ya?” suamiku menyambut dengan senyum ceria yang dibuat-buat. Dalam sakitnya dia memang selalu mencoba mencairkan hatiku walau sebenarnya aku tidak suka. Terlalu menyakitkan untuk sekadar menganggapnya jadi guyonan yang bermutu.
“Tidurlah saja, perjalanan jauh pasti membuatmu lelah.”
“Selelah apapun, aku telah di rumah. Lagipula ada kau. Sejak dulu aku tidak pernah berpikir akan bisa membawamu ke rumah ini. Ternyata beginilah,” katanya. Tidak terdengar sendu, tapi mampu mencakar-cakar hatiku. Sejak vonis dokter, hanya butuh beberapa bulan yang menyakitkan untuk pada akhirnya melihatnya roboh sama sekali. Sulur-sulur kanker telah mencapai organ-organ penting dalam tubuhnya. Dia menyadari itu, tapi tetap berusaha menunjukkan ketabahan yang berlebihan. Semisal menyembunyikan kesakitannya, menertawakan perutnya yang membesar dan terlihat kontras dengan bobot yang menurun drastis atau membuat ekspresi-ekspresi wajah yang jenaka. Semua kupikir dilakukannya semata-mata untuk menghiburku sekaligus menyingkirkan pula ketakutan dan kesedihan yang pasti dimilikinya. Sungguh, seharusnya dia tidak perlu seperti itu.
“Tidurlah,” bisikku lalu berbaring di sampingnya.
*****
Memang tidak ada perubahan berarti kecuali bayangan kematian yang semakin dekat. Tapi di rumah itu, suamiku seakan-akan menemukan kembali bagian lain dari jiwanya yang tertinggal di sana. Jiwa yang terberai karena sebagian yang lain telah terbawa terbang menjauh bersamaku.
Mau tidak mau, setiap hari aku harus berhadapan dengan ibu mertuaku, seseorang yang sampai saat ini selalu membuat perasaan bersalahku tidak pernah menemukan penawar. Awalnya, perempuan menjelang 70 itu kupikir akan memberikan masalah tersendiri buatku. Tapi seiring dengan waktu, lambat laun aku mampu menghadapinya.
Saat-saat bersama merawat suamiku benar-benar mencairkan kebekuan kami. Tentu saja tetap ada canggung, karena dia pun sepertinya masih merasa berat untuk mengakuiku sebagai menantu. Tidak terhitung kata-kata pedas yang dilontarkannya, juga bahasa-bahasa tubuh yang menyakitkanku. Tapi itu dengan ikhlas kuanggap sebagai ujian yang wajar. Seharga dengan kekecewaan yang diidapnya selama ini oleh sebab aku dan suamiku. Aku pun memahami, kebahagiaan dan kesedihan sekaligus tengah dirasakannya. Anak yang dahulu hilang akhirnya kembali, tapi tidak lagi dengan raga yang sempurna seperti sedia kala.
Lama kelamaan dia pun merasakan, ungkapan hormat dan penyesalanku, walau belum pernah kukatakan dengan mulutku. Mungkin juga kekerasan hatinya luntur ketika menyadari keikhlasanku. Entahlah. Anaknya toh adalah suamiku. Aku punya kewajiban total untuk tetap berada di sampingnya hingga maut memisahkan. Dia tidak punya kewajiban memberikan penilaian lebih padaku untuk itu.
“Ibu tidak pernah membencimu. Hatinya hanya kecewa,” kata suamiku menanggapi perkembangan hubunganku dengan ibunya. Suaranya terdengar penuh kelegaan karena dia pun merasa perkembangan itu menuju ke arah yang lebih baik.
 “Ya, aku mengerti.”
“Di antara saudara-saudaraku mungkin masih ada yang tidak bisa menerimamu, tapi aku yakin itu tidak akan mengganggumu.”
“Tentu saja tidak. Mereka tidak punya hak untuk menolak atau menerimaku karena apa yang aku lakukan hanyalah mencintaimu.” Kulihat matanya berkaca-kaca, sesuatu yang belum pernah kulihat sejak sakitnya.
Kondisinya semakin buruk dari hari ke hari, tapi dia selalu berusaha untuk bangkit. Sekadar berjalan mengitari rumah setiap pagi atau mengajak aku dan ibunya berbincang-bincang di beranda adalah hal yang rutin dimintanya. Itulah caranya untuk makin mendekatkanku dengan ibu mertuaku. Dia berhasil, karena rasa-rasanya tidak ada lagi dendam atau benci yang tersisa. Tidak ada lagi sekat yang membatasi. Hanya tertinggal satu tujuan yang sama antara aku dan ibu mertuaku itu untuk kepentingan suamiku di hari-hari terakhirnya.
Dalam kesedihan kami, mertua dan menantu, seakan ada tangan Illahi yang menyentuh hati dan menyingkirkan segala penghalang. Pernikahan yang tidak direstui karena perbedaan adat dan agama seakan hanya menjadi masa lalu. Benar, semua adalah masa lalu. Tanpa kata-kata, kami sepakat bahwa tidaklah penting selalu berkaca pada masa lalu.
Hingga pada suatu malam, hanya beberapa minggu setelah membawa suamiku pulang, terucapkanlah permohonan maafku. Sambil bersujud mencium kaki perempuan tua itu, batinku luruh. Hari-hari semakin mendekat kepada akhir dan aku merasa harus melakukan apa yang seharusnya kulakukan sedari dulu. Dia membiarkan, tapi tidak mampu pula menahan tangisnya.
“Pada akhirnya toh kau membawanya kembali,” katanya. “Itu sudah lebih dari cukup. Aku tidak bisa memberikan maaf karena memang tidak ada yang perlu dimaafkan. Jika maksudmu meminta restu, itu pun sudah kuberikan. Tidak ada hati seorang ibu yang sekeras batu. Lain cerita jika kau tetap punya prasangka terhadapku. Tapi tidak, bukan?” Saat dia kemudian menyentuh bahuku, aku langsung bangkit dan memeluknya sepenuh-penuh perasaan. Mengucapkan terima kasih berkali-kali.
“Saya hanya terlalu mencintainya, Bu. Saya mohon maaf juga untuk itu.”
“Kita sama-sama mencintainya, tapi kaulah belahan jiwanya. Aku hanyalah perantara untuknya lahir ke dunia, sementara kau adalah penyempurna kehidupannya.”
Air mata seperti tidak mau berhenti mengucur setelahnya. Mungkin karena itu adalah pelampiasan kesedihan yang sekian lama tertahan atau bisa jadi ungkapan kelegaan dan kebanggaan bahwa dalam keadaan apapun, aku tidak pernah jauh dari sisi suamiku. Aku, seorang yang jadi sasaran tembak penolakan keluarga suamiku, ternyata mampu membuktikan sebuah pengabdian yang total.
Mungkin pula adalah sebuah pertanda, karena sebelumnya kulihat sendiri suamiku dengan kekuatan terbatasnya berusaha keras untuk berguling dari ranjang, tersungkur lalu bersujud di kaki ibunya. Kalimatnya terbata-bata memohonkan maaf untuk kami. Dia menciumi kaki perempuan tua itu lama sekali, seakan-akan semua waktu kehidupan sejak lahir hingga akhir hayat ingin dihabiskannya di sana. Mencoba membuka pintu surga.
*****
Dua hari setelah malam itu, di tengah-tengah keluarga besarnya, suamiku pulang ke rumah Tuhan. Aku percaya tidak ada kebahagiaan yang lebih bisa dirasakan seseorang daripada dikelilingi orang-orang tercinta di saat-saat terakhirnya. Dia seorang yang beruntung dan aku berbesar hati untuk itu, lebih daripada memilih jatuh dalam kesedihan.
Dari awal prosesi pemakaman hingga berakhirnya, aku dan ibu mertuaku tidak pernah melepaskan genggaman tangan kami. Kami adalah dua orang yang paling merasa kehilangan dan itulah cara kami untuk saling menguatkan. Tidak ada tangis yang berlebihan.
“Air mata kita sudah sama-sama habis, bukan?” bisiknya. Aku mengangguk. Pipiku lalu diciuminya.
Hubungan kami tetap dekat setelah itu. Bahkan, pada pesta pernikahan keduaku tiga tahun kemudian, dia memaksakan untuk datang biarpun jarak terpisah begitu jauhnya. Aku hanya tertawa saat berkali-kali dia mengeluhkan lututnya yang sakit selama perjalanan atau berkata bangga kepada setiap orang yang mengajaknya bicara, “Pengantin yang cantik ini menantu saya!”

 

Cigugur, 13 Januari 2012








Baca Seluruhnya..
Category: 0 komentar

Lepas


Lepas
Oleh: AK Basuki


Hampir dua jam perempuan itu tersisih di sudut kamarnya sendiri, meringkuk dalam kegelapan. Seperti sedang disetarakannya bunyi detak jantung dan tik-tak jarum jam dini hari itu. Air mata sudah tumpah semuanya, tapi dia tak juga tenggelam walaupun keinginan untuk itu begitu besar. Ngawur, kata sebagian otaknya mengejek, tak akan nanti air mata mampu menenggelamkan dirinya biar sampai tangan kiamat terulur.
Dipilinnya ingatan satu-satu kepada beberapa minggu lalu, saat dia dan lelaki itu berhadapan beradu kata-kata.
“Kau tidak mencintaiku, bukan?” tanya lelaki yang hingga kini masih tega berkecamuk dalam pikirannya. Seorang lelaki yang baik, pada siapa dia sebenarnya menjatuhkan seluruh perasaannya ketika batas yang telah dibangun tiba-tiba memberontak untuk runtuh hingga tiada lagi penyekat kecuali keegoisan dan kebodohannya.
“Mencintai itu perasaan busuk. Aku lebih memilih menyebutnya sebagai mimpi buruk yang suatu waktu nanti hanya akan berakhir,” jawabnya.
Memang akan berakhir dan dia telah menentukan sendiri seperti pada lelaki-lelaki sebelumnya. Awalnya toh dia hanya ingin lari, bertemu lelaki sesiapapun, memainkan peran demi menyenangkan hatinya sendiri untuk kemudian terlepas. Tapi kali ini dia berperan terlalu sempurna dan cintanya tumbuh seribu kali di lahan yang sangat subur.
“Kau tidak pernah mau menjawab.”
“Haruskah?”
“Aku ingin punya keluarga,” gumam lelaki itu.
“Aku tidak,” sambarnya cepat. Kehidupan perkawinan tidak cocok baginya. Seperti angin, dia hanya ingin berhembus. Kadang-kadang tenang dan senyap entah di suatu tempat. Pula seperti air dia hanya ingin mengalir, tak hendak tersimpan dalam wadah apapun.
“Kau harus meninggalkanku, jika begitu.”
Bukan kalimat “aku harus meninggalkanmu” yang keluar dari mulut lelaki itu, justru menunjukkan kelembutan dan kerendahan hatinya.
“Bisakah kita bicarakan yang lain saja?” tanya perempuan itu mulai merayu. Lengannya terangkat hendak memeluk, tapi lelaki itu surut. Hanya kedua matanya saja yang berbicara bahwa kali itu dia ingin didengarkan lebih dari biasa.
“Cinta kita cinta orang mabuk yang terkapar pingsan. Aku ingin beberapa menit saja bagi kita untuk siuman, lalu kau boleh melakukan apa saja yang kau mau. Tolong, beberapa menit saja.”
“Baiklah. Tapi kau tentu sudah tahu pendirianku.”
Perempuan itu sudah begitu hapal akan apa yang terjadi, sama persis seperti sebuah siklus. Maka dia tahu, mereka telah sampai kepada akhir, seperti yang terjadi pada lelaki-lelaki lain sebelumnya. Tidak adakah di pikiran mereka apapun selain pernikahan?
Diamlah lelaki itu. Dipikirnya memang akan percuma saja, tapi tetap dilakukannya apa yang memang telah dia persiapkan. Selingkar cincin disematkan. Perempuan itu manda. Memang terasa getaran yang berbeda, tapi dihalaunya.
“Aku benar-benar ingin membangun sebuah keluarga... denganmu.”
Perempuan itu menggeleng. Sekejap saja cincin di jari manisnya terlepas.
“Aku menginginkanmu, tapi tidak ingin menikah denganmu,” kata perempuan itu setelah menimang-nimang cincin di genggamannya, seolah berpikir untuk berkata-kata, kemudian mengangsurkan cincin itu kembali. Kata-katanya barusan adalah sebuah penawaran terakhir yang bisa diberikannya. Lelaki di hadapannya tersenyum, begitu saja, kemudian berlalu tanpa berkata apa-apa lagi. Hanya seperti itu.
Sesederhana itulah perpisahan mereka.
Tinggallah dia dengan kesombongannya, merasa mampu untuk langsung dapat melupakan lelaki itu seperti yang sudah-sudah. Diundanglah semua kawan-kawannya untuk berpesta meramaikan hatinya hampir setiap malam walaupun pada kenyataan dia sama sekali tidak bisa menikmatinya. Hambar. Tetap dicobanya untuk tidak terpengaruh, menjalani hidupnya seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi yang terjadi kemudian, segala yang dia lakukan ternyata hanya jalan untuk menggiringnya kepada ingatan tentang lelaki itu.
Tidak pernah terjadi sebelumnya, maka dia tetap berkeras mengabaikan. Sayang, rasa rindu yang tersangkal keegoisannya, cinta yang coba disingkirkan oleh kebodohannya justru menumpuk dan semakin menumpuk. Hati dan tubuhnya memberontak. Seperti candu, kebutuhan akan lelaki yang sebenarnya dicintainya itu terus-terusan menuntutnya.
Rasa yang kuat itulah yang malam tadi mampu menggerakkan kakinya menuju suatu tempat di sudut kota. Tempat di mana lelaki itu sering mengajaknya untuk sekedar meneguk secangkir kopi atau memperhatikannya memainkan jari pada laptop.
Lelaki itu memang berada di sana, masih di deretan bangku yang sama. Menatapnya kembali setelah sekian lama membuat ada yang menyentak-nyentak hendak keluar dari dalam dadanya. Sesuatu yang seumur hidup belum pernah dirasakannya untuk seseorang. Tapi sebelum kakinya sempat melangkah menghampiri, seorang perempuan datang membawakan dua cangkir minuman dan duduk menyebelahi lelaki itu. Urunglah dia. Hanya diawasinya mereka berdua dari kejauhan, di tempatnya berdiri mematung dalam temaram lampu jalanan.
Mereka bercakap-cakap dan tertawa ceria, terlihat begitu santai dan akrab. Apakah dia terlambat? Apakah kesadaran yang menamparnya datang setelah lelaki itu bahkan melupakannya dan telah bersama perempuan lain? Secepat itukah hukuman yang datang untuknya? Ada nyeri yang muncul seketika, memaksa kedua matanya mengabur oleh air mata.
Ya, dia sudah terlambat. Tidak ada alasan untuknya menumpahkan kekecewaannya saat itu juga. Berpikir sebentar, tangannya mengusap air mata lalu menghubungi sebuah nomor dari telepon genggamnya.
Dari kejauhan, terlihat lelaki itu bimbang. Berkali-kali tatapannya berganti antara layar telepon genggam dan perempuan di sebelahnya sebelum akhirnya membuka percakapan.
Halo,” terdengar bergetar suaranya.
“Halo.
Lalu diam. Lelaki itu terlihat gelisah dalam duduknya.
Ada apakah?
“Kau di mana?”
Apa itu penting?
“Tidak.”
Diam lagi.
Aku di tempat biasa.”
Perempuan itu mendengus. Ingin bertanya dengan siapa untuk memuaskan rasa ingin tahunya, tapi rasa gengsi menahan, teralihkan rasa cemburunya.
“Jika sempat, datanglah ke rumahku kapan saja,” katanya lagi dengan ketegaran yang dibuat-buat, tapi segera dia menyadari kesalahan dalam kalimatnya, “Maksudku, aku ingin mengembalikan cincin itu.”
Lelaki itu diam menyandarkan tubuhnya ke belakang. Gerak-geriknya jelas terlihat dari tempatnya berdiri.
“Kenapa diam?”
Aku pikir kau meneleponku sekarang karena mau memilikinya.”
“Aku tidak mau menikah.”
Bukan. Tidak ada lagi hubungannya dengan pernikahan. Itu untukmu.
“Aku tidak mau.”
Diam lagi.
“Ambillah kapan saja kau mau.”
Baiklah.”
Percakapan ditutup. Seperti untuk terakhir kali, dipandanginya lelaki itu sepuasnya sebelum berbalik pergi. Air matanya tidak juga berhenti mengalir sejak itu hingga kini, saat dia berani melepaskannya dengan menangis di sudut kamar.
Kini dia merasa benar-benar sendiri seperti kapal yang hanyut dalam lautan luas yang maha sunyi. Dia memang tidak mampu lagi menahan perasaan, tapi keadaan justru membuatnya tetap harus sembunyi. Dalam seketika, seakan-akan bertahun kehidupannya jadi percuma dan tak ada artinya.
Dini hari yang sama, di tempat lelaki itu berada, lampu-lampu telah hampir padam seluruhnya, tapi dia seperti enggan beranjak pulang.
“Ayolah,” kata perempuan di sampingnya. “Kau pikir aku tidak mengantuk? Ceritamu menarik, tapi dia tidak akan pernah datang. Percaya saja padaku.”
Lelaki itu tertawa dan mengacak-acak rambut perempuan itu.
“Tahu apa kau? Terinspirasi dokter sialan yang tidak bisa bersama kita di sini?”
“Dia sibuk, ada operasi mendadak dan jelas-jelas bukan sialan,“ jawab perempuan itu meleletkan lidah. “Daripada perempuanmu itu, sekalinya menelepon, hanya memintamu datang mengambil kembali cincin pemberian yang sudah sempat dipakainya berminggu-minggu. Perempuan seperti apa dia, ya? Alasanmu untuk menyembunyikan dan tidak memperkenalkannya pada kami selama ini benar-benar aneh. Siapa tahu semua hanya karanganmu saja. Sebenarnya kau tidak pernah punya kekasih.
“Kau benar. Jadi, siapa yang sialan sebenarnya?”
“Mereka berdua! Si dokter dan perempuanmu itu! Yang satu karena tidak menepati janji, satunya lagi karena menolak dan hanya menyuruhmu datang mengambil cincin!”
Mereka tertawa lagi. Sebenarnyalah, sesekali lelaki itu masih bisa membaui aroma tubuh perempuan kecintaannya seperti dia pun ada di ruangan itu bersama mereka saat itu. Bahkan di manapun. Selalu, setiap waktu. Itu sebabnya hampir setiap malam dia menunggu di sana, berharap perempuan itu akan datang menemuinya.
Angin berhembus membawa dingin saat mereka berdua keluar tepat sebelum pintu geser benar-benar diturunkan. Dan tentu saja, kesunyian melanda hatinya seketika.

Cigugur, 16 Februari 2012
Baca Seluruhnya..

Rumah di Dekat Tempat Pembuangan Sampah


Rumah di Dekat Tempat Pembuangan Sampah
Oleh: AK Basuki



“bukan rumahnya, justru sampahnya yang bawa rezeki...”


Rumah Daniel akhirnya selesai dibangun. Sayang, sudut terujung kompleks perumahan itu, yang otomatis hanya beberapa meter jaraknya dari rumah, telah jadi tempat pembuangan sampah. Salahnya sendiri juga, sebenarnya, tidak pernah menegur sehingga warga dengan bebas membuang sampah di sana. Awalnya memang sedikit-sedikit, sekedar plastik-plastik makanan ringan atau potongan-potongan rumput dan dahan pohon. Lama-kelamaan makin banyak. Sampah-sampah berat semacam sisa-sisa makanan serta sampah rumah tangga lainnya ikut tumplek di situ. Sebelum Daniel sempat menyadari kerugian yang akan dialaminya kelak, spot itu seperti telah disahkan jadi TPA kompleks. Sebagai penegas, sebuah bak sampah yang moveable hasil proposal warga kepada Pemkot berdiri gagah di sana.
Daniel mengira, dengan mengajukan keberatan, bak sampah itu pasti akan dipindah ke tempat lain mengingat itu sangat dekat dengan hunian keluarganya. Ternyata perkiraannya salah. Bak sampah itu tetap bertahan di sana. Sekeras apapun protesnya di forum warga, suaranya tertelan suara mayoritas. Alasannya, warga sudah terbiasa, lagipula tempat itu mudah diakses truk pengangkut sampah yang datang tiap dua hari sekali. Daniel tidak bisa berkutik.
Bukan hanya tidak sedap dipandang mata, aroma kumpulan sampah itu justru lebih-lebih mengganggu. Karena segala najis sepertinya ada di sana, maka baunya benar-benar variatif. Jika hari ini dominan aroma sayuran busuk, besok dan lusa bisa jadi berganti aroma tahi bayi atau kucing mati. Lalu angin akan membawa baunya kemana-mana sampai-sampai Daniel dan Maria, istrinya, selalu sengaja menyediakan masker disposible untuk dipakai di rumah tiap hari. Yang lebih parah lagi jika hujan deras dan truk pengangkut sampah tidak datang. Itu macam-macam varian komoditi sampah bisa keluar meluap, terbawa aliran air hingga masuk pekarangan rumah.
“Protes lagi, Mas. Masa mau begini terus?” keluh Maria selalu. Lama kelamaan bisa dironsen dia karena stres.
“Sulit. Sudah tidak ada pilihan tempat lagi. Kalau dipindahkan, pasti warga yang rumahnya berdekatan akan protes.”
“Kita juga sudah protes, kenapa tidak ada yang mendengar?”
“Jelas saja, mereka kan sudah terbiasa. Jika kita datang untuk mengubah tatanan lama, pastilah tidak akan berhasil.”
“Kasih mereka duit.”
“Percuma.”
Daniel sebenarnya trenyuh juga mendengar keluhan-keluhan Maria. Tapi bagaimana lagi? Mereka hanya warga baru di sana, belum punya cukup kekuatan untuk mengubah tatanan yang sudah ada. Bisa-bisa nanti mereka malah dimusuhi. Yang bisa mereka lakukan sementara ini hanyalah bertahan dan menerima keadaan.
Merasa bertanggungjawab terhadap kenyamanan istrinya, Daniel pun terpaksa melakukan tugas ekstra. Sering dia mendatangi bak tempat sampah itu untuk membakar isinya langsung agar baunya tidak terlalu mengganggu. Dia tidak sungkan-sungkan pula membereskan sampah-sampah yang tercecer di luar bak sampah. Memang tidak terlalu membantu menghilangkan aroma yang  sudah paten menempel, tapi paling tidak agar nampak sedikit rapi.
Dengan sabar dan ikhlas Daniel melakukan hal itu. Tapi warga justru seperti tidak menghargai pengorbanannya. Berpikir bahwa sekarang ada yang dengan sukarela merapikan bak penampungan sampah itu, mereka mulai membuang asal-asalan. Pekerjaan Daniel justru jadi semakin berat karena bertambah banyak sampah yang menumpuk berserakan di sekitar bak. Mungkin saking malasnya mendekat, tas plastik pembungkus sampah mereka lemparkan begitu saja. Tentu ada yang tepat masuk ke bak, tapi lebih banyak lagi yang meleset. Ada yang membentur sisi bak kemudian pecah dan isinya berantakan, lalu ditinggal pergi begitu saja. Ada yang sama sekali asal lempar, yang penting sudah dibuang di sekitar bak. Toh ada yang akan merapikannya.
Daniel gemas, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

*****

Suatu malam, Maria mengeluh tidak bisa tidur. Mual dan pusing dengan bau durian yang menyengat dari bak penampungan sampah itu. Daniel tahu, Maria paling tidak suka dengan bau durian, apalagi ditambah bau sampah. Penderitaan istrinya yang pun sedang mulai mengidam itu pasti berkali-kali lipat. Karena itu, demi istri, dia segera keluar rumah setelah sebelumnya mengambil jeriken bensin dan lampu senter.
Tepat ketika baru akan membuka pintu pagar, terdengar ribut-ribut. Daniel melihat beberapa orang berlari-larian tengah malam itu, seperti mengejar sesuatu. Salah seorang dari mereka yang melihat dia berdiri di balik pagar rumah yang terkunci, mendekat. Tangannya mengacungkan pedang.
“Lihat orang lewat kemari?” tanyanya pada Daniel. Tampangnya seram, semacam anggota-anggota geng atau kelompok pemuda dari daerah tertentu yang sering dilihatnya di televisi.
“Tidak… saya baru saja keluar,” jawab Daniel tegang.
“Jangan bohong!” bentak orang itu. Kawan-kawannya yang berjumlah sekitar lima orang kini menyusul dan ikut mengancam Daniel. Beberapa memukul-mukulkan benda yang mereka genggam, sepertinya pistol, ke pagar.
“Sumpah!”
“Buka pagar!”
“Sumpah, tidak ada orang di sini.”
Untunglah saat Daniel sudah mulai gugup dan serba salah, seorang dari mereka tiba-tiba berteriak sambil menunjuk sesuatu yang berkelebat, berlari ke arah berlawanan, “Itu! Itu!”
Serentak mereka pun berhamburan mengejar.
Daniel sendiri hanya menjublek tegang di tempatnya. Tidak mengetahui masalahnya, tapi dia sedikit banyak bisa mengira. Kemungkinan besar mereka adalah anggota kelompok geng yang mungkin sedang mengejar musuh. Dari wajah-wajah mereka yang terlihat beringas, bawa-bawa senjata, pastilah ada hal besar yang terjadi. Merinding dia. Lebih baik dia tidak usah ikut campur jika tidak ingin konyol.
Cukup lama dia berdiri di sana untuk menetralisir perasaannya. Setelah dirasa tidak ada tanda-tanda orang-orang itu akan kembali lagi, dia meneruskan niatnya tadi, membereskan sampah demi istrinya.
Betapa terkejutnya dia ketika sedang mulai mengendus-endus mencari sumber bau, sesuatu bergerak menimbulkan suara berkeresekan dari dalam bak penampungan sampah. Sorot lampu senter diarahkannya ke asal suara. Seorang laki-laki berwajah pucat dan gemetar ketakutan sedang meringkuk di dalam. Tubuhnya tertutup sampah.
“Tolong,” katanya.
Napas orang itu terengah-engah, seperti akan bangkit tapi tidak bisa. Tentu orang inilah yang tadi dicari-cari, pikir Daniel.
“Anda yang dicari mereka?” tanya Daniel memberanikan diri. Orang itu mengangguk lemah. Merasa orang itu tidak akan membahayakannya, Daniel meloncat masuk ke dalam bak penampungan sampah itu.
“Kenapa Anda dicari? Lalu siapa yang mereka kejar barusan?”
“Teman. Dia sengaja... memancing mereka ke arah lain agar... tidak menemukan... saya di sini.”
“Anda pasti orang penting.”
“Tidak,” orang itu meringis lalu mengangkat tangan kirinya. Daniel membantunya berdiri, tapi yang dibantu sepertinya sudah sangat lemah. Tangannya baru meraih tepi bak, dia sudah rubuh lagi. Daniel terpaksa menahan tubuhnya. Saat itulah dia melihat tangan kanan orang itu membawa sebuah tas ransel yang sepertinya cukup berat.
“Anda sepertinya harus ke rumah sakit.”
Orang itu menggeleng. Tangan kirinya memegangi perut. Cahaya senter milik Daniel membuatnya dapat melihat jelas, baju yang dikenakan orang itu sudah basah memerah karena mengalami perdarahan parah. Mungkin ditembak, mungkin ditusuk, Daniel tidak yakin.
“Tolong saja saya,” kata orang itu.
“Bagaimana saya menolong, mengeluarkan Anda dari bak sampah ini pun saya kesulitan. Saya harus cari bantuan...”
“Jangan!” orang itu memegang tangan Daniel, tapi dengan gerakannya itu dia malah jatuh terjengkang ke belakang.
“Tidak rumah sakit, tidak cari bantuan. Anda ingin mati?” tanya Daniel.
“Tolong... hubungi nomor ini... dia akan se... se... gera... kemari,” dia menyebutkan nomor ponsel seseorang dengan terputus-putus. Tapi sepertinya orang itu ngelantur.
“Ya.. ya.. saya pasti tolong... Anda bawa hape? Ah, Anda tunggu saja... saya akan ambil hape di rumah,” kata Daniel. Belum lagi menanggapi, orang itu sudah terdiam. Napasnya masih ada walaupun sudah satu-satu. Sepertinya sebentar lagi akan mati.
Sayang sekali jika sampai tas ransel yang sepertinya berisi barang berharga itu ditemukan orang lain, pikir Daniel sambil mulai memperhitungkan peranannya. Orang yang biasa berkutat dengan bak sampah itu, biarpun bukan kewajiban, adalah dia. Maka dia merasa wajar saja jika sekali-kali mendapatkan rezeki nomplok dari sana. Tidak perlu berpikir lama-lama, Daniel meraih tas ransel orang itu lalu melompat keluar dari bak sampah, berlari sekencang-kencangnya. Sesampai di rumah, baru disadarinya ternyata bajunya pun telah ikut ternoda darah. Tubuhnya bau sampah. Khawatir Maria memergoki, cepat dia masuk ke dalam kamar mandi.
Orang dalam bak sampah tadi jelas membawa sesuatu yang berharga dalam tas ransel itu. Jika tidak demikian, bagaimana mungkin kawannya rela berkorban untuk mengalihkan perhatian para pengejarnya? Daniel pun tergesa-gesa membuka ransel itu dengan tangan gemetar. Baru terbuka sedikit saja, dia sudah hampir memekik terkejut. Uang! Uang yang banyak sekali!
Tentu saja dia merasa beruntung. Jelas tidak ada yang tahu tas ransel berisi uang ada padanya kecuali orang di dalam bak sampah itu. Tapi apa benar begitu? Apakah orang-orang itu tidak akan kembali lagi untuk mencari?
Ah, masa bodoh. Satu keputusan dihasilkannya dengan segera. Cepat dia menyembunyikan ransel berisi uang itu di gudang, satu-satunya tempat dalam rumah yang jarang sekali dimasuki istrinya. Setelah yakin tersimpan dengan aman, dia bermaksud kembali lagi ke tempat pembuangan sampah itu. Maria sempat memanggilnya dari dalam kamar, tapi dijawabnya bahwa dia belum selesai dan jerikennya masih tertinggal.
Tubuh orang itu masih di sana. Napasnya juga masih ada, tapi Daniel sengaja membiarkannya. Cahaya lampu senter hanya difokuskannya pada gerakan dada dan berkali-kali dia perlu untuk meletakkan jarinya di depan hidung orang itu. Menunggu. Perhitungannya tepat. Tidak lama kemudian, napas orang itu lalu berhenti sama sekali. Mati.
Yakin dengan apa yang dilakukannya, Daniel segera berlari menuju rumah ketua RT dan langsung menerobos masuk ketika pintu dibukakan.
“Ada mayat di bak sampah!” katanya tegang tanpa dibuat-buat.

Cigugur, 10 Agustus 2012

- bukan sekali duduk, karena duduknya bukan sekali



Baca Seluruhnya..
Category: 5 komentar

Layung Senja Katirah


Layung Senja Katirah
oleh: AK Basuki

Katirah tersenyum ketika matanya terbuka. Semalam mimpinya terasa begitu lucu. Ada sebuah jalan setapak panjang yang berbunga-bunga di sisinya dan ia berjalan menapakinya dengan Atmo, bergandengan tangan seperti dua buah gerobak tua yang terikat bersisian. Dipilinnya kuping lelaki tua tercintanya itu berkali-kali dengan gemas dan dibalas dengan cubitan di kedua pipinya. Tapi Atmo lalu mendorongnya lembut saat Katirah ingin menciumi pipi keriputnya.
“Tiga hari lagi boleh kau lakukan sepuasnya,” kata Atmo. Dia segera terbangun, tapi kata-kata itu terus mengiang.
“Sepertinya mereka harus segera pulang, bisa atau tidak,” katanya kepada Fitri, gadis pengurusnya.
“Siapa, Bu?”
“Semuanya.”
Fitri mengangguk. Sejak kematian suaminya setahun yang lalu, majikannya itu terkesan menjadi seorang yang pendiam dan perasa. Segala yang diimpikan atau dikhayalkan dalam benaknya dihitungnya menjadi sesuatu yang berkemungkinan menjadi kenyataan. Wajar, karena sejak itu dia memang selalu bermimpi dan berkhayal. Mungkin ada benarnya jika ketuaannya itu menyebabkan daya berpikirnya hanya sesuai untuk kapasitas otaknya yang pastilah telah pula tergerus masa. Karena sebenarnya ia merindukan berada di tengah anak-anaknya sementara tidak ada satupun dari mereka yang berada di dekatnya.
Fitri sering malu sendiri jika harus menghubungi anak-anak majikannya menyampaikan pesan agar mereka pulang. Sudah beberapa kali dan majikannya itu telah mempersiapkan alasan rupa-rupa macam yang harus dikatakannya: tiba-tiba lumpuh, jantungnya kumat atau jatuh di kamar mandi dan patah kaki. Yang paling lucu dari itu semua adalah alasan akan menikah lagi. Fitri geli mengingatnya. Apalagi ketiga orang anak majikannya itu memang kemudian berkenan untuk pulang walaupun dengan menyimpan kejengkelan.
“Mbah Atmo bilang, tiga hari lagi aku baru boleh menciumnya seperti kebiasaanku waktu dia masih hidup.”
Ia mendesah, matanya menatap ke langit-langit kamar.
“Panggil mereka pulang, Tri. Tiga hari lagi aku akan mati.”
Fitri tersenyum. Alasan baru lagi.

*****

Pada saat Fitri menghubungi anak majikannya yang paling tua, yang didapatkannya hanyalah pertanyaan bernada bosan.
“Apa lagi alasannya kali ini?”
“Ibu mati tiga hari lagi.”
Menggerutulah anak tertua Katirah itu. Seperti tidak pernah menyadari bahwa ibunya itu tidak pernah menggerutu di saat dia menjilati air susu dari payudaranya. Tidak bisa merasakan kesakitan ibunya kala melahirkannya, seperti rahim ibunya itu hanya tempatnya bermain-main selagi masih janin dan darah ibunya cuma pertaruhan biasa.
 “Rasanya baru kemarin. Sekarang dia suruh kami semua pulang lagi?”
“Sudah beberapa bulan, Pak,” kata Fitri. Hatinya mulai sebal.
“Tidak semudah itu memutuskan untuk pulang, Tri. Aku harus mencocokkan jadwal dengan istriku dan anak-anak juga.”
“Saya hanya menyampaikan pesan saja seperti biasanya.”
“Pesan-pesan kosong. Apa mau Ibu sebenarnya? Kalau ingin cari perhatian, caranya benar-benar kekanak-kanakan sekali.”
Dia mengeluh keberatan. Anak tertua Katirah itu seperti tidak pernah punya pikiran bahwa suatu saat dia akan tua dan ditinggalkan pula oleh anak-anaknya. Dia seperti tidak pernah berpikir bahwa jika dia tua nanti, tingkah polahnya pun akan menjadi seperti anak-anak.
“Aku tidak bisa.”
Fitri mengangguk-angguk, sebuah jawaban tegas. Setelah menutup pembicaraan, dihubunginya anak kedua Katirah.
“Serius kamu? Apa hanya bohongnya Ibu lagi?” sambut anak kedua Katirah setelah Fitri menyampaikan pesan majikannya.
“Saya hanya menyampaikan pesan beliau, Bu. Ibu ingin semua berkumpul karena tiga hari lagi beliau akan mati.”
Mendesah anak kedua Katirah. Dia satu-satunya anak perempuan, tapi seperti belum pernah merasakan bagaimana mengandung seorang anak. Seperti tidak pernah tahu bahwa ibunya itu tidak pernah mendesah dalam penderitaan mengandungnya, tidak menyadari bagaimana anaknya kini sangat bergantung kepadanya seperti dia dulu kepada ibunya. Kini yang sederhana diminta oleh ibunya, justru terasa berat untuk dipenuhinya.
“Memangnya setan dari mana yang membuat Ibu sekarang membuat alasan seperti itu? Apa dia sedang tidak sehat?”
“Tidak tahu, Bu. Akhir-akhir ini memang terlihat lebih loyo dari biasanya, tapi beliau tidak mengeluh apa-apa.”
“Ah, bikin repot saja,” keluhnya seperti tidak pernah merasa betapa ibunya adalah orang paling repot sedunia menghadapi dirinya. Sejak kecil dia sakit-sakitan dan asmanya adalah siklus mingguan yang seringkali membuatnya hampir mati kekurangan oksigen seperti ikan yang terlempar dari akuarium. Bukankah saat itu ibunya juga yang paling berduka menangisinya?
“Aku harus bicara dengan suamiku dulu, Tri. Katakan pada Ibu, aku akan berusaha pulang, tapi aku tidak berjanji.”
Fitri mengangguk-angguk. Setidaknya ada sedikit basa-basi dari mulutnya, tidak seperti yang pertama tadi, pikirnya. Ditutupnya percakapan dan menghubungi anak bungsu Katirah.
“Apa lagi sekarang? Ibu masuk angin dan kepingin dikeroki semua anaknya?” suara di seberang terdengar jenaka dengan tawanya.
“Tiga hari lagi Ibu mati.”
Tertawa lagi.
“Serius kamu, Tri? Ide siapa itu?”
Fitri sedikit malu. Dengan pengalaman-pengalaman yang lalu, wajar saja kalau dia pun merasa dituduh menjadi bagian dari alasan-alasan yang bohong itu.
“Tidak tahu, Mas. Cuma itu pesan Ibu.”
Anak ketiga Katirah itu lagi-lagi tertawa. Fitri ikut tertawa. Si Bungsu ini memang masih lajang dan hampir seusia dengan Fitri sehingga Fitri sangat yakin jika dia bisa sekedar pulang untuk menengok ibunya karena pasti kesibukannya tidak akan terlalu banyak atau tergantung pula pada orang lain. Tapi ternyata jawabannya hampir sama dengan kedua kakaknya.
“Sepertinya bisa, tapi tidak dalam tiga hari ini. Aku banyak kegiatan di kampus. Sayang jika ditinggalkan dan tidak enak juga dengan teman-teman. Sampaikan saja sama Ibu, mungkin dua minggu lagi aku bisa pulang. Dan… bilang Ibu juga supaya jangan mati dulu sampai aku pulang.”
Bercanda, sebenarnya, tapi tetap saja membuat dahi Fitri berkerut. Seperti dia tidak pernah merasa bahwa ibunya itulah yang tidak pernah meninggalkan namanya dalam tiap doa-doanya. Bagaimana diharapkannya anaknya yang bungsu itu segera mentas dari tahap belajarnya menuju kedewasaan dan mampu mandiri. Kini sekedar pulang saja dia masih mengundurnya hanya karena ada hal lain yang lebih sayang untuk ditinggalkan daripada ibunya.
Fitri menutup perbincangan dengan gundah.

*****

Tiga hari berlalu dan tidak satupun dari anak Katirah yang muncul mengucapkan salam di pintu rumah dan kemudian mencium tangannya. Tidak ada cucu-cucunya yang akan dengan riang berlarian di halaman saat sore dan menarik-narik tangannya mengajaknya bermain. Tidak ada.  Mereka memang berkali-kali menelepon, tetapi Katirah tidak mau sama sekali berbicara dengan mereka.
“Ibu tidak mau makan? Mana dia, aku mau bicara,” kata anak pertama Katirah.
“Ibu tidak mau bicara, Pak. Beliau hanya ingin bertemu dan berkumpul langsung. Tidak lewat telepon,” jelas Fitri.
Mendengus anak pertama Katirah. Seperti dia tidak pernah merasa bahwa ibunya tidak pernah mendengus padanya, bahkan saat dia melakukan kenakalan seburuk apapun sejak dulu.
“Besok aku pulang. Mudah-mudahan dia puas,” katanya mengalah pada akhirnya, tapi tetap saja bernada jengkel.
Anak perempuan satu-satunya pun sama, “Tidak mau bangkit dari tempat tidur? Apa dia marah karena kami tidak ada yang bisa pulang? Ide tentang mati itu sudah dilupakannya, bukan?”
“Tidak. Beliau tetap yakin hari ini akan mati.”
Anak perempuan Katirah itu terdiam. Seperti dia tidak pernah merasa bahwa ibunya itu tidak pernah diam saja jika dia mendapat masalah-masalah yang menyedihkan hatinya. Ibunya itu justru adalah orang pertama yang menghiburnya di kala hatinya susah. Tidak teman baiknya, tidak saudaranya yang lain. Ibunyalah yang paling mengenali watak dan tabiatnya dan langsung mendatangi untuk memberinya penghiburan sebelum semua diungkapkannya.
“Baiklah. Bilang sama Ibu, aku datang besok,” akhirnya dia mengalah.
Si Bungsu pun demikian, “Menyebut-nyebut Bapak? Maklumlah, dia pasti kangen sama Bapak. Eh, ini sudah tiga hari, bukan? Ramalan kematian itu bagaimana?”
Dia tertawa. Fitri jadi sebal.
“Ibu tetap yakin akan mati hari ini.”
“Ah… semakin tua bohongnya semakin menjadi,” katanya menyebut ibunya sendiri berbohong. Seperti dia tidak pernah merasa bahwa ibunya itulah yang tetap mempercayai dan membelanya saat uang bapaknya dia curi untuk bersenang-senang, bahkan ketika dia telah mengakui semua di bawah ancaman tamparan bapaknya. Tanpa pembelaan ibunya itu dia pasti sudah minggat dari rumah dan akan membenci bapaknya selama-lamanya.
“Besok aku pulang,” katanya.
Fitri menutup pembicaraan dan memandang Katirah di tempat tidur. Diapun sangsi dengan keadaan majikannya itu, tapi di lubuk hatinya dia merasakan sesuatu yang lain pada mata itu, mata yang menatapnya dan kemudian berucap, “Jadi besok mereka datang, Tri?”
“Ya, Bu. Semuanya.”
“Terlambat.”
“Tidak. Justru Ibu harus bergembira, karena akhirnya mereka akan datang.”
Katirah tersenyum kecut saat kemudian Fitri meninggalkannya sendiri dalam kamarnya. Betapa sunyinya hidup, dia mengeluh. Atmo telah tiada dan sejak itu semangat hidupnya tidak ada yang bisa menukarnya. Anak-anak adalah harapannya, tetapi mereka tidaklah bisa diharapkan seperti angin bagi layang-layang yang butuh terbang. Mereka justru menjadikannya sebuah layang-layang yang tidak akan mampu terbang lagi. Kesunyian yang dirasanya telah sering membuatnya melihat bayangan Atmo di pintu kamar atau di ujung ranjangnya, tersenyum mesra padanya bukan sekedar dalam mimpi.
Atmo, bisiknya. Dadanya tiba-tiba diserang nyeri yang hebat.
Seperti mendengarnya, lelaki tua yang senantiasa dirindukannya itu kemudian benar-benar muncul. Berdiri memandanginya dan terlihat gagah dengan setelan jas abu-abu dan peci kesayangannya. Tanpa sadar, kedua lengannya terulur ingin meraih dan memeluk. Atmo mundur setapak.
“Kau menjemputku, Mbah?”
Atmo meletakkan jari telunjuk di bibirnya sendiri, seakan-akan menyuruhnya diam. Dadanya semakin nyeri.
“Kau bilang tiga hari. Bukankah kini saatnya? Aku telah benar-benar rindu.”
Masih tersenyum, lelaki tua yang dicintainya itu tidak menyahut. Dia hanya mengangkat tangannya dan menunjukkan lima jarinya yang terbuka.
“Lima? Lima apa? Lima tahun lagi? Lima hari? Lima jam? Lima menit? Bicaralah,” bisik Katirah, napasnya mulai terengah-engah.
Dengan wajah jenaka, Atmo lalu mengatupkan jari-jari tangan itu satu per satu berurutan dalam hitungan yang ritmis: ibu jarinya, telunjuknya, jari tengahnya, jari manisnya...
Katirah mengerti dan dadanya riah.
“Kau nakal, Atmo,” bisiknya sambil tersenyum bahagia.
Matanya lalu terpejam.
Di luar, rona layung senja muncul semakin tegas. Sekawanan burung-burung yang kembali ke sarang terlihat melayang mengarungi langit, terekam dalam gerakan lambat seakan-akan hiasan yang menjadikannya semakin permai. Seperti dalam sebuah lukisan.

Cigugur, 30 Juli 2011


Baca Seluruhnya..
Category: 6 komentar

Hantu dan Tukang Tambal Ban


Hantu dan Tukang Tambal Ban
Oleh: AK Basuki


Malam Jumat kliwon bagi Karman bukanlah sesuatu yang harus dikultuskan. Di saat banyak teman seprofesinya yang berkepentingan untuk diam saja di rumah, entah karena mencari wangsit atau memang berpantang mencari rejeki pada malam tersebut, Karman cuek saja. Justru bagus, pikirnya. Dia akan leluasa memonopoli jalanan. Paku-paku yang sengaja disebarkan oleh beberapa oknum tukang tambal ban, tidak termasuk dirinya, tidak jarang malah membuatnya kebanjiran order. Walau tidak setuju dengan cara kuno yang jahat itu, tapi Karman bersyukur dengan berkah yang didapatnya pula dari sana.
Akan lebih banyak hantu yang berkeliaran, mungkin betul, seperti yang sudah-sudah. Bertemu mahluk-mahluk ganjil, dia sudah biasa. Jika ada yang pernah punya pengalaman berbicara dengan hantu tanpa kepala, dialah orangnya. Jika ada yang pernah dititipi untuk momong bayi genderuwo seukuran anak sapi sampai pagi, Karman orangnya. Misalkan pula ada yang pernah mengaku dikeloni hantu wanita cantik seperti bidadari, biarpun badannya bau kembang kamboja dan suara cekikikannya bikin celana basah, Karman juga orangnya. Hanya mengeloni saja, tidak berbuat apa-apa. Karman toh bukan lelaki hidung belang seperti dalam film-film Suzanna. Lelaki-lelaki bodoh yang sering tergoda dan lamur matanya sehingga mau saja mengantarkan hantu perempuan cantik yang tampak seperti perempuan malang kesepian. Keesokan paginya, tahu-tahu mereka terlihat berlari terbirit-birit keluar dari komplek pekuburan. Masih untung tidak dicekik sampai mampus.
Tapi malam Jumat kliwon kali ini berbeda. Karman sudah merasakannya sejak berpamitan pada istrinya selepas isya.
“Jumat kliwon lho, Pak,” kata istrinya.
Terus?”
“Sampean hati-hati, banyak yang keliaran.”
“Apa? Demit? Ndak takut. Lha aku kan sudah biasa ketemu kamu,” jawab Karman terkekeh, tapi hatinya jadi berdesir tidak biasa. Bukan hanya karena kata-kata istrinya. Ada sesuatu yang lain, yang tidak bisa dia pahami.
Satu firasat, bagi seorang Karman, wajib untuk dipercayai. Sama seperti dulu saat hatinya tiba-tiba merasa kosong seharian, detak jantungnya bertambah kecepatannya berkali-kali lipat, persis seperti hari ini. Dia, dengan tanpa berburuk maksud, telah melempar semua prasangka jauh-jauh. Tapi terjadi juga. Tengah malam, sebuah mobil produksi Eropa berjungkir balik beberapa kali sebelum berhenti dan menabrak pembatas jalan hanya beberapa puluh meter di depan bengkel tambal bannya. Semua penumpangnya mati. Anehnya, hantu-hantu mereka langsung duduk manis di hadapannya justru sebelum dia sempat berdiri untuk menghampiri tempat kejadian itu.
Ada empat. Satu perempuan, tiga laki-laki.
Lha?” tanyanya keheranan. Sedikit ngeri karena mereka semua diam menatapnya, “Mbok ya bicara, jangan diam saja. Apa masih shock?”
Hantu yang perempuan menangis, yang lain kelihatan marah.
Cari uang yang betul, dong!”
Lha?”
Paku disebar di jalanan. Siapa lagi kalau bukan Bapak yang tukang tambal ban?”
Sumpah, bukan saya!” elak Karman. Dia memang tidak pernah menyebar segala macam paku atau apapun yang bisa membuat tukang-tukang tambal ban seperti dirinya mendapat keuntungan, tetapi dengan resiko mengorbankan keselamatan orang lain.
“Tapi Bapak tahu dan pura-pura tidak tahu, kan? Ini semua gara-gara Bapak! Pokoknya gara-gara Bapak!
Begitu saja dan mereka menghilang. Itu yang diyakini Karman jadi awal bagi hantu-hantu yang lain untuk setidaknya selalu hadir bercakap-cakap menemaninya. Kalaupun tidak, mereka hanya seperti mengisi daftar absensi, muncul di depan Karman, mengaget-ngageti lalu pergi. Tapi Karman sudah kebal. Sungguhpun rasa yang dialaminya seharian ini hampir sama dengan yang pertama dulu, dia telah siap. Karena itu dia hanya akan menunggu. Tidak akan bekerja, menunggu saja.
Sampai tengah malam, sudah 4 sepeda motor bocor ban ditolaknya sebelum yang ditunggu akhirnya datang. Tiba-tiba saja sesosok hantu wanita cantik sudah duduk bertopang dagu di hadapannya.
“Kok cantik betul kamu?” tanya Karman, “Bukan tersasar datang ke sini?”
Hantu wanita bergaun hitam itu tersenyum. Kedua biji matanya dalam penglihatan Karman adalah serupa dua ekor kunang-kunang yang terluka dan berdarah kala bertarung memperebutkan hakikat hidup; menjadi terang atau redup selamanya.
Apa salah kalau saya cantik, Pak Karman?”
“Tidak. Cuma sayang, secantik ini kok hanya jadi hantu.”
Karman lalu pura-pura sibuk menuangkan bensin ke dalam botol-botol kosong satu literan dan memajangnya di depan bengkel. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri. Sama sekali tidak ada yang lewat baik kendaraan atau orang berjalan. Nol. Bulu kuduknya meremang.
“Tidak ada untungnya jadi cantik,” kata hantu itu, “Sekali-kali mungkin bisa memuaskan hati sendiri, tapi tetap lebih banyak tidak beruntung.”
“Kalau mau mengeluh tentang kecantikan, jangan di sini. Saya belum pernah jadi orang cantik karena saya laki-laki. Istri saya tidak cantik, pekerjaan saya tidak cantik, nasib juga tidak cantik. Dalam sejarah, belum pernah saya bisa merasakan nikmatnya bersinggungan dengan kata cantik itu.”
“Saya tidak mengeluh tentang cantik, Pak Karman. Saya justru mau bicara tentang kematian.” Hantu itu tertawa. Suaranya sedikit mirip kuda meringkik.
Lha?”
“Pak Karman tahu tidak, kapan akan mati?”
“Kalau saya tahu, buat apa saya jadi tukang tambal ban? Mending saya jadi tukang sulap. Melakukan banyak adegan berbahaya yang menghasilkan banyak uang. Bukan begitu? Asumsikan saja saya tahu umur saya bakal sampai 60 tahun. Sebelum itu, saya bisa cari uang banyak-banyak. Bikin pertunjukkan pancung kepala, minum racun, menahan peluru atau apa saja saya berani karena tahu belum jatahnya mati.
“Masuk akal. Pak Karman bisa jadi pesulap terkenal penantang maut.”
Itu maksudnya.”
“Nah, bagaimana kalau Pak Karman mati beberapa saat lagi?”
“Ngawur!”
“Tidak percaya?”
Karman diam, sedikit merasa terancam. Hantu perempuan di hadapannya tidak mirip pencabut nyawa, tapi kata-katanya serius betul. Dia ingat firasatnya, jadi ingat juga - atau tiba-tiba saja memorinya memaksakan untuk mengingat hal-hal yang sebenarnya tidak pernah dia alami - bahwa beberapa hari lalu suara burung gagak terdengar di sekitar rumahnya.
“Makanya bikin saya percaya.”
“Saya datang, Pak Karman, dari neraka. Neraka sekarang sudah hampir kelebihan penghuni. Bahkan malaikat sudah sering menancapkan papan pemberitahuan di tiap-tiap kapling kosong bahwa itu sudah ada yang yang akan menempati.”
Buset! Karman tertawa terkial-kial sampai air matanya keluar. Baru kali ini dia bertemu hantu pembual seperti ini, pikirnya.
“Silakan saja ketawa, kenyataannya memang seperti itu,” kata hantu perempuan itu tanpa terlihat tersinggung.
“Terus .. terus …,” kata Karman sambil menggelosoh di lantai tanah bengkelnya. Hatinya masih geli betul.
“Malaikat neraka yang mengutus saya.”
“Mengutus untuk apa?”
“Menjemput orang-orang baik, membawanya langsung ke pintu surga tanpa birokrasi yang ruwet supaya surga cepat penuh dan akhirnya proposal untuk perluasan neraka bisa diajukan bersama-sama dengan proposal dari surga.”
Karman ngakak lagi.
“Dengan kata lain, orang-orang baik akan dibunuhi?”
“Dijemput, Pak Karman.”
“Ngawur!”
“Eh, masih nggak percaya..”
“Terus, dari mana ceritanya neraka lebih cepat penuh? Harusnya sebaliknya. Bukannya pernah dengar, orang-orang baik itu justru lebih cepat mati? Tuhan merasa sayang, jika mereka dipanjangkan umurnya, akan terperosok berbuat dosa. Orang jahat umurnya dipanjangkan karena Tuhan juga sayang, memberi kesempatan mereka untuk bertobat.”
“Pak Karman yakin, orang-orang yang cepat matinya itu orang baik?”
“Si Maksum? Si Rastam?”
“Maksum itu fisiknya saja yang suka kelihatan ke mesjid, salat, mengaji. Tapi, Pak Karman tahu tidak kalau dia itu suka menyakiti hati keluarganya? Bayangkan, hampir seharian bekerja, pulang-pulang langsung ke mesjid, nyeramahi orang di sana tentang kasih sayang dalam keluarga, membual tentang amal ma’ruf nahi munkar, zikir sampai pagi. Dia pikir anak dan istrinya sudah cukup dikasih duit belanja untuk mewujudkan kasih sayang. Padahal mana cukup? Egois sekali, kan? Bukankah lebih baik seimbang antara tanggung jawab akhirat dan dunianya? Ibadah ya ibadah, tapi kalau sampai membiarkan keluarganya tanpa Imam yang stand by di rumah, memberikan anutan dan tanggung jawabnya itu mulai dari orang-orang terdekatnya lebih dulu, apa tidak namanya sia-sia ibadahnya? Terus, Rastam, orang kaya yang rajin sedekah. Pak Karman tahu tidak kenapa dia kaya? Korupsi. Itulah buktinya bahwa tidak selalu orang mati muda itu orang baik-baik.”
Karman diam. Jadi, sekarang ini kematiannya menjelang karena dia termasuk orang baik? Jika hantu itu memang bertugas menjemput orang-orang baik, berarti dia termasuk golongan orang-orang yang akan masuk surga? Senang iya, sedih juga iya. Duh, jadi terpikir untuk pulang dan menikmati kebersamaan dengan keluarganya sehari lagi saja. Tentunya akan dia manfaatkan benar-benar. Istrinya mungkin akan dia ajak tamasya ke pinggir pantai sejak pagi sambil menikmati martabak dan sate ayam. Berdua bercengkerama di atas tikar yang digelar di atas pasir …
“Pak Karman takut?”
“Takut kenapa? Kalau memang saatnya mati, sembunyi di belakang batu kali pun bakalan mati. Tapi saya mau tanya, mati di tangan hantu itu apakah tidak merugikan buat saya? Semacam mengurangi pahala saya?”
“Mati adalah mati. Seperti orang bunuh diri, itu bukanlah mendahului takdirnya, tapi memilih sendiri caranya untuk mati. Nah, kematian Pak Karman biar saya yang pilihkan. Kalau nanti Tuhan murka, itu memang sudah resiko mahluk-mahluk seperti saya yang memang sudah dikutuk dari sejak awal penciptaan dunia.”
“Enak saja!” protes Karman, “Saya tidak mau, ah, mati dicekik hantu biarpun cantiknya seperti kamu.”
“Siapa bilang saya mau mencekik Pak Karman?” tanya hantu cantik itu sambil melenggang pergi dan berhenti tepat di tengah jalan. Jalanan benar-benar sedang lengang. Tapi beberapa detik kemudian dua pendar cahaya terlihat, mendekat cepat sekali dan menyilaukan matanya. Sebelum Karman menyadari apa yang terjadi, sebuah mobil tiba-tiba menyeruduk bengkel tambal ban sederhana itu. Hancur. Karman terlempar, entah bagaimana hingga ke parit di belakang bengkelnya. Sepertinya dia reflek melompat, atau memang mobil nahas itu tepat menyeruduk bokong keriputnya. Syukur dia ucapkan karena tubuhnya hanya lecet-lecet tidak berarti. Tidak mati. Hantu itu bohong!
“Saya cuma bercanda, Pak Karman,” tiba-tiba hantu cantik itu muncul lagi di dekatnya, memperhatikan Karman merangkak keluar dari parit seperti tikus got tua. Sumpah serapah keluar dari mulutnya.
“Jadi, saya mati atau tidak? Mencla-mencle!”
 “Yang mati dan akan secepatnya saya bawa adalah penumpang mobil itu. Bukan ke surga, langsung ke neraka! Saya punya dendam pribadi sama dia.”
“Lho?”
“Obrolan kita tadi sekedar mengisi waktu, Pak Karman. Rupanya manusia itu memang bodoh, gampang percaya sama hantu, padahal sudah tahu mahluk-mahluk jahat seperti saya ini kerjanya membodohi manusia.”
Asem kecut! Memang hantu bebas mengincar orang lalu menggoda dan membunuh?”
“Tergantung iman yang diincar. Kalo bobrok dan lemah kaya orang itu atau mungkin Pak Karman, ya hati-hati saja. Saya ini dulu istrinya, tapi dia jahat dan khianat. Saya dibunuh karena dia punya perempuan lain,” hantu itu cekikikan. Tapi di telinga Karman terdengar pahit.
“Bukan saya yang mati.”
“Artinya, Pak Karman harus banyak beribadah biar tidak gampang diganggu, dihasut dan dibodohi hantu seperti saya,” katanya untuk terakhir kali sebelum lalu menghilang dengan meninggalkan gaung suara cekikikan yang mendirikan bulu kuduk.
Karman memaki-maki tiada henti. Saat dia tertatih-tatih kembali ke bengkelnya yang hancur dan orang-orang mulai ramai berkumpul untuk melihat kejadian di dini hari itu, Karman tiba-tiba ingin berdoa. Ingin berdoa yang khusyuk sekali.

Cigugur, 1 Juli 2012


Baca Seluruhnya..
Category: 4 komentar