Mertua
AK Basuki
AK Basuki
Suamiku berkali-kali mengatakan
ingin pulang. Dia
merasa harus berada di tengah semua orang-orang tercinta sebelum kanker jahat yang menggerogoti tubuhnya telanjur menunjukkan kuasa. Aku memahami bahwa akhir hidupnya seperti sudah ditentukan dan punya kewajiban moral untuk
menuruti keinginannya itu. Tapi tidak
mudah, karena dia
telah menjadi keping pecahan
terkecil yang terlepas dan merusak fondasi kokoh keluarganya.
Dia menikahiku tanpa
restu. Maka, keberanian untuk lepas menentukan jalan hidup bersamaku seolah-olah menjadi sekat pemisah yang tebal antara aku dan
keluarganya. Sekat itulah yang kini harus
dirobohkan. Artinya, aku harus melupakan harga diriku, menanggalkan perasaan
malu dan bersalah demi mewujudkan keinginannya.
“Kau mengembalikan dia setelah layu
agar keluarga kami yang menanggung penderitaannya?
Kami tidak melihat sebuah tanggung jawab yang seharusnya bisa kau hadapi sendiri sebagai konsekuensi dari apa yang telah kalian perbuat
bagi keluarga ini,” kata kakak suamiku yang tertua mewakili keluarga besarnya,
mencecarku. Akhirnya aku memang membawa suamiku pulang, tapi tidak
ada niatku
sedikitpun untuk meninggalkannya atau melepaskan tanggung jawab sebagai seorang
istri.
“Saya bertanggung jawab. Karena
itu, izinkan saya
mendampinginya di sini.”
“Itu
keinginannya atau keinginanmu?” Aku
diam. Kupikir tidak akan memperbaiki keadaan jika harus berdebat tentang ini.
Dalam kesedihan mereka, rasa-rasanya aku pun punya bagian. Bahkan lebih besar.
“Izinkan
saya tinggal di
sini mendampinginya.”
“Di sinilah tempatnya, di tengah-tengah keluarga.
Bagaimanapun keadaannya, dia akan selalu kami terima dengan tangan terbuka. Tapi tidak dengan kau.”
“Dia suami saya.”
“Pernikahan kalian tidak sah!”
Keadaan memanas. Apalagi ketika saudara-saudara suamiku yang lain turut melontarkan pendapat.
Walaupun ada yang tidak terlalu antipati kepadaku, dan aku sangat berterima kasih untuk itu, tetap saja keputusan untuk menolakku
lebih besar gaungnya. Berada di sana, aku seakan menjadi seekor cacing tersesat yang tidak berdaya di tengah kepungan gerombolan semut yang lapar.
Saat ibu
mertuaku muncul dari dalam kamar tempat suamiku
dibaringkan, masih terlihat basah
kelopak matanya.
Pastilah hatinya hancur sepertiku karena tangisnya memang sudah
pecah sejak kedatangan
kami beberapa jam sebelum itu. Aku benar-benar tidak sanggup membalas tatapan
matanya. Harga diriku telah sejak
dulu menciptakan tameng sendiri, bersiap dengan caci maki dari siapapun. Tapi untuk menghadapinya, aku perlu kekuatan yang lebih lagi.
“Biarkan dia di sini,” katanya.
Wibawanya langsung
membuat seisi ruangan senyap.
“Seharusnya tidak, Bu,” anaknya yang tertua mencoba
membantah.
“Begitu? Jadi kau mau memandikan
dan menceboki adikmu setiap hari? Kalau kau memang mau, perempuan ini boleh pergi.” Seisi ruangan senyap
kembali. Kata-katanya itu bagiku sangat menyakitkan, tapi justru menolongku.
“Kau,” katanya kemudian, ditujukan
padaku. “Di waktu lain, aku pasti sudah menendang pantat montokmu itu
jauh-jauh, bahkan sebelum kau melewati gerbang rumahku. Tapi demi anakku, kau
boleh tinggal di sini.”
Tidak ada lagi kekuatan yang bisa menolakku. Tapi sebelum aku mengucapkan terima kasih, tubuh perempuan
tua itu sudah tenggelam di balik pintu kamarnya. Aku lalu memilih untuk masuk pula ke dalam kamar suamiku, masa bodoh dengan semua yang
masih menentangku. Aku menang.
“Ujian mental yang bagus, ya?”
suamiku menyambut dengan senyum ceria yang dibuat-buat. Dalam sakitnya dia memang selalu
mencoba mencairkan hatiku walau sebenarnya aku tidak suka. Terlalu menyakitkan untuk
sekadar menganggapnya jadi guyonan yang bermutu.
“Tidurlah saja, perjalanan jauh
pasti membuatmu lelah.”
“Selelah apapun, aku telah di
rumah. Lagipula ada kau. Sejak dulu aku
tidak pernah berpikir akan bisa membawamu ke rumah ini. Ternyata beginilah,” katanya. Tidak terdengar sendu, tapi mampu
mencakar-cakar hatiku. Sejak vonis
dokter, hanya butuh beberapa bulan yang menyakitkan untuk pada akhirnya
melihatnya roboh
sama sekali. Sulur-sulur kanker
telah mencapai organ-organ penting dalam tubuhnya. Dia menyadari itu, tapi
tetap berusaha menunjukkan ketabahan yang berlebihan. Semisal menyembunyikan kesakitannya, menertawakan perutnya yang membesar dan terlihat
kontras dengan bobot yang menurun drastis atau membuat ekspresi-ekspresi wajah yang jenaka. Semua kupikir dilakukannya semata-mata untuk menghiburku sekaligus menyingkirkan pula ketakutan dan kesedihan yang pasti
dimilikinya. Sungguh,
seharusnya dia tidak perlu
seperti itu.
“Tidurlah,” bisikku lalu berbaring
di sampingnya.
*****
Memang tidak ada perubahan berarti
kecuali bayangan kematian yang semakin dekat. Tapi di rumah itu, suamiku
seakan-akan menemukan kembali bagian lain dari jiwanya yang tertinggal di sana. Jiwa yang terberai karena sebagian
yang lain telah terbawa terbang menjauh bersamaku.
Mau tidak mau, setiap hari aku
harus berhadapan dengan ibu mertuaku,
seseorang yang sampai saat ini selalu membuat perasaan bersalahku tidak pernah
menemukan penawar. Awalnya, perempuan menjelang 70 itu kupikir akan memberikan
masalah tersendiri buatku. Tapi seiring dengan waktu, lambat laun aku mampu menghadapinya.
Saat-saat bersama
merawat suamiku benar-benar mencairkan kebekuan kami. Tentu saja tetap ada
canggung, karena dia pun sepertinya masih merasa berat untuk mengakuiku sebagai
menantu. Tidak terhitung kata-kata pedas yang dilontarkannya, juga
bahasa-bahasa tubuh yang menyakitkanku. Tapi itu dengan ikhlas kuanggap sebagai
ujian yang wajar. Seharga dengan kekecewaan yang diidapnya selama ini oleh
sebab aku dan suamiku. Aku pun memahami, kebahagiaan dan kesedihan sekaligus tengah
dirasakannya. Anak yang dahulu hilang akhirnya kembali, tapi tidak lagi
dengan raga yang sempurna seperti sedia kala.
Lama kelamaan dia pun merasakan, ungkapan hormat dan penyesalanku, walau
belum pernah kukatakan dengan mulutku. Mungkin juga kekerasan hatinya luntur
ketika menyadari keikhlasanku. Entahlah. Anaknya toh adalah
suamiku. Aku punya kewajiban total untuk tetap berada di sampingnya hingga maut memisahkan. Dia tidak punya kewajiban
memberikan penilaian lebih padaku untuk itu.
“Ibu tidak pernah membencimu.
Hatinya hanya kecewa,” kata suamiku menanggapi perkembangan hubunganku dengan ibunya. Suaranya
terdengar penuh kelegaan karena dia pun merasa perkembangan itu menuju ke arah
yang lebih baik.
“Ya, aku mengerti.”
“Di antara saudara-saudaraku
mungkin masih ada yang tidak bisa menerimamu, tapi aku yakin itu tidak akan
mengganggumu.”
“Tentu saja tidak. Mereka tidak punya hak untuk
menolak atau menerimaku karena apa
yang aku lakukan hanyalah mencintaimu.” Kulihat
matanya berkaca-kaca, sesuatu yang belum pernah kulihat sejak sakitnya.
Kondisinya semakin buruk dari hari ke hari, tapi dia selalu berusaha untuk bangkit. Sekadar berjalan mengitari rumah setiap
pagi atau mengajak aku dan ibunya berbincang-bincang di beranda adalah hal yang
rutin dimintanya. Itulah caranya untuk makin mendekatkanku dengan ibu mertuaku. Dia berhasil, karena rasa-rasanya tidak ada
lagi dendam atau benci yang tersisa. Tidak ada lagi sekat yang membatasi. Hanya tertinggal satu tujuan yang sama antara aku dan ibu
mertuaku itu untuk kepentingan suamiku di hari-hari terakhirnya.
Dalam kesedihan kami, mertua dan
menantu, seakan ada tangan Illahi yang menyentuh hati dan menyingkirkan segala
penghalang. Pernikahan yang tidak direstui karena perbedaan adat dan agama
seakan hanya menjadi masa lalu. Benar, semua adalah masa lalu. Tanpa kata-kata,
kami sepakat bahwa tidaklah penting selalu berkaca pada masa lalu.
Hingga pada suatu malam, hanya beberapa minggu setelah
membawa suamiku pulang, terucapkanlah permohonan maafku. Sambil bersujud mencium kaki
perempuan tua itu, batinku luruh. Hari-hari semakin mendekat kepada akhir dan aku merasa harus melakukan apa
yang seharusnya kulakukan sedari dulu.
Dia membiarkan, tapi tidak mampu pula menahan tangisnya.
“Pada akhirnya toh kau membawanya
kembali,” katanya. “Itu sudah lebih dari cukup. Aku tidak bisa memberikan maaf
karena memang tidak ada yang perlu dimaafkan. Jika maksudmu meminta restu, itu pun sudah kuberikan. Tidak ada hati seorang ibu yang
sekeras batu. Lain cerita jika kau tetap punya prasangka terhadapku. Tapi tidak, bukan?” Saat dia kemudian menyentuh bahuku, aku
langsung bangkit dan memeluknya sepenuh-penuh perasaan. Mengucapkan terima
kasih berkali-kali.
“Saya hanya terlalu mencintainya,
Bu. Saya mohon maaf juga untuk itu.”
“Kita sama-sama mencintainya, tapi
kaulah belahan jiwanya. Aku hanyalah perantara
untuknya lahir ke dunia, sementara kau adalah
penyempurna kehidupannya.”
Air mata seperti tidak mau
berhenti mengucur setelahnya. Mungkin karena itu adalah pelampiasan kesedihan
yang sekian lama tertahan atau bisa jadi ungkapan kelegaan dan kebanggaan bahwa dalam keadaan apapun, aku tidak pernah
jauh dari sisi suamiku. Aku, seorang yang jadi sasaran tembak penolakan
keluarga suamiku, ternyata mampu membuktikan sebuah pengabdian
yang total.
Mungkin pula adalah sebuah pertanda, karena sebelumnya kulihat
sendiri suamiku dengan kekuatan terbatasnya berusaha keras untuk berguling dari
ranjang, tersungkur lalu bersujud di kaki ibunya. Kalimatnya terbata-bata memohonkan
maaf untuk kami. Dia menciumi kaki perempuan tua itu lama sekali, seakan-akan
semua waktu kehidupan sejak lahir hingga akhir hayat ingin dihabiskannya di
sana. Mencoba membuka pintu surga.
*****
Dua hari setelah malam itu, di tengah-tengah keluarga besarnya, suamiku pulang ke rumah Tuhan. Aku percaya tidak ada kebahagiaan yang lebih bisa dirasakan seseorang
daripada dikelilingi orang-orang tercinta di saat-saat
terakhirnya. Dia seorang yang beruntung dan aku berbesar hati untuk itu, lebih
daripada memilih jatuh dalam kesedihan.
Dari awal prosesi pemakaman hingga
berakhirnya, aku dan ibu mertuaku tidak pernah melepaskan genggaman tangan kami. Kami adalah dua orang yang paling merasa
kehilangan dan itulah cara kami untuk saling menguatkan. Tidak ada tangis yang
berlebihan.
“Air mata kita sudah sama-sama
habis, bukan?” bisiknya. Aku mengangguk. Pipiku lalu diciuminya.
Hubungan kami tetap dekat setelah
itu. Bahkan, pada
pesta pernikahan keduaku tiga
tahun kemudian, dia memaksakan untuk datang
biarpun jarak terpisah begitu jauhnya. Aku hanya tertawa saat berkali-kali dia
mengeluhkan lututnya yang sakit selama
perjalanan atau berkata bangga kepada setiap orang yang mengajaknya bicara,
“Pengantin yang cantik ini menantu saya!”