Layung Senja Katirah
oleh: AK Basuki
oleh: AK Basuki
Katirah tersenyum ketika matanya
terbuka. Semalam mimpinya terasa begitu lucu. Ada sebuah jalan setapak panjang yang
berbunga-bunga di sisinya dan ia berjalan menapakinya dengan Atmo, bergandengan
tangan seperti dua buah gerobak tua yang terikat bersisian. Dipilinnya kuping
lelaki tua tercintanya itu berkali-kali dengan gemas dan dibalas dengan cubitan
di kedua pipinya. Tapi Atmo lalu mendorongnya lembut saat Katirah ingin menciumi
pipi keriputnya.
“Tiga hari lagi boleh kau lakukan
sepuasnya,” kata Atmo. Dia segera terbangun, tapi kata-kata itu terus mengiang.
“Sepertinya mereka harus segera
pulang, bisa atau tidak,” katanya kepada Fitri, gadis pengurusnya.
“Siapa, Bu?”
“Semuanya.”
Fitri mengangguk. Sejak kematian
suaminya setahun yang lalu, majikannya itu terkesan menjadi seorang yang
pendiam dan perasa. Segala yang diimpikan atau dikhayalkan dalam benaknya
dihitungnya menjadi sesuatu yang berkemungkinan menjadi kenyataan. Wajar,
karena sejak itu dia memang selalu bermimpi dan berkhayal. Mungkin ada benarnya
jika ketuaannya itu menyebabkan daya berpikirnya hanya sesuai untuk kapasitas
otaknya yang pastilah telah pula tergerus masa. Karena sebenarnya ia merindukan
berada di tengah anak-anaknya sementara tidak ada satupun dari mereka yang berada
di dekatnya.
Fitri sering malu sendiri jika
harus menghubungi anak-anak majikannya menyampaikan pesan agar mereka pulang. Sudah
beberapa kali dan majikannya itu telah mempersiapkan alasan rupa-rupa macam
yang harus dikatakannya: tiba-tiba lumpuh, jantungnya kumat atau jatuh di kamar
mandi dan patah kaki. Yang paling lucu dari itu semua adalah alasan akan
menikah lagi. Fitri geli mengingatnya. Apalagi ketiga orang anak majikannya itu
memang kemudian berkenan untuk pulang walaupun dengan menyimpan kejengkelan.
“Mbah Atmo bilang, tiga hari lagi
aku baru boleh menciumnya seperti kebiasaanku waktu dia masih hidup.”
Ia mendesah, matanya menatap ke
langit-langit kamar.
“Panggil mereka pulang, Tri. Tiga
hari lagi aku akan mati.”
Fitri tersenyum. Alasan baru lagi.
*****
Pada saat Fitri menghubungi anak
majikannya yang paling tua, yang didapatkannya hanyalah pertanyaan bernada
bosan.
“Apa lagi alasannya kali ini?”
“Ibu mati tiga hari lagi.”
Menggerutulah anak tertua Katirah
itu. Seperti tidak pernah menyadari bahwa ibunya itu tidak pernah menggerutu di
saat dia menjilati air susu dari payudaranya. Tidak bisa merasakan kesakitan
ibunya kala melahirkannya, seperti rahim ibunya itu hanya tempatnya
bermain-main selagi masih janin dan darah ibunya cuma pertaruhan biasa.
“Rasanya baru kemarin. Sekarang dia suruh kami
semua pulang lagi?”
“Sudah beberapa bulan, Pak,” kata
Fitri. Hatinya mulai sebal.
“Tidak semudah itu memutuskan
untuk pulang, Tri. Aku harus mencocokkan jadwal dengan istriku dan anak-anak
juga.”
“Saya hanya menyampaikan pesan
saja seperti biasanya.”
“Pesan-pesan kosong. Apa mau Ibu sebenarnya? Kalau ingin cari perhatian, caranya
benar-benar kekanak-kanakan sekali.”
Dia mengeluh keberatan. Anak tertua
Katirah itu seperti tidak pernah punya pikiran bahwa suatu saat dia akan tua
dan ditinggalkan pula oleh anak-anaknya. Dia seperti tidak pernah berpikir
bahwa jika dia tua nanti, tingkah polahnya pun akan menjadi seperti anak-anak.
“Aku tidak bisa.”
Fitri mengangguk-angguk, sebuah
jawaban tegas. Setelah menutup pembicaraan, dihubunginya anak kedua Katirah.
“Serius kamu? Apa hanya bohongnya Ibu lagi?” sambut anak kedua Katirah setelah Fitri
menyampaikan pesan majikannya.
“Saya hanya menyampaikan pesan
beliau, Bu. Ibu ingin semua berkumpul karena tiga hari lagi beliau akan mati.”
Mendesah anak kedua Katirah. Dia
satu-satunya anak perempuan, tapi seperti belum pernah merasakan bagaimana
mengandung seorang anak. Seperti tidak pernah tahu bahwa ibunya itu tidak
pernah mendesah dalam penderitaan mengandungnya, tidak menyadari bagaimana
anaknya kini sangat bergantung kepadanya seperti dia dulu kepada ibunya. Kini
yang sederhana diminta oleh ibunya, justru terasa berat untuk dipenuhinya.
“Memangnya setan dari mana yang
membuat Ibu sekarang membuat alasan seperti itu? Apa dia
sedang tidak sehat?”
“Tidak tahu, Bu. Akhir-akhir ini
memang terlihat lebih loyo dari biasanya, tapi beliau tidak mengeluh apa-apa.”
“Ah, bikin repot saja,” keluhnya seperti
tidak pernah merasa betapa ibunya adalah orang paling repot sedunia menghadapi
dirinya. Sejak kecil dia sakit-sakitan dan asmanya adalah siklus mingguan yang
seringkali membuatnya hampir mati kekurangan oksigen seperti ikan yang
terlempar dari akuarium. Bukankah saat itu ibunya juga yang paling berduka
menangisinya?
“Aku harus bicara dengan suamiku
dulu, Tri. Katakan pada Ibu, aku akan berusaha
pulang, tapi aku tidak berjanji.”
Fitri mengangguk-angguk.
Setidaknya ada sedikit basa-basi dari mulutnya, tidak seperti yang pertama
tadi, pikirnya. Ditutupnya percakapan dan menghubungi anak bungsu Katirah.
“Apa lagi sekarang? Ibu masuk
angin dan kepingin dikeroki semua anaknya?” suara di seberang terdengar jenaka
dengan tawanya.
“Tiga hari lagi Ibu mati.”
Tertawa lagi.
“Serius kamu, Tri? Ide siapa itu?”
Fitri sedikit malu. Dengan
pengalaman-pengalaman yang lalu, wajar saja kalau dia pun merasa dituduh menjadi
bagian dari alasan-alasan yang bohong itu.
“Tidak tahu, Mas. Cuma itu pesan Ibu.”
Anak ketiga Katirah itu lagi-lagi tertawa.
Fitri ikut tertawa. Si Bungsu ini memang masih lajang dan hampir seusia dengan
Fitri sehingga Fitri sangat yakin jika dia bisa sekedar pulang untuk menengok
ibunya karena pasti kesibukannya tidak akan terlalu banyak atau tergantung pula
pada orang lain. Tapi ternyata jawabannya hampir sama dengan kedua kakaknya.
“Sepertinya bisa, tapi tidak dalam
tiga hari ini. Aku banyak kegiatan di kampus. Sayang jika ditinggalkan dan
tidak enak juga dengan teman-teman. Sampaikan saja sama Ibu, mungkin dua minggu lagi aku bisa pulang. Dan… bilang Ibu juga supaya
jangan mati dulu sampai aku pulang.”
Bercanda, sebenarnya, tapi tetap
saja membuat dahi Fitri berkerut. Seperti dia tidak pernah merasa bahwa ibunya
itulah yang tidak pernah meninggalkan namanya dalam tiap doa-doanya. Bagaimana
diharapkannya anaknya yang bungsu itu segera mentas dari tahap belajarnya
menuju kedewasaan dan mampu mandiri. Kini sekedar pulang saja dia masih
mengundurnya hanya karena ada hal lain yang lebih sayang untuk ditinggalkan
daripada ibunya.
Fitri menutup perbincangan dengan
gundah.
*****
Tiga
hari berlalu dan tidak satupun dari anak Katirah yang muncul mengucapkan salam
di pintu rumah dan kemudian mencium tangannya. Tidak ada cucu-cucunya yang akan
dengan riang berlarian di halaman saat sore dan menarik-narik tangannya
mengajaknya bermain. Tidak ada. Mereka
memang berkali-kali menelepon, tetapi Katirah tidak mau sama sekali berbicara
dengan mereka.
“Ibu
tidak mau makan? Mana dia, aku mau bicara,” kata anak pertama Katirah.
“Ibu
tidak mau bicara, Pak. Beliau hanya ingin bertemu dan berkumpul langsung. Tidak
lewat telepon,” jelas Fitri.
Mendengus
anak pertama Katirah. Seperti dia tidak pernah merasa bahwa ibunya tidak pernah
mendengus padanya, bahkan saat dia melakukan kenakalan seburuk apapun sejak
dulu.
“Besok
aku pulang. Mudah-mudahan dia puas,” katanya mengalah pada akhirnya, tapi tetap
saja bernada jengkel.
Anak perempuan
satu-satunya pun sama, “Tidak mau bangkit dari tempat tidur? Apa dia marah karena
kami tidak ada yang bisa pulang? Ide tentang mati itu sudah dilupakannya,
bukan?”
“Tidak.
Beliau tetap yakin hari ini akan mati.”
Anak perempuan
Katirah itu terdiam. Seperti dia tidak pernah merasa bahwa ibunya itu tidak
pernah diam saja jika dia mendapat masalah-masalah yang menyedihkan hatinya.
Ibunya itu justru adalah orang pertama yang menghiburnya di kala hatinya susah.
Tidak teman baiknya, tidak saudaranya yang lain. Ibunyalah yang paling
mengenali watak dan tabiatnya dan langsung mendatangi untuk memberinya
penghiburan sebelum semua diungkapkannya.
“Baiklah.
Bilang sama Ibu, aku datang besok,” akhirnya dia mengalah.
Si Bungsu
pun demikian, “Menyebut-nyebut Bapak? Maklumlah, dia pasti
kangen sama Bapak. Eh, ini sudah tiga hari, bukan? Ramalan kematian itu
bagaimana?”
Dia
tertawa. Fitri jadi sebal.
“Ibu tetap
yakin akan mati hari ini.”
“Ah… semakin
tua bohongnya semakin menjadi,” katanya menyebut ibunya sendiri berbohong.
Seperti dia tidak pernah merasa bahwa ibunya itulah yang tetap mempercayai dan
membelanya saat uang bapaknya dia curi untuk bersenang-senang, bahkan ketika
dia telah mengakui semua di bawah ancaman tamparan bapaknya. Tanpa pembelaan
ibunya itu dia pasti sudah minggat dari rumah dan akan membenci bapaknya
selama-lamanya.
“Besok
aku pulang,” katanya.
Fitri
menutup pembicaraan dan memandang Katirah di tempat tidur. Diapun sangsi dengan
keadaan majikannya itu, tapi di lubuk hatinya dia merasakan sesuatu yang lain
pada mata itu, mata yang menatapnya dan kemudian berucap, “Jadi besok mereka
datang, Tri?”
“Ya, Bu.
Semuanya.”
“Terlambat.”
“Tidak.
Justru Ibu harus bergembira, karena akhirnya mereka akan datang.”
Katirah
tersenyum kecut saat kemudian Fitri meninggalkannya sendiri dalam kamarnya. Betapa
sunyinya hidup, dia mengeluh. Atmo telah tiada dan sejak itu semangat hidupnya
tidak ada yang bisa menukarnya. Anak-anak adalah harapannya, tetapi mereka
tidaklah bisa diharapkan seperti angin bagi layang-layang yang butuh terbang.
Mereka justru menjadikannya sebuah layang-layang yang tidak akan mampu terbang
lagi. Kesunyian yang dirasanya telah sering membuatnya melihat bayangan Atmo di
pintu kamar atau di ujung ranjangnya, tersenyum mesra padanya bukan sekedar
dalam mimpi.
Atmo,
bisiknya. Dadanya tiba-tiba diserang nyeri yang hebat.
Seperti
mendengarnya, lelaki tua yang senantiasa dirindukannya itu kemudian benar-benar
muncul. Berdiri memandanginya dan terlihat gagah dengan setelan jas abu-abu dan
peci kesayangannya. Tanpa sadar, kedua lengannya terulur ingin meraih dan memeluk.
Atmo mundur setapak.
“Kau
menjemputku, Mbah?”
Atmo
meletakkan jari telunjuk di bibirnya sendiri, seakan-akan menyuruhnya diam. Dadanya
semakin nyeri.
“Kau bilang tiga hari. Bukankah
kini saatnya? Aku telah benar-benar rindu.”
Masih tersenyum, lelaki tua yang
dicintainya itu tidak menyahut. Dia hanya mengangkat tangannya dan menunjukkan
lima jarinya yang terbuka.
“Lima? Lima apa? Lima tahun lagi?
Lima hari? Lima jam? Lima menit? Bicaralah,” bisik Katirah, napasnya mulai
terengah-engah.
Dengan wajah jenaka, Atmo lalu mengatupkan
jari-jari tangan itu satu per satu berurutan dalam hitungan yang ritmis: ibu
jarinya, telunjuknya, jari tengahnya, jari manisnya...
Katirah mengerti dan dadanya riah.
“Kau nakal, Atmo,” bisiknya sambil
tersenyum bahagia.
Matanya lalu terpejam.
Di luar, rona layung senja muncul semakin
tegas. Sekawanan burung-burung yang kembali ke sarang terlihat melayang
mengarungi langit, terekam dalam gerakan lambat seakan-akan hiasan yang
menjadikannya semakin permai. Seperti dalam sebuah lukisan.
Cigugur, 30 Juli 2011
6 komentar:
:(
:)
Katirah mengerti dan dadanya riah.
Iku maksute opo, Mas? Dadanya riah?
Sungguh menyebalkan kolom komentarnya :(
Pake google acount dah gitu ada peripikasih lagih :((
wahahaha..ajari bikin kaya punyamu makanya..
trimakasih sudah mampir..
Posting Komentar