Hantu dan Tukang Tambal Ban
Oleh: AK Basuki
Malam Jumat kliwon bagi Karman
bukanlah sesuatu yang harus dikultuskan. Di saat banyak teman seprofesinya yang berkepentingan
untuk diam saja di rumah, entah karena mencari wangsit
atau memang berpantang mencari rejeki pada malam tersebut, Karman cuek saja. Justru bagus, pikirnya. Dia akan leluasa memonopoli jalanan. Paku-paku yang sengaja disebarkan oleh
beberapa oknum tukang tambal ban, tidak termasuk dirinya, tidak jarang malah membuatnya
kebanjiran order. Walau tidak setuju dengan cara kuno yang jahat itu, tapi
Karman bersyukur dengan berkah yang didapatnya pula dari sana.
Akan lebih banyak hantu yang berkeliaran, mungkin betul, seperti yang sudah-sudah. Bertemu mahluk-mahluk ganjil, dia sudah biasa. Jika ada yang pernah punya pengalaman berbicara dengan hantu tanpa kepala, dialah
orangnya. Jika ada yang pernah dititipi untuk momong bayi genderuwo
seukuran anak sapi sampai pagi, Karman
orangnya. Misalkan pula ada yang pernah mengaku
dikeloni hantu wanita cantik seperti bidadari, biarpun badannya bau kembang kamboja dan suara cekikikannya bikin
celana basah, Karman juga orangnya. Hanya mengeloni saja, tidak berbuat apa-apa. Karman toh bukan lelaki hidung belang seperti dalam film-film
Suzanna. Lelaki-lelaki bodoh yang
sering tergoda
dan lamur matanya sehingga mau saja mengantarkan hantu perempuan cantik yang
tampak seperti perempuan malang kesepian. Keesokan paginya, tahu-tahu mereka terlihat
berlari terbirit-birit keluar dari komplek pekuburan. Masih untung
tidak dicekik
sampai mampus.
Tapi malam Jumat kliwon kali ini berbeda. Karman sudah merasakannya sejak berpamitan pada
istrinya selepas isya.
“Jumat kliwon lho, Pak,” kata
istrinya.
“Terus?”
“Sampean hati-hati, banyak yang keliaran.”
“Apa? Demit? Ndak takut. Lha aku kan sudah biasa ketemu kamu,” jawab Karman terkekeh, tapi hatinya jadi berdesir tidak biasa.
Bukan hanya karena kata-kata istrinya. Ada sesuatu yang lain, yang tidak bisa dia pahami.
Satu firasat, bagi seorang Karman, wajib untuk dipercayai. Sama seperti dulu saat hatinya tiba-tiba
merasa kosong seharian, detak jantungnya bertambah kecepatannya berkali-kali
lipat, persis
seperti hari ini. Dia, dengan tanpa berburuk maksud, telah melempar semua prasangka jauh-jauh. Tapi terjadi
juga. Tengah
malam, sebuah mobil produksi
Eropa berjungkir balik beberapa kali sebelum berhenti dan menabrak pembatas
jalan hanya beberapa puluh meter di depan bengkel tambal bannya. Semua
penumpangnya mati.
Anehnya, hantu-hantu mereka
langsung duduk manis di hadapannya justru sebelum dia sempat berdiri untuk menghampiri tempat kejadian itu.
Ada empat. Satu perempuan, tiga
laki-laki.
“Lha?” tanyanya keheranan. Sedikit ngeri karena mereka semua diam menatapnya, “Mbok ya bicara, jangan diam saja. Apa masih shock?”
Hantu yang perempuan menangis,
yang lain kelihatan marah.
“Cari uang
yang betul, dong!”
“Lha?”
“Paku
disebar di jalanan. Siapa lagi kalau bukan Bapak yang tukang tambal ban?”
“Sumpah, bukan saya!” elak Karman.
Dia memang tidak pernah menyebar segala macam paku atau apapun yang bisa
membuat tukang-tukang
tambal ban seperti dirinya
mendapat keuntungan, tetapi dengan resiko
mengorbankan keselamatan orang lain.
“Tapi Bapak tahu dan pura-pura tidak tahu, kan? Ini semua gara-gara Bapak! Pokoknya gara-gara Bapak!”
Begitu saja dan mereka menghilang.
Itu yang diyakini Karman jadi awal bagi
hantu-hantu yang lain untuk setidaknya selalu hadir bercakap-cakap menemaninya. Kalaupun tidak, mereka hanya seperti mengisi daftar absensi, muncul di depan Karman, mengaget-ngageti lalu pergi.
Tapi Karman sudah
kebal. Sungguhpun rasa yang
dialaminya seharian ini hampir sama dengan yang pertama dulu, dia telah siap.
Karena itu dia hanya akan menunggu. Tidak
akan bekerja, menunggu saja.
Sampai tengah
malam, sudah 4 sepeda motor bocor ban ditolaknya sebelum yang ditunggu akhirnya datang.
Tiba-tiba saja sesosok hantu wanita cantik sudah
duduk bertopang dagu di hadapannya.
“Kok cantik betul kamu?” tanya Karman, “Bukan tersasar datang ke sini?”
Hantu wanita bergaun hitam itu tersenyum. Kedua biji matanya dalam penglihatan Karman adalah serupa dua ekor kunang-kunang yang terluka dan
berdarah kala bertarung memperebutkan hakikat hidup; menjadi terang atau redup
selamanya.
“Apa salah
kalau saya cantik, Pak Karman?”
“Tidak. Cuma sayang, secantik ini kok hanya jadi hantu.”
Karman lalu pura-pura sibuk
menuangkan bensin ke dalam botol-botol kosong satu literan dan memajangnya di depan
bengkel. Matanya melirik ke kanan
dan ke kiri. Sama sekali tidak ada yang lewat baik kendaraan
atau orang berjalan. Nol. Bulu kuduknya meremang.
“Tidak ada untungnya jadi cantik,”
kata hantu itu, “Sekali-kali mungkin bisa memuaskan hati sendiri, tapi tetap
lebih banyak tidak beruntung.”
“Kalau mau mengeluh tentang kecantikan,
jangan di sini. Saya belum pernah jadi orang cantik karena saya laki-laki. Istri saya tidak cantik, pekerjaan saya tidak
cantik, nasib juga tidak cantik. Dalam sejarah, belum pernah saya
bisa merasakan nikmatnya bersinggungan dengan kata cantik itu.”
“Saya tidak mengeluh tentang
cantik, Pak
Karman. Saya justru mau bicara tentang kematian.” Hantu itu tertawa. Suaranya sedikit mirip kuda
meringkik.
“Lha?”
“Pak Karman tahu tidak, kapan akan mati?”
“Kalau saya tahu, buat apa saya
jadi tukang tambal ban? Mending saya
jadi tukang sulap.
Melakukan banyak adegan berbahaya
yang menghasilkan banyak uang. Bukan begitu? Asumsikan saja saya tahu umur saya bakal
sampai 60 tahun. Sebelum itu, saya bisa
cari uang banyak-banyak. Bikin pertunjukkan pancung kepala, minum racun, menahan peluru atau apa
saja saya berani karena tahu belum jatahnya mati.”
“Masuk akal. Pak Karman bisa jadi
pesulap terkenal penantang maut.”
“Itu maksudnya.”
“Nah, bagaimana kalau
Pak Karman mati beberapa saat lagi?”
“Ngawur!”
“Tidak percaya?”
Karman diam, sedikit merasa terancam. Hantu perempuan di hadapannya tidak mirip
pencabut nyawa, tapi kata-katanya serius betul. Dia ingat firasatnya, jadi
ingat juga - atau tiba-tiba saja memorinya memaksakan untuk mengingat hal-hal
yang sebenarnya tidak pernah dia alami - bahwa beberapa hari lalu suara burung
gagak terdengar di sekitar rumahnya.
“Makanya bikin saya percaya.”
“Saya datang, Pak Karman, dari
neraka. Neraka
sekarang sudah hampir kelebihan penghuni. Bahkan malaikat sudah sering
menancapkan papan pemberitahuan di tiap-tiap kapling kosong bahwa itu sudah ada
yang yang akan menempati.”
Buset! Karman
tertawa terkial-kial sampai air matanya keluar. Baru kali ini dia bertemu hantu
pembual seperti ini, pikirnya.
“Silakan saja
ketawa, kenyataannya memang seperti itu,” kata hantu perempuan itu tanpa
terlihat tersinggung.
“Terus .. terus …,”
kata Karman sambil menggelosoh di lantai tanah bengkelnya. Hatinya masih geli
betul.
“Malaikat neraka yang
mengutus saya.”
“Mengutus untuk
apa?”
“Menjemput orang-orang
baik, membawanya langsung ke pintu surga tanpa birokrasi yang ruwet supaya
surga cepat penuh dan akhirnya proposal untuk perluasan neraka bisa diajukan
bersama-sama dengan proposal dari surga.”
Karman ngakak
lagi.
“Dengan kata lain,
orang-orang baik akan dibunuhi?”
“Dijemput, Pak
Karman.”
“Ngawur!”
“Eh, masih nggak
percaya..”
“Terus, dari mana
ceritanya neraka lebih cepat penuh? Harusnya sebaliknya. Bukannya pernah
dengar, orang-orang baik itu justru lebih cepat mati? Tuhan merasa sayang, jika
mereka dipanjangkan umurnya, akan terperosok berbuat dosa. Orang jahat umurnya dipanjangkan
karena Tuhan juga sayang, memberi kesempatan mereka untuk bertobat.”
“Pak Karman yakin,
orang-orang yang cepat matinya itu orang baik?”
“Si Maksum? Si
Rastam?”
“Maksum itu
fisiknya saja yang suka kelihatan ke mesjid, salat, mengaji. Tapi, Pak Karman
tahu tidak kalau dia itu suka menyakiti hati keluarganya? Bayangkan, hampir
seharian bekerja, pulang-pulang langsung ke mesjid, nyeramahi orang di sana tentang kasih sayang dalam keluarga,
membual tentang amal ma’ruf nahi munkar,
zikir sampai pagi. Dia pikir anak dan istrinya sudah cukup dikasih duit belanja
untuk mewujudkan kasih sayang. Padahal mana cukup? Egois sekali, kan? Bukankah
lebih baik seimbang antara tanggung jawab akhirat dan dunianya? Ibadah ya
ibadah, tapi kalau sampai membiarkan keluarganya tanpa Imam yang stand by di rumah, memberikan anutan dan
tanggung jawabnya itu mulai dari orang-orang terdekatnya lebih dulu, apa tidak
namanya sia-sia ibadahnya? Terus, Rastam, orang kaya yang rajin sedekah. Pak Karman
tahu tidak kenapa dia kaya? Korupsi. Itulah buktinya bahwa tidak selalu orang
mati muda itu orang baik-baik.”
Karman diam. Jadi,
sekarang ini kematiannya menjelang karena dia termasuk orang baik? Jika hantu
itu memang bertugas menjemput orang-orang baik, berarti dia termasuk golongan
orang-orang yang akan masuk surga? Senang iya, sedih juga iya. Duh, jadi
terpikir untuk pulang dan menikmati kebersamaan dengan keluarganya sehari lagi
saja. Tentunya akan dia manfaatkan benar-benar. Istrinya mungkin akan dia ajak
tamasya ke pinggir pantai sejak pagi sambil menikmati martabak dan sate ayam.
Berdua bercengkerama di atas tikar yang digelar di atas pasir …
“Pak Karman
takut?”
“Takut kenapa?
Kalau memang saatnya mati, sembunyi di belakang batu kali pun bakalan mati.
Tapi saya mau tanya, mati di tangan hantu itu apakah tidak merugikan buat saya?
Semacam mengurangi pahala saya?”
“Mati adalah mati.
Seperti orang bunuh diri, itu bukanlah mendahului takdirnya, tapi memilih
sendiri caranya untuk mati. Nah, kematian Pak Karman biar saya yang pilihkan.
Kalau nanti Tuhan murka, itu memang sudah resiko mahluk-mahluk seperti saya
yang memang sudah dikutuk dari sejak awal penciptaan dunia.”
“Enak saja!”
protes Karman, “Saya tidak mau, ah, mati dicekik hantu biarpun cantiknya
seperti kamu.”
“Siapa bilang saya
mau mencekik Pak Karman?” tanya hantu cantik itu sambil melenggang pergi dan
berhenti tepat di tengah jalan. Jalanan benar-benar sedang lengang. Tapi
beberapa detik kemudian dua pendar cahaya terlihat, mendekat cepat sekali dan
menyilaukan matanya. Sebelum Karman menyadari apa yang terjadi, sebuah mobil tiba-tiba
menyeruduk bengkel tambal ban sederhana itu. Hancur. Karman terlempar, entah
bagaimana hingga ke parit di belakang bengkelnya. Sepertinya dia reflek
melompat, atau memang mobil nahas itu tepat menyeruduk bokong keriputnya.
Syukur dia ucapkan karena tubuhnya hanya lecet-lecet tidak berarti. Tidak mati.
Hantu itu bohong!
“Saya cuma
bercanda, Pak Karman,” tiba-tiba hantu cantik itu muncul lagi di dekatnya,
memperhatikan Karman merangkak keluar dari parit seperti tikus got tua. Sumpah
serapah keluar dari mulutnya.
“Jadi, saya mati
atau tidak? Mencla-mencle!”
“Yang mati dan akan secepatnya saya bawa
adalah penumpang mobil itu. Bukan ke surga, langsung ke neraka! Saya punya
dendam pribadi sama dia.”
“Lho?”
“Obrolan kita tadi
sekedar mengisi waktu, Pak Karman. Rupanya manusia itu memang bodoh, gampang
percaya sama hantu, padahal sudah tahu mahluk-mahluk jahat seperti saya ini
kerjanya membodohi manusia.”
“Asem kecut! Memang hantu bebas mengincar
orang lalu menggoda dan membunuh?”
“Tergantung iman
yang diincar. Kalo bobrok dan lemah kaya orang itu atau mungkin Pak Karman, ya
hati-hati saja. Saya ini dulu istrinya, tapi dia jahat dan khianat. Saya dibunuh
karena dia punya perempuan lain,” hantu itu cekikikan. Tapi di telinga Karman
terdengar pahit.
“Bukan saya yang
mati.”
“Artinya, Pak Karman
harus banyak beribadah biar tidak gampang diganggu, dihasut dan dibodohi hantu
seperti saya,” katanya untuk terakhir kali sebelum lalu menghilang dengan
meninggalkan gaung suara cekikikan yang mendirikan bulu kuduk.
Karman memaki-maki
tiada henti. Saat dia tertatih-tatih kembali ke bengkelnya yang hancur dan
orang-orang mulai ramai berkumpul untuk melihat kejadian di dini hari itu, Karman
tiba-tiba ingin berdoa. Ingin berdoa yang khusyuk sekali.
Cigugur, 1 Juli 2012
4 komentar:
Ah, kolom komentarnya menyebalkan, pake google acount. Mbok dibuka epriwone tho, Mbah Guru? Sik2, tak capturne, nanti biar Mbah Guru belajar sendiri, gak minta tolong kakaknya terus :D
Ini komen cerpen opo komen blog?
Komen blog ae, lah cerpene ndak enek sing perlu dikoemntarin. Etapi komen cara nulise wae yo, Mbah? kuwi mbok setiap baris spasinya dua kali tho, biar ndak deket2 n bacanya mata gak sepet, karena saking deketnya hehehe
wah, iya je..mbesok lagi ta'spasi 2 wis..trus, kalo ada setting baru, mending ke kakakku aja lah..biar dia ada kerjaan..hahaha..
hahahahhaha lucu juga ceritanya kirain beneran bakal mati si karman :D
yang lucu bukan ceritanya, tapi penulisnya..haha..makasih udah mampir, Linda..
Posting Komentar