Rumah di Dekat Tempat Pembuangan Sampah


Rumah di Dekat Tempat Pembuangan Sampah
Oleh: AK Basuki



“bukan rumahnya, justru sampahnya yang bawa rezeki...”


Rumah Daniel akhirnya selesai dibangun. Sayang, sudut terujung kompleks perumahan itu, yang otomatis hanya beberapa meter jaraknya dari rumah, telah jadi tempat pembuangan sampah. Salahnya sendiri juga, sebenarnya, tidak pernah menegur sehingga warga dengan bebas membuang sampah di sana. Awalnya memang sedikit-sedikit, sekedar plastik-plastik makanan ringan atau potongan-potongan rumput dan dahan pohon. Lama-kelamaan makin banyak. Sampah-sampah berat semacam sisa-sisa makanan serta sampah rumah tangga lainnya ikut tumplek di situ. Sebelum Daniel sempat menyadari kerugian yang akan dialaminya kelak, spot itu seperti telah disahkan jadi TPA kompleks. Sebagai penegas, sebuah bak sampah yang moveable hasil proposal warga kepada Pemkot berdiri gagah di sana.
Daniel mengira, dengan mengajukan keberatan, bak sampah itu pasti akan dipindah ke tempat lain mengingat itu sangat dekat dengan hunian keluarganya. Ternyata perkiraannya salah. Bak sampah itu tetap bertahan di sana. Sekeras apapun protesnya di forum warga, suaranya tertelan suara mayoritas. Alasannya, warga sudah terbiasa, lagipula tempat itu mudah diakses truk pengangkut sampah yang datang tiap dua hari sekali. Daniel tidak bisa berkutik.
Bukan hanya tidak sedap dipandang mata, aroma kumpulan sampah itu justru lebih-lebih mengganggu. Karena segala najis sepertinya ada di sana, maka baunya benar-benar variatif. Jika hari ini dominan aroma sayuran busuk, besok dan lusa bisa jadi berganti aroma tahi bayi atau kucing mati. Lalu angin akan membawa baunya kemana-mana sampai-sampai Daniel dan Maria, istrinya, selalu sengaja menyediakan masker disposible untuk dipakai di rumah tiap hari. Yang lebih parah lagi jika hujan deras dan truk pengangkut sampah tidak datang. Itu macam-macam varian komoditi sampah bisa keluar meluap, terbawa aliran air hingga masuk pekarangan rumah.
“Protes lagi, Mas. Masa mau begini terus?” keluh Maria selalu. Lama kelamaan bisa dironsen dia karena stres.
“Sulit. Sudah tidak ada pilihan tempat lagi. Kalau dipindahkan, pasti warga yang rumahnya berdekatan akan protes.”
“Kita juga sudah protes, kenapa tidak ada yang mendengar?”
“Jelas saja, mereka kan sudah terbiasa. Jika kita datang untuk mengubah tatanan lama, pastilah tidak akan berhasil.”
“Kasih mereka duit.”
“Percuma.”
Daniel sebenarnya trenyuh juga mendengar keluhan-keluhan Maria. Tapi bagaimana lagi? Mereka hanya warga baru di sana, belum punya cukup kekuatan untuk mengubah tatanan yang sudah ada. Bisa-bisa nanti mereka malah dimusuhi. Yang bisa mereka lakukan sementara ini hanyalah bertahan dan menerima keadaan.
Merasa bertanggungjawab terhadap kenyamanan istrinya, Daniel pun terpaksa melakukan tugas ekstra. Sering dia mendatangi bak tempat sampah itu untuk membakar isinya langsung agar baunya tidak terlalu mengganggu. Dia tidak sungkan-sungkan pula membereskan sampah-sampah yang tercecer di luar bak sampah. Memang tidak terlalu membantu menghilangkan aroma yang  sudah paten menempel, tapi paling tidak agar nampak sedikit rapi.
Dengan sabar dan ikhlas Daniel melakukan hal itu. Tapi warga justru seperti tidak menghargai pengorbanannya. Berpikir bahwa sekarang ada yang dengan sukarela merapikan bak penampungan sampah itu, mereka mulai membuang asal-asalan. Pekerjaan Daniel justru jadi semakin berat karena bertambah banyak sampah yang menumpuk berserakan di sekitar bak. Mungkin saking malasnya mendekat, tas plastik pembungkus sampah mereka lemparkan begitu saja. Tentu ada yang tepat masuk ke bak, tapi lebih banyak lagi yang meleset. Ada yang membentur sisi bak kemudian pecah dan isinya berantakan, lalu ditinggal pergi begitu saja. Ada yang sama sekali asal lempar, yang penting sudah dibuang di sekitar bak. Toh ada yang akan merapikannya.
Daniel gemas, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

*****

Suatu malam, Maria mengeluh tidak bisa tidur. Mual dan pusing dengan bau durian yang menyengat dari bak penampungan sampah itu. Daniel tahu, Maria paling tidak suka dengan bau durian, apalagi ditambah bau sampah. Penderitaan istrinya yang pun sedang mulai mengidam itu pasti berkali-kali lipat. Karena itu, demi istri, dia segera keluar rumah setelah sebelumnya mengambil jeriken bensin dan lampu senter.
Tepat ketika baru akan membuka pintu pagar, terdengar ribut-ribut. Daniel melihat beberapa orang berlari-larian tengah malam itu, seperti mengejar sesuatu. Salah seorang dari mereka yang melihat dia berdiri di balik pagar rumah yang terkunci, mendekat. Tangannya mengacungkan pedang.
“Lihat orang lewat kemari?” tanyanya pada Daniel. Tampangnya seram, semacam anggota-anggota geng atau kelompok pemuda dari daerah tertentu yang sering dilihatnya di televisi.
“Tidak… saya baru saja keluar,” jawab Daniel tegang.
“Jangan bohong!” bentak orang itu. Kawan-kawannya yang berjumlah sekitar lima orang kini menyusul dan ikut mengancam Daniel. Beberapa memukul-mukulkan benda yang mereka genggam, sepertinya pistol, ke pagar.
“Sumpah!”
“Buka pagar!”
“Sumpah, tidak ada orang di sini.”
Untunglah saat Daniel sudah mulai gugup dan serba salah, seorang dari mereka tiba-tiba berteriak sambil menunjuk sesuatu yang berkelebat, berlari ke arah berlawanan, “Itu! Itu!”
Serentak mereka pun berhamburan mengejar.
Daniel sendiri hanya menjublek tegang di tempatnya. Tidak mengetahui masalahnya, tapi dia sedikit banyak bisa mengira. Kemungkinan besar mereka adalah anggota kelompok geng yang mungkin sedang mengejar musuh. Dari wajah-wajah mereka yang terlihat beringas, bawa-bawa senjata, pastilah ada hal besar yang terjadi. Merinding dia. Lebih baik dia tidak usah ikut campur jika tidak ingin konyol.
Cukup lama dia berdiri di sana untuk menetralisir perasaannya. Setelah dirasa tidak ada tanda-tanda orang-orang itu akan kembali lagi, dia meneruskan niatnya tadi, membereskan sampah demi istrinya.
Betapa terkejutnya dia ketika sedang mulai mengendus-endus mencari sumber bau, sesuatu bergerak menimbulkan suara berkeresekan dari dalam bak penampungan sampah. Sorot lampu senter diarahkannya ke asal suara. Seorang laki-laki berwajah pucat dan gemetar ketakutan sedang meringkuk di dalam. Tubuhnya tertutup sampah.
“Tolong,” katanya.
Napas orang itu terengah-engah, seperti akan bangkit tapi tidak bisa. Tentu orang inilah yang tadi dicari-cari, pikir Daniel.
“Anda yang dicari mereka?” tanya Daniel memberanikan diri. Orang itu mengangguk lemah. Merasa orang itu tidak akan membahayakannya, Daniel meloncat masuk ke dalam bak penampungan sampah itu.
“Kenapa Anda dicari? Lalu siapa yang mereka kejar barusan?”
“Teman. Dia sengaja... memancing mereka ke arah lain agar... tidak menemukan... saya di sini.”
“Anda pasti orang penting.”
“Tidak,” orang itu meringis lalu mengangkat tangan kirinya. Daniel membantunya berdiri, tapi yang dibantu sepertinya sudah sangat lemah. Tangannya baru meraih tepi bak, dia sudah rubuh lagi. Daniel terpaksa menahan tubuhnya. Saat itulah dia melihat tangan kanan orang itu membawa sebuah tas ransel yang sepertinya cukup berat.
“Anda sepertinya harus ke rumah sakit.”
Orang itu menggeleng. Tangan kirinya memegangi perut. Cahaya senter milik Daniel membuatnya dapat melihat jelas, baju yang dikenakan orang itu sudah basah memerah karena mengalami perdarahan parah. Mungkin ditembak, mungkin ditusuk, Daniel tidak yakin.
“Tolong saja saya,” kata orang itu.
“Bagaimana saya menolong, mengeluarkan Anda dari bak sampah ini pun saya kesulitan. Saya harus cari bantuan...”
“Jangan!” orang itu memegang tangan Daniel, tapi dengan gerakannya itu dia malah jatuh terjengkang ke belakang.
“Tidak rumah sakit, tidak cari bantuan. Anda ingin mati?” tanya Daniel.
“Tolong... hubungi nomor ini... dia akan se... se... gera... kemari,” dia menyebutkan nomor ponsel seseorang dengan terputus-putus. Tapi sepertinya orang itu ngelantur.
“Ya.. ya.. saya pasti tolong... Anda bawa hape? Ah, Anda tunggu saja... saya akan ambil hape di rumah,” kata Daniel. Belum lagi menanggapi, orang itu sudah terdiam. Napasnya masih ada walaupun sudah satu-satu. Sepertinya sebentar lagi akan mati.
Sayang sekali jika sampai tas ransel yang sepertinya berisi barang berharga itu ditemukan orang lain, pikir Daniel sambil mulai memperhitungkan peranannya. Orang yang biasa berkutat dengan bak sampah itu, biarpun bukan kewajiban, adalah dia. Maka dia merasa wajar saja jika sekali-kali mendapatkan rezeki nomplok dari sana. Tidak perlu berpikir lama-lama, Daniel meraih tas ransel orang itu lalu melompat keluar dari bak sampah, berlari sekencang-kencangnya. Sesampai di rumah, baru disadarinya ternyata bajunya pun telah ikut ternoda darah. Tubuhnya bau sampah. Khawatir Maria memergoki, cepat dia masuk ke dalam kamar mandi.
Orang dalam bak sampah tadi jelas membawa sesuatu yang berharga dalam tas ransel itu. Jika tidak demikian, bagaimana mungkin kawannya rela berkorban untuk mengalihkan perhatian para pengejarnya? Daniel pun tergesa-gesa membuka ransel itu dengan tangan gemetar. Baru terbuka sedikit saja, dia sudah hampir memekik terkejut. Uang! Uang yang banyak sekali!
Tentu saja dia merasa beruntung. Jelas tidak ada yang tahu tas ransel berisi uang ada padanya kecuali orang di dalam bak sampah itu. Tapi apa benar begitu? Apakah orang-orang itu tidak akan kembali lagi untuk mencari?
Ah, masa bodoh. Satu keputusan dihasilkannya dengan segera. Cepat dia menyembunyikan ransel berisi uang itu di gudang, satu-satunya tempat dalam rumah yang jarang sekali dimasuki istrinya. Setelah yakin tersimpan dengan aman, dia bermaksud kembali lagi ke tempat pembuangan sampah itu. Maria sempat memanggilnya dari dalam kamar, tapi dijawabnya bahwa dia belum selesai dan jerikennya masih tertinggal.
Tubuh orang itu masih di sana. Napasnya juga masih ada, tapi Daniel sengaja membiarkannya. Cahaya lampu senter hanya difokuskannya pada gerakan dada dan berkali-kali dia perlu untuk meletakkan jarinya di depan hidung orang itu. Menunggu. Perhitungannya tepat. Tidak lama kemudian, napas orang itu lalu berhenti sama sekali. Mati.
Yakin dengan apa yang dilakukannya, Daniel segera berlari menuju rumah ketua RT dan langsung menerobos masuk ketika pintu dibukakan.
“Ada mayat di bak sampah!” katanya tegang tanpa dibuat-buat.

Cigugur, 10 Agustus 2012

- bukan sekali duduk, karena duduknya bukan sekali



Category:

5 komentar:

Anonim mengatakan...

'Menampakkan sisi buruk manusia' dengan maksud mengambil hikmah-nya. Kayaknya itu pesan cerpen ini. Yang sedikit nggak biasa, nama2 tokohnya.

Harus sabar baca paragraf2 awal. Supaya nggak "hoaaam..." :D

Karena belum bisa nulis cerpen sebagus ini, mangkanya bisanya saya cuman nyela.

Unknown mengatakan...

yang nulis sebenernya hoaaammm juga..haha..

@leilfataya mengatakan...

mas Bas, simbahne pernginyongan hehehehe..
blogmu bagus..tulisan2nya juga.. loph it so much beibeh!

Anonim mengatakan...

main ke sini juga ya..hihi promo , gan !

Unknown mengatakan...

ah, mbak Leil..jadi pengin malu..

Posting Komentar