Lepas


Lepas
Oleh: AK Basuki


Hampir dua jam perempuan itu tersisih di sudut kamarnya sendiri, meringkuk dalam kegelapan. Seperti sedang disetarakannya bunyi detak jantung dan tik-tak jarum jam dini hari itu. Air mata sudah tumpah semuanya, tapi dia tak juga tenggelam walaupun keinginan untuk itu begitu besar. Ngawur, kata sebagian otaknya mengejek, tak akan nanti air mata mampu menenggelamkan dirinya biar sampai tangan kiamat terulur.
Dipilinnya ingatan satu-satu kepada beberapa minggu lalu, saat dia dan lelaki itu berhadapan beradu kata-kata.
“Kau tidak mencintaiku, bukan?” tanya lelaki yang hingga kini masih tega berkecamuk dalam pikirannya. Seorang lelaki yang baik, pada siapa dia sebenarnya menjatuhkan seluruh perasaannya ketika batas yang telah dibangun tiba-tiba memberontak untuk runtuh hingga tiada lagi penyekat kecuali keegoisan dan kebodohannya.
“Mencintai itu perasaan busuk. Aku lebih memilih menyebutnya sebagai mimpi buruk yang suatu waktu nanti hanya akan berakhir,” jawabnya.
Memang akan berakhir dan dia telah menentukan sendiri seperti pada lelaki-lelaki sebelumnya. Awalnya toh dia hanya ingin lari, bertemu lelaki sesiapapun, memainkan peran demi menyenangkan hatinya sendiri untuk kemudian terlepas. Tapi kali ini dia berperan terlalu sempurna dan cintanya tumbuh seribu kali di lahan yang sangat subur.
“Kau tidak pernah mau menjawab.”
“Haruskah?”
“Aku ingin punya keluarga,” gumam lelaki itu.
“Aku tidak,” sambarnya cepat. Kehidupan perkawinan tidak cocok baginya. Seperti angin, dia hanya ingin berhembus. Kadang-kadang tenang dan senyap entah di suatu tempat. Pula seperti air dia hanya ingin mengalir, tak hendak tersimpan dalam wadah apapun.
“Kau harus meninggalkanku, jika begitu.”
Bukan kalimat “aku harus meninggalkanmu” yang keluar dari mulut lelaki itu, justru menunjukkan kelembutan dan kerendahan hatinya.
“Bisakah kita bicarakan yang lain saja?” tanya perempuan itu mulai merayu. Lengannya terangkat hendak memeluk, tapi lelaki itu surut. Hanya kedua matanya saja yang berbicara bahwa kali itu dia ingin didengarkan lebih dari biasa.
“Cinta kita cinta orang mabuk yang terkapar pingsan. Aku ingin beberapa menit saja bagi kita untuk siuman, lalu kau boleh melakukan apa saja yang kau mau. Tolong, beberapa menit saja.”
“Baiklah. Tapi kau tentu sudah tahu pendirianku.”
Perempuan itu sudah begitu hapal akan apa yang terjadi, sama persis seperti sebuah siklus. Maka dia tahu, mereka telah sampai kepada akhir, seperti yang terjadi pada lelaki-lelaki lain sebelumnya. Tidak adakah di pikiran mereka apapun selain pernikahan?
Diamlah lelaki itu. Dipikirnya memang akan percuma saja, tapi tetap dilakukannya apa yang memang telah dia persiapkan. Selingkar cincin disematkan. Perempuan itu manda. Memang terasa getaran yang berbeda, tapi dihalaunya.
“Aku benar-benar ingin membangun sebuah keluarga... denganmu.”
Perempuan itu menggeleng. Sekejap saja cincin di jari manisnya terlepas.
“Aku menginginkanmu, tapi tidak ingin menikah denganmu,” kata perempuan itu setelah menimang-nimang cincin di genggamannya, seolah berpikir untuk berkata-kata, kemudian mengangsurkan cincin itu kembali. Kata-katanya barusan adalah sebuah penawaran terakhir yang bisa diberikannya. Lelaki di hadapannya tersenyum, begitu saja, kemudian berlalu tanpa berkata apa-apa lagi. Hanya seperti itu.
Sesederhana itulah perpisahan mereka.
Tinggallah dia dengan kesombongannya, merasa mampu untuk langsung dapat melupakan lelaki itu seperti yang sudah-sudah. Diundanglah semua kawan-kawannya untuk berpesta meramaikan hatinya hampir setiap malam walaupun pada kenyataan dia sama sekali tidak bisa menikmatinya. Hambar. Tetap dicobanya untuk tidak terpengaruh, menjalani hidupnya seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi yang terjadi kemudian, segala yang dia lakukan ternyata hanya jalan untuk menggiringnya kepada ingatan tentang lelaki itu.
Tidak pernah terjadi sebelumnya, maka dia tetap berkeras mengabaikan. Sayang, rasa rindu yang tersangkal keegoisannya, cinta yang coba disingkirkan oleh kebodohannya justru menumpuk dan semakin menumpuk. Hati dan tubuhnya memberontak. Seperti candu, kebutuhan akan lelaki yang sebenarnya dicintainya itu terus-terusan menuntutnya.
Rasa yang kuat itulah yang malam tadi mampu menggerakkan kakinya menuju suatu tempat di sudut kota. Tempat di mana lelaki itu sering mengajaknya untuk sekedar meneguk secangkir kopi atau memperhatikannya memainkan jari pada laptop.
Lelaki itu memang berada di sana, masih di deretan bangku yang sama. Menatapnya kembali setelah sekian lama membuat ada yang menyentak-nyentak hendak keluar dari dalam dadanya. Sesuatu yang seumur hidup belum pernah dirasakannya untuk seseorang. Tapi sebelum kakinya sempat melangkah menghampiri, seorang perempuan datang membawakan dua cangkir minuman dan duduk menyebelahi lelaki itu. Urunglah dia. Hanya diawasinya mereka berdua dari kejauhan, di tempatnya berdiri mematung dalam temaram lampu jalanan.
Mereka bercakap-cakap dan tertawa ceria, terlihat begitu santai dan akrab. Apakah dia terlambat? Apakah kesadaran yang menamparnya datang setelah lelaki itu bahkan melupakannya dan telah bersama perempuan lain? Secepat itukah hukuman yang datang untuknya? Ada nyeri yang muncul seketika, memaksa kedua matanya mengabur oleh air mata.
Ya, dia sudah terlambat. Tidak ada alasan untuknya menumpahkan kekecewaannya saat itu juga. Berpikir sebentar, tangannya mengusap air mata lalu menghubungi sebuah nomor dari telepon genggamnya.
Dari kejauhan, terlihat lelaki itu bimbang. Berkali-kali tatapannya berganti antara layar telepon genggam dan perempuan di sebelahnya sebelum akhirnya membuka percakapan.
Halo,” terdengar bergetar suaranya.
“Halo.
Lalu diam. Lelaki itu terlihat gelisah dalam duduknya.
Ada apakah?
“Kau di mana?”
Apa itu penting?
“Tidak.”
Diam lagi.
Aku di tempat biasa.”
Perempuan itu mendengus. Ingin bertanya dengan siapa untuk memuaskan rasa ingin tahunya, tapi rasa gengsi menahan, teralihkan rasa cemburunya.
“Jika sempat, datanglah ke rumahku kapan saja,” katanya lagi dengan ketegaran yang dibuat-buat, tapi segera dia menyadari kesalahan dalam kalimatnya, “Maksudku, aku ingin mengembalikan cincin itu.”
Lelaki itu diam menyandarkan tubuhnya ke belakang. Gerak-geriknya jelas terlihat dari tempatnya berdiri.
“Kenapa diam?”
Aku pikir kau meneleponku sekarang karena mau memilikinya.”
“Aku tidak mau menikah.”
Bukan. Tidak ada lagi hubungannya dengan pernikahan. Itu untukmu.
“Aku tidak mau.”
Diam lagi.
“Ambillah kapan saja kau mau.”
Baiklah.”
Percakapan ditutup. Seperti untuk terakhir kali, dipandanginya lelaki itu sepuasnya sebelum berbalik pergi. Air matanya tidak juga berhenti mengalir sejak itu hingga kini, saat dia berani melepaskannya dengan menangis di sudut kamar.
Kini dia merasa benar-benar sendiri seperti kapal yang hanyut dalam lautan luas yang maha sunyi. Dia memang tidak mampu lagi menahan perasaan, tapi keadaan justru membuatnya tetap harus sembunyi. Dalam seketika, seakan-akan bertahun kehidupannya jadi percuma dan tak ada artinya.
Dini hari yang sama, di tempat lelaki itu berada, lampu-lampu telah hampir padam seluruhnya, tapi dia seperti enggan beranjak pulang.
“Ayolah,” kata perempuan di sampingnya. “Kau pikir aku tidak mengantuk? Ceritamu menarik, tapi dia tidak akan pernah datang. Percaya saja padaku.”
Lelaki itu tertawa dan mengacak-acak rambut perempuan itu.
“Tahu apa kau? Terinspirasi dokter sialan yang tidak bisa bersama kita di sini?”
“Dia sibuk, ada operasi mendadak dan jelas-jelas bukan sialan,“ jawab perempuan itu meleletkan lidah. “Daripada perempuanmu itu, sekalinya menelepon, hanya memintamu datang mengambil kembali cincin pemberian yang sudah sempat dipakainya berminggu-minggu. Perempuan seperti apa dia, ya? Alasanmu untuk menyembunyikan dan tidak memperkenalkannya pada kami selama ini benar-benar aneh. Siapa tahu semua hanya karanganmu saja. Sebenarnya kau tidak pernah punya kekasih.
“Kau benar. Jadi, siapa yang sialan sebenarnya?”
“Mereka berdua! Si dokter dan perempuanmu itu! Yang satu karena tidak menepati janji, satunya lagi karena menolak dan hanya menyuruhmu datang mengambil cincin!”
Mereka tertawa lagi. Sebenarnyalah, sesekali lelaki itu masih bisa membaui aroma tubuh perempuan kecintaannya seperti dia pun ada di ruangan itu bersama mereka saat itu. Bahkan di manapun. Selalu, setiap waktu. Itu sebabnya hampir setiap malam dia menunggu di sana, berharap perempuan itu akan datang menemuinya.
Angin berhembus membawa dingin saat mereka berdua keluar tepat sebelum pintu geser benar-benar diturunkan. Dan tentu saja, kesunyian melanda hatinya seketika.

Cigugur, 16 Februari 2012

2 komentar:

Anonim mengatakan...

inyong dadi kepengin kusplesan, sing kroncong kae..
"lihatlah di jari manisku, cincin melingkar selalu.."

Unknown mengatakan...

cukup menarik ceritanya om,, jangan lupa kunjungi blog saya di
Cakep Cakep Sakti
Pantai sawarna
Jerawat Komedo

Posting Komentar