- Sebuah Cerpenisasi lagu Iwan Fals: "Rindu Tebal" -
Saya menjatuhkan pantat di kursi terujung gerbong
terakhir kereta ekonomi jurusan Cilacap - Surabaya saat kereta
bergerak dengan sentakan awal yang kasar. Seorang lelaki
yang hendak menempati kursi di hadapan saya sedikit kehilangan keseimbangan,
hampir jatuh kalau saja pantatnya tak terantuk lengan
kursi dan terbantu reflek
tangan saya yang menahan punggungnya dari belakang. Ternyata tangannya tak
bebas karena menggandeng seorang anak lelaki sekira berumur 5 tahun yang
kemudian dibimbingnya lebih dulu untuk duduk lalu setelah mengucapkan terima
kasih dan tersenyum kepada saya, dia meletakkan ransel di
lantai gerbong lalu mendorongnya
masuk ke kolong.
Senang saya memperhatikan mata anak yang kini duduk di
hadapan saya itu. Bulat, besar, terang dan kesan berani terpancar dari sana.
Tanpa rasa sungkan dia membalas
tatapan saya. Lelaki itu, mungkin ayahnya, kemudian duduk di sampingnya dan memberinya susu kotak.
“Anaknya, Mas?” Lelaki itu tersenyum dan mengangguk
menjawab
pertanyaan saya.
“Mau kemana?” tanya saya lagi.
“Solo.”
Hanya
sebentar, kereta yang berjalan
sangat pelan berhenti tiba-tiba dengan sentakan yang sama seperti saat awal bergerak.
“Kok berhenti, Yah?” terdengar anak itu.
“Mau disambung dulu keretanya,” jawab lelaki itu singkat,
lalu menoleh lagi pada saya, “Mas-nya mau kemana?”
Saya tersenyum. Entahlah, jika pertanyaan
itu ditujukan kepada saya, jadi seperti
sebuah pertanyaan yang aneh karena tak pernah bisa saya jawab dengan pasti.
Sudah delapan tahun berlalu sejak saya meninggalkan
kampung halaman. Selama itu tak pernah saya miliki keberanian untuk pulang.
Selalu saja ada yang menyentak dan menahan rindu pada tempatnya, membiarkannya
semakin tebal tanpa pernah terlampiaskan.
Saya tak pernah lupa hari itu, hari di mana Bapak
mengusir saya dari rumah demi harga diri keluarga. Saya pun punya harga diri
biarpun setiap tangan menuding saya sebagai anak nakal yang tak tahu diri.
Bukankah disebut nakal, jika seorang anak seperti saya dahulu
telah berani mencuri seekor kambing? Tapi bagaimanapun
saya tetap tak mau terima dibilang tak tahu diri, karena toh apa yang saya
lakukan hanyalah demi keluarga.
“Bapak kecewa dan malu,” teringat saya akan kata-kata
pembukaan Bapak waktu itu sementara saya hanya bisa menunduk, sudah hampir
menangis.
“Tak peduli semua alasanmu. Bagi Bapak, lebih baik keluarga kita susah sampai mati
daripada .........” kalimat Bapak terhenti. Satu kata ‘mencuri’ sepertinya
berat dan sangat menyakiti hatinya untuk sekedar diucapkan. Pastilah hatinya
itu terluka. Dia, seorang
alim yang di sela-sela kerja kerasnya menjadi buruh penggarap
sawah orang lain, juga memanjat pohon-pohon
kelapa untuk mengumpulkan tetes-tetes nira dari manggar-manggar yang
dikutunginya, tapi masih
menyempatkan waktu untuk mengajar anak-anak mengaji di langgar justru
menghadapi kenyataan bahwa seorang anaknya tega mencorengkan arang hitam di
dahinya.
Tak ada kata-kata berlebihan setelahnya, menunjukkan
perangainya yang halus, tapi dia memberikan dua pilihan yang sulit:
pergi atau malu. Dan saya
memilih pergi, justru karena tak ingin seluruh keluarga menjadi lebih malu
lagi, sama seperti ketika saya memutuskan untuk mengambil seekor kambing yang
tengah digembalakan di sawah.
Sumpah,
jika bisa, saya benar-benar
ingin memutar lagi waktu sampai ke siang di musim kemarau itu, saat saya
bertemu dengan bocah penggembala kambing-kambing milik Pak
Haji. Lalu hanya
berbicara dengannya. Hanya berbicara
dengannya hingga sore,
tanpa terjadi apa-apa.
Waktu
itu, tanpa sengaja saya melihat
bocah itu sedang duduk di bawah naungan rimbun pohon waru sambil bermain-main
dengan sebatang kayu yang dipukul-pukulkannya ke akar pohon. Mulutnya
bernyanyi, yang akhirnya jadi penyesalan saya, bahwa karena nyanyiannya itulah
saya tertarik untuk duduk menyebelahinya.
“Tambah terus kambingnya,” kata saya basa-basi. Saya
memang tak terlalu mengenalnya karena Pak Haji memang sengaja mengupah penggembala dari desa tetangga.
“Jelas, ‘kan rajin beranak,” sahutnya nyengir, “Tuh, yang
itu juga lagi bunting.” Saya melihat ke arah yang ditunjuknya. Seekor kambing
betina yang terlihat besar perutnya. Setidaknya kambing Pak Haji pasti akan bertambah dua ekor
dalam beberapa minggu lagi, pikir saya.
“Kalau dijual, berapa harganya kambing paling besar?”
“Nggak tahu. Mungkin 500 ribu dapat.”
Saya mengangguk-angguk. 500 ribu. Pendapatan Bapak
sebulan dari mengerjakan sawah orang dan mengumpulkan nira belum tentu sampai setengahnya. Apalagi harga kebutuhan
sehari-hari makin mencapai langit. Beberapa kali saya mendengar Emak mengeluh
kepada Bapak, karena hutang di warung menumpuk dan lama kelamaan sang pemilik
warung terkesan tak ikhlas untuk mengijinkannya berhutang dulu.
Karena sering untuk melunasinya,
harus menunggu cukup lama.
Tengah
kami bercakap-cakap, dua ekor kambing
muda jantan kemudian saya
lihat saling beradu karena ikatan mereka rupanya terlalu berdekatan. Yang seekor sepertinya sangat ketakutan
sehingga membuat gerakan mendadak untuk menghindar hingga ikatan pada patok
yang ditancapkan terlepas. Kambing itu lolos dan mengembik-ngembik berlari jauh
menerobos pagar bambu batas kebun pinggir sawah.
Bocah penggembala itu sontak melompat dari
duduknya, berusaha mengejar
kambing nakal itu. Kakinya mencoba menginjak ujung tali tambang
yang masih terlihat, tapi tak kena.
Kelihatan geram, bocah itu lalu mengambil jalan memutar karena celah pagar
bambu ternyata tak bisa dilewatinya. Saya sendiri tak ingat lagi kejadian
setelahnya. Hanya
sebuah keinginan tiba-tiba seperti menguasai saya. Entahlah, saya lebih condong pada sebuah pilihan untuk mengambil kambing bunting yang kami
bicarakan tadi untuk mendapat uang daripada pulang dan mengerjakan sesuatu yang lain yang
mungkin memberi perbedaan pada cerita hidup saya setelahnya. Itulah yang terjadi,
kambing bunting
itu saya lepaskan tali pengikatnya dan menariknya paksa sebelum bocah
penggembala itu kembali.
Tentu saja tak semudah yang saya inginkan
untuk mendapat 500 ribu dari menjual kambing bunting itu. Siapa yang akan membelinya? Itu sama
sekali tak terlintas dalam pikiran sebelumnya. Jadilah saya hanya kebingungan membawa kambing itu
kesana kemari sampai hari menjelang sore. Untuk menjualnya, saya bingung kepada siapa. Membawanya begitu saja, orang lama-lama pasti curiga. Baru saya sadari setelah bejalan
jauh tanpa tujuan bahwa apa yang telah
saya lakukan adalah sebuah kebodohan. Masih jelas dalam ingatan, saya menawarkan kambing itu
kepada siapapun yang saya temui di jalan. Kebanyakan
mereka mengernyitkan dahi, tapi tak
lantas menuduh saya sebagai pencuri. Kenekatan saya menghela seekor kambing bunting di siang bolong begitu membuat
mereka tak bercuriga, sepertinya.
Lelah, saya beristirahat hingga tertidur di pinggir jalan, bersandar pada
pokok randu. Kambing saya biarkan
merumput tak jauh dari sana.
Sepertinya saya tak begitu lama tertidur, sampai
seseorang menendang ujung kaki saya.
“Bangun!” bentaknya dengan suara keras
disusul
sebuah tamparan sendal jepit di
pipi saya yang membuat
saya gelagapan.
“Dasar maling!” bentak seseorang yang lain,
lalu kuping saya kena dijewer. Ternyata Pak Haji pemilik
kambing dan anaknya menemukan saya. Saat terpikirkan tentang kambing itu,
justru saya lihat bocah gembala yang kecolongan sedang membuka ikatan tali
kambing. Wajahnya kelihatan tak senang melihat saya.
“Untung belum dijual,” gerutu anak Pak Haji sambil memakai
kembali sendal jepitnya sementara ayahnya memegang tangan saya erat-erat seperti takut akan
melarikan diri.
“Hayo.. aku laporkan dulu kamu ke bapakmu!” katanya
sengit.
“Nggak ke polisi aja, Pak Haji?” bocah gembala itu
nimbrung.
“Biar bapaknya saja yang menghukumnya,” jawab Pak Haji. Lalu saya yang ketakutan mereka dudukkan di bagian depan mobil pikep untuk
dibawa pulang ke rumah.
Sesampai di rumah, awalnya Bapak tak mau percaya dengan
cerita Pak Haji. Tapi karena saya tak menyangkal, tak ada lain yang dilakukan
Bapak kecuali memintakan maaf untuk saya.
“Maafkan anak saya ini, Pak Haji,” kata Bapak. Dalam
suaranya terkandung rasa malu yang besar, juga kecewa yang saya rasa jika
diderita oleh orang yang lemah jiwanya, akan membuatnya pingsan seketika.
“Kamu harus mendidik anak lebih baik lagi,” kata Pak Haji pada Bapak. “Remaja seperti anakmu ini
memang lagi semangat-semangatnya ingin mencoba apapun. Seperti daun kering,
jika angin lembut dia tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Tapi jika angin
kencang, dia bisa terbang dan hilang. Aku tak akan
melaporkannya. Toh, tak ada kerugian buatku. Tapi sebaiknya ini bisa dijadikan
peringatan.”
Bapak membungkuk-bungkuk sambil
mengucapkan maaf kepada Pak Haji, lalu memandangi saya antara sayang, kecewa, malu dan marah menjadi satu. Masih
saya ingat tatapan matanya itu, seperti selalu jadi ornamen dalam setiap
mimpi-mimpi saya kemudian. Lalu dibuatnyalah dua pilihan itu untuk saya.
Saya harus pergi, justru karena saya punya sikap. Penyesalan
dan rasa malu tak akan terobati dengan hanya bertahan dan jadi tertawaan orang.
Rindu yang saya punya memanglah selalu
mendera hingga kini,
tapi hanya sering saya anggap bukan
sewajarnya. Ada rasa selalu
ingin kembali pulang, tapi saya ragu.
Mungkinkah Bapak mau menerima?
*****
Anak kecil di depan saya kelihatan senang sekali ketika
kereta hanya maju dan mundur sebelum gerbong terakhir, gerbong di mana kami
duduk, tersambung dengan gerbong ekonomi yang datang dari arah Purwokerto.
“Senang ya, Dek?” tanya saya ramah. Dia mengangguk, tapi
kemudian merayu ayahnya untuk membawanya melihat sambungan gerbong. Ayahnya
tentu saja menolak karena sebentar lagi kereta sudah akan berangkat. Suasana
pun mulai ramai. Gerbong ini tadinya
memang sepi, tetapi begitu telah tersambung, banyak orang yang awalnya berada
di gerbong yang datang dari Purwokerto berpindah ke gerbong kami. Belum lagi
penjual-penjual asongan yang ulang-alik menawarkan dagangannya.
Ketika peluit petugas stasiun terdengar
dan kereta mulai bergetar lalu bergerak perlahan-lahan, saya bangkit. Lelaki di
depan bertanya heran, “Mau kemana, Mas? Nanti tempatnya diambil orang.”
Saya hanya tersenyum, mengedipkan mata kepada anak itu
lalu sedikit berlari mencapai pintu gerbong untuk meloncat sebelum kereta
berjalan semakin cepat.
Panas matahari seperti membakar ubun-ubun ketika saya berjalan
menyisiri rel, kembali ke stasiun. Lagi-lagi saya teringat keberanian saya yang masih
terlalu tipis untuk pulang. Jika pun bukan keberanian, pastilah itu
rasa enggan. Biarlah, dengan selalu duduk di gerbong
akhir kereta yang sedang langsir, suatu waktu nanti mungkin saya akan
memutuskan untuk tak turun ketika kereta mulai benar-benar
berangkat. Itulah waktu yang tepat untuk pulang. Tapi
tidak hari ini.
“Nggak jadi pulang lagi? Hidup kok hanya diisi dengan
melamun, nggak akan sukses!” kata kawan saya mengejek
saat saya kembali menemuinya di tempat parkir. Wajahnya yang merah hitam keseringan terbakar matahari
Kroya bertambah menyebalkan di mata saya.
“Urus dirimu sendiri! Mandi aja nggak pernah, apa iya bisa sukses juga?” balas saya.
Dia tertawa. Diacungkannya gitar yang dari tadi
tergantung dibahunya. Saya menerimanya. Tangan saya lalu merogoh saku belakang
jins butut saya dan menyerahkan apa yang ada di sana. Dia ngakak, tapi saya
hanya mengibaskan tangan di depan wajahnya dan berlalu.
“Berapa isinya?” dia bertanya.
“Nggak tahu! Hitung aja sendiri!” kata saya tanpa membalikkan badan. Saya memang belum
memeriksa isi dompet yang saya curi diam-diam itu, dompet
milik lelaki yang bersama anaknya tadi.
“Kalau kurang dari dua ratus ribu, gitar itu belum lunas
lho, ya!” teriaknya.
Saya tak peduli.
Cigugur, 10 Maret 2012
0 komentar:
Posting Komentar