cerpenisasi puisi
Naim Ali, “Perawat Jenazah -
: untuk Bu Zuh, juga semua ibu
/1/
dia perempuan.
dia perempuan.
urai panjang rambutnya selamanya menghitam malam, sepasang matanya bertoreh
baskara, tangan kanan menggenggam fajar yang kiri menadah ranah buritan.
kakinya mengayun angin di atas dipan -dinikmati itu seumpama candu- dan bila
waktunya datang, ia langkahkan kemana berjalan.
kini jalannya melesat tak terhambat: baginya cuma satu, cabang dan ranting
itu semu; maju. katanya kematian tak jemu menunggu.
Suara-suara memanggil
namanya sayup sampai di telinga Tugirah, meninggi dan melambat berganti-ganti
lalu seperti merambat dalam air dan menggelitik cuping telinga. Bebunyian yang
bertahun-tahun dia kenali melebihi pengenalannya akan jumlah usia yang selalu
lalai dihitungnya. Sebentar lagi pasti ada yang datang, pikirnya. Dia bangkit,
dipan kayu berderit.
“Sudah waktunya. Tapi
aku bersumpah, ini yang terakhir,” dia berkata pada refleksi diri yang memantul
sehadap cermin. Rambut panjangnya di sisir lalu digelung.
Seorang sepertinya tidak
membutuhkan citra, hanya ketulusan, dia bergumam. Satu-satu, perhiasan yang ada
pada tubuhnya terlepas: kalung, anting, gelang dan cincin. Perhiasan toh cuma
pemanis belaka, tak dibawa mati. Maka tidak patutlah itu bersinggungan dengan
orang mati. Hanya perasaan jangan sampai mati.
Diambilnya air wudhu.
Tubuhku memang masih hidup, karenanya harus pula suci, kata hatinya ketika
dingin air padasan mencapai ujung sikunya. Tak didengarnya ketukan di pintu yang
memanggil-manggil namanya. Tapi ketika anak tertuanya pergi membukakan pintu,
dia telah selesai sama sekali dalam bersiap. Dapat didengarnya orang yang
datang dan kini telah duduk di kursi ruang tamu itu berkata:
“Pamularsih dan
anaknya.”
*****
/2/
bila saja mampu, bukan pada alam ini nyawanya berdiri.
ia lebih tenang jika menyanding matahari dalam kisar galaksi. sebab ia bisa
merajuk dayagunanya agar planet dan bintang mungil itu berpijar wajar atau
melebur gentar. selaik keindahan tanpa rintih yang menyuara gelegar, begitu
tenang dan tenteram.
apalah daya, tetap saja ia kumpulan debu dengan senyawa yang juga diburu.
ia bersaksi itu tiap kali akan menggerutu.
Sampai di rumah yang
sepi pelayat itu, Tugirah bergerak cepat. Dipintanya beberapa orang
membentangkan kain jarit sepanjang yang ada, sebanyak yang ada untuk membunikan
pekerjaan yang dilakukan pada mayit. Kali ini ada dua dan seperti yang lalu,
hatinya masih saja bergetar. Kematian selalu mendirikan bulu roma. Selalu ada
cerita di baliknya, setidaknya sebuah ikhtisar hidup dan lonceng tanda bersiap-siap
bagi yang hidup. Seperti dia, kematian baginya adalah agung hingga tak dapat
lagi dibedakannya antara mayit-mayit dengan buah hatinya. Mayit adalah
anak-anaknya juga dalam satu perbandingan tanpa kesenjangan. Karena jika telah
sampai tangannya yang gemetar menyentuh bagian tubuh mereka yang beku, dia selalu
dapat merasakan sensasi yang mendesak rahimnya, bagai menjelang sebuah
kelahiran.
Dia mencintai mereka
seperti orang-orang tamak mencintai mestika.
“Siapa denganku?”
tanyanya. Seseorang di luar naungan kain-kain jarit yang dibentangkan memutar
pada tiang-tiang bambu secara darurat menjawab dan menyebut nama dua orang. Dua
orang yang baru disebut memang beberapa menit kemudian masuk. Tugirah mengenal
mereka.
Salah satu dari
mereka, yang lebih tua, menyapa basa-basi. Di matanya Tugirah tidak menemukan
keikhlasan, hanya pandangan enggan dan jijik. Pada yang seorang lagi pun
demikian. Terlihat sinar mata itu meredup dan bergerak-gerak aneh mencari obyek
yang lain selain mayit si janda kembang dan anaknya itu. Tugirah mafhum. Dia
toh hanya butuh saksi.
*****
/3/
dipersiapkan berlapis gelombang putih untuk dilaraskan. ruah bening dari berbagai mata air dikumpulkan serta digenangi penggal-penggal dunia selebar kelor. tak luput wewangi alam yang bernafas dihimpun sampai nanti dihembus salam.
beruntun, kepada sebujur jasad, ia kabungkan kesemua lapis gelombang itu
setelah tetumpah mata air dibasuhkan dan ditiupi salam wangi. sesungguhnya ia
tahu, berkali ia menyaksi nyawa mengambang di sela berkasih dan bersayang
dibalutkan.
Ada yang harus
dibasuh, pikirnya, tak hanya sekedar tubuh yang meriah dengan lebam mayit, tapi
bau yang meriap. Diucapkanlah doa, lalu minyak wangi pada buli-buli dituangkan.
Tubuh diam Pamularsih dan anaknya yang baru berusia dua tahun itu dijejerkannya
dalam satu barisan rapat. Kata orang yang memanggilnya tadi, mayat mereka
berdua ditemukan tadi pagi setelah hilang sejak kemarin sore.
Diliriknya kedua
orang yang bersamanya. Saat itulah tangan mayit Pamularsih mencengkeram ujung lengan
bajunya.
“Selalu yang punya
rahasia. Apa yang hendak kau sampaikan, Nduk?”
tanya Tugirah. Selalu begini. Apakah karena mayit-mayit yang berada dalam
urusannya adalah juga anak-anaknya? Benarkah begitu hingga semua rahasia mereka
akan diadukan kepadanya?
Dia melirik kembali
kembali kedua orang yang bersamanya. Mereka tengah sibuk mempersiapkan beberapa
kebutuhan lain sekaligus memasukkan dan mengeluarkan beberapa yang telah tak
digunakan atau yang akan digunakan dengan orang-orang di luar bentangan kain-kain
jarit.
Pamularsih berkata
memelas, “Nyawaku belum sampai tempatnya, Bu.”
“Lha, kok bisa?”
tanya Tugirah. Dimiringkannya mayit ke arah kiri, salah satu dari dua orang
yang bersamanya tanggap untuk memercikkan kembali air dari wadahnya. Kening
orang itu terlihat berkerut keheranan.
“Bu, “ panggilnya
ragu-ragu. Tugirah menggeleng dan memberi isyarat padanya untuk diam saja.
“Sebenarnya aku belum
mau mati,” kata Pamularsih saat Tugirah menggosok punggungnya dengan lembut.
Sentuhan kasih seorang ibu kepada anak tercinta.
“Tapi sudah terjadi,”
kata Tugirah seperti bergumam saja.
“Dia mengajak kami
berdua. Katanya akan dibawa minggat diam-diam. Ternyata, belum juga keluar dari
jalanan desa ini, dia khianat. Ada anaknya dalam rahimku ini, Bu.”
Tugirah diam. Sudah
banyak diketahuinya dari seluruh kematian yang pernah dia temui dan dia tidak
ingin menambahnya lagi, sebenarnya. Dia sudah terbiasa mendapati kenyataan yang
sebenarnya dari berbagai rahasia tanpa mampu untuk membuat suatu akhiran yang
dapat mengubah. Dia tidak punya kemampuan untuk itu. Dia hanya mampu memberikan
keseluruhan yang dia mampu untuk menyucikan mayit, bukan menjadi penuntut atau
bahkan seorang hakim.
Mayit Pamularsih dan
anaknya memanglah dia agungkan benar-benar. Dibuatnya mereka laksana
patung-patung pualam yang lolos dari cela dan melimpah dengan kasih sayang
darinya karena mayit-mayit itu adalah juga anak-anaknya, buah hatinya. Boleh
jadi di kehidupan dunia nama mereka telah tidak tercatat, tapi Tugirah adalah
orang yang percaya bahwa kesucian jasad adalah kunci pertama menghadapi siksa
kubur.
“Bu Tugirah ingin
tahu siapa dia?” tanya Pamularsih ketika tubuhnya telah tertutup kain kafan
sepenuhnya. Tugirah menggeleng.
Kedua tangannya
terangkat. Berdoa.
*****
/4/
barangkali tak ubahnya seorang musafir. setelah lelah menempuh safar; mengikuti kaki hilir dan memutar badan, ia bujur keseluruh tubuh tanpa mengacuh kiri kanan. yakin ia sudah kumuh. apa peduli dengan selembar tanah yang baru ia gelar. merebah saja dan segala pemandangan dipejam.
Suara-suara itu sayup sampai kembali di telinga Tugirah. Dia bergeming. Dia
merasa cukup dan enggan, pun telah bersumpah bahwa kemarin adalah yang terakhir
buatnya. Dia merasa
sudah cukup mulia dan tak ingin rakus menelannya seorang diri. Toh akan muncul
orang selain dirinya, yang lebih fasih dari sekedar membasuh dan menyucikan
mayit, yang mempunyai kemampuan lebih untuk mendengar dan mengerti
isyarat-isyarat yang ditunjukkan, rahasia-rahasia sebalik kematian. Semoga.
Ketukan-ketukan di
pintu rumah tak digubrisnya. Dia tahu, anaknyalah yang akan menemui dia,
siapapun yang datang ke rumahnya. Tapi memang suara-suara di kupingnya masih
saja memanggil-manggil, dia tidak tahu sampai kapan. Mungkin sampai dia mati.
Cukup, bisiknya. Lalu dengan ketenangan yang
luar biasa dia merebahkan dirinya pada dipan kayu di pojok kamar, menghadap
tepat kepada jendela yang terbuka. Keseluruhan indera dia padamkan.
Di depan pintu, anak
tertua Tugirah menghadapi tamunya.
“Ada lagi yang
meninggal?” tanyanya.
Cigugur, 12 November
2011
0 komentar:
Posting Komentar