....
Aku mencintai lautan dan ingin berlayar kemanapun. Aku tahu suatu saat ia
akan surut dan aku akan terpecah gelombang. Saat itu aku telah penuh, jiwaku
telah sesak.
Bintang-bintang akan mengiringiku dengan kebesaran hati dan kesabaran
menujumu, ke tempat kau berdiri menanti merentangkan tangan membasuh
keringatku.
....
“Hana?” terdengar
seruan keheranan dari balik pintu rumah itu sebelum terdengar pula suara kunci yang diputar dengan tergesa-gesa.
Ketika kemudian pintu itu terbuka, lebih nampak lagi keheranan itu di wajah
Bram.
“Hana?” serunya lagi seperti
tidak percaya.
“Ya,” jawab Hana sambil
menjatuhkan tasnya ke lantai. Matanya memandang lekat ke mata Bram, mencoba
mencari sesuatu di sana, tapi entah apa dia pun tak mengerti. Terlalu biasa.
“Jadi …” Bram berkata
ragu-ragu, “Apa maksudnya ini?”
“Tidak ada maksud apa-apa. Aku
hanya ingin meyakinkan diriku sendiri.”
“Hmm ... meyakinkan dirimu
sendiri tentang?”
“Kau tak perlu tahu,” jawab
Hana sambil meraih lagi tasnya ke dalam tangannya, “Jadi, kau mau menampungku
untuk malam ini?”
Terlihat berkerut dahi Bram,
tapi sebentar saja sebelum terbitlah terang di air mukanya dengan imbuhan
senyum lebar yang nakal.
”Masuklah!”
Beberapa menit kemudian mereka
telah duduk berdua di atas sofa besar di ruang tamu rumah Bram yang harus
diakui Hana sangat nyaman, tidak kalah dengan miliknya dan Bi, suaminya.
“Bagaimana kabar Bintoro?”
tanya Bram setelah lama memandangi Hana yang kelihatan masih mengamati isi
rumahnya daripada memperdulikan si pemilik rumah.
“Baik,” jawab Hana seperti
acuh, walaupun sebenarnya hatinya tergetar mendengar nama itu. Dia hanya
terdiam untuk menghalau beberapa perasaan yang menghampiri. Sungguh ia merasa
bersalah telah mendatangi tempat ini untuk menjumpai Bram. Tapi dia hanya ingin
meyakinkan dirinya akan sesuatu …
“Bagaimana bisa sampai
kemari?” tanya Bram lagi. Dia masih merasa ada keanehan pada diri Hana yang tak
bisa dimengertinya. Aneh, seorang perempuan bersuami seperti Hana masih mau
mencarinya, bekas kekasihnya, bahkan yang telah menyakiti hatinya dan
mencorengkan tinta hitam pada kehormatan keluarganya.
“Pagar rumahmu tidak kau
kunci,” jawab Hana.
“Aduh, bukan itu maksudku … apa
tujuanmu kemari?”
“Seperti yang aku bilang tadi,
Bram, aku ingin meyakinkan diriku sendiri.”
Bram terdiam, seperti berpikir
dan pikiran pertama yang singgah di kepalanya langsung diungkapkannya dengan
ekspresi yang nakal:
“Kau lari dari Bintoro, ya?”
“Kenapa kau berpikiran seperti
itu?”
“Bagaimana tidak?” dia balas
bertanya, “Seorang perempuan bersuami, sepagi ini muncul dengan tiba-tiba di
depan pintu rumah bekas pacarnya, membawa tas besar dan berniat untuk
menginap … apa lagi kalau bukan sedang mencoba berlari dari suaminya? Tapi
jujurlah, kenapa kau memilih untuk lari ke rumahku? Apa sejak dulu kau memang
tidak pernah bisa melupakan aku? Haha ...Bram, Bram ... nasibmu baik sekali, kucing
yang hilang sekarang kembali!”
Hana hanya diam, bibirnya
menyunggingkan senyum yang geli tapi sinis.
“Silahkan saja kau dengan
pikiran kotormu itu,” katanya kemudian. Bram tertawa.
“Aku yakin kau masih mencintai
aku. Eh, suamimu tidak akan mencarimu kemari, kan? Kalau dia menanyaiku, aku
harus bilang apa? Ya, ya ... dia 300 kilo dari sini, tapi bukan berarti dia tidak
akan menyusul istri tercinta. Lalu jika dia tidak datang, ayahmu pasti …”
“Ayahku meninggal dua minggu
yang lalu.”
Bram terkejut. Senyum nakalnya
menghilang.
“Uh, maaf, aku tidak tahu,”
gumamnya.
“Tidak apa-apa. Justru dengan
tidak adanya ayah aku merasa hilang beban,” kata Hana. Tapi sedetik kemudian
dia menjadi ragu, benarkah setelah ayahnya tiada ia menjadi hilang beban? Beban
apa, diapun tak mengerti. Dosanyakah?
Ayahnya memperkenalkannya pada
Bi saat Bram mencampakkannya untuk perempuan yang lain. Huh, seorang pemain
cinta seperti dia mudah saja beralih ke perempuan lain setelah mendapatkan
segala-galanya darinya. Meninggalkan dia dan hatinya yang seperti jatuh dari
ketinggian ke dalam lumpur kehinaan.
Bi muncul di saat yang tepat
untuknya, sebenarnya. Tapi dia punya hati yang terlampau tinggi untuk dapat
diraih dan terbuka begitu saja. Apalagi dengan luka di hati dan wajah yang
tercoreng lumpur kotor. Juga perasaan berdosanya …
“Jangan nyatakan cinta, Bi.
Kau pun tahu, aku belum bisa melupakan Bram, cinta dan rasa sakit yang
ditinggalkannya,” kata Hana waktu itu, waktu Bi menyatakan cintanya.
“Kelak kau akan mencintaiku,”
kata Bi dengan yakin. Senyumnya yang jenaka mengembang, cerah seperti matahari
terbit di mata Hana. Tapi Hana hanya membalasnya dengan senyum dingin dan
sinis.
“Kau kenal Bram, bukan?”
“Tentu saja.”
“Dan kaupun tahu sudah berapa
perempuan yang ditidurinya?” tanya Hana nekat.
“Selain kau, rasanya aku tidak
tahu yang lainnya lagi.”
“Bi!” jerit Hana. Hampir saja
dia menangis karena merasa tersinggung dengan jawaban Bi yang sangat enteng
itu. Satu hal yang dicatatnya, dengan Bi, entah kenapa dia sangat mudah
menangis.
“Jadi kenapa jika Bram suka
tidur dengan banyak perempuan? Aku pun tidak kalah sering. Aku pernah tidur
dengan ibuku, nenekku …”
“Bi!” jerit Hana lagi. Air
matanya sudah mengambang tinggal menunggu terlepas dari pelupuk matanya tapi
tenggorokannya tercekat karena hatinya hampir tertawa mendengar kata-kata Bi.
Ya, menangis sambil tertawa. Catatan kedua baginya, entah kenapa pula, dengan
Bi dia sangat mudah tertawa.
“Tapi kau tidak sampai
menghamili ibu dan nenekmu!” katanya ketus. Hana kemudian membalikkan badannya
untuk menyembunyikan perasaannya. Bi hanya tersenyum.
“Jadi karenanya kau merasa
tidak pantas dicintai?”
“Tolonglah ... tidak usah
nyatakan cinta.”
”Baiklah, aku mengerti.”
Betapa jahatnya dirinya, Hana
pun tidak mengerti. Tidak ada yang salah dengan Bi. Dia sebaik-baiknya lelaki
yang bisa dijumpai di bumi. Setelah menjadi suaminya pun, dia adalah
sebaik-baiknya suami yang bisa dijumpai di bumi. Tapi kenapa hatinya selalu
menolak untuk menerima kenyataan itu? Benarkah karena rasa cintanya kepada
Bram, ataukah karena dia merasa tidak pantas untuk Bi?
Kenyataan bahwa dia sangat
mencintai Bram sebelum kemudian dicampakkan dengan menyakitkan sungguh tidak
bisa tidak menghantui hatinya yang secara langsung berpengaruh dengan
kehidupannya setelah itu. Sebenarnya dia tahu, ada
sedikit cinta untuk Bi entah di kedalaman yang mana dari hatinya sendiri, tapi
perasaan cinta dan sakit hati kepada Bram seolah-olah menyembunyikannya semakin
dalam. Toh dia tidak menolak ketika Bi memintanya kepada ayahnya. Diapun tidak
membantah ayahnya yang memang menyukai Bi bukan hanya karena Bi adalah bekas
mahasiswanya dulu -yang terbaik, kata ayahnya selalu- atau kenyataan bahwa Bi
adalah anak dari seorang terhormat yang dikenalnya baik tapi lebih karena sikap
dan pembawaan Bi yang santun dan berkelas.
“Bintoro 100 kali lebih baik
dari Bramantyo,” kata ayahnya dulu.
“Ya, Bi 100 kali lebih baik
dari Bram,” Hana mengiyakan ayahnya. Tidak, sebenarnya ayahnya salah. Yang
benar adalah, Bi 1000 kali lebih baik dari Bram! Betapa sulit mengakui itu
karena cinta dan sakit hati –ataukah hanya rasa rendah diri dan dosanya?-
menutupi itu.
“Jadi kau berniat untuk cerai
dan memohon untuk ... eh, kembali?” Bram bertanya ragu-ragu.
“Apa?” Hana bangkit dari
lamunannya.
“Kau ... eh, berniat untuk
cerai?”
“Cerai?” Hana terkejut. Kenapa
pula dia harus bercerai? Kenapa pula dia harus berada di sini?
Tidak, dia hanya ingin
meyakinkan dirinya sendiri. Dia ingin meyakinkan cintanya walaupun dengan cara
yang ekstrim dan beresiko seperti ini.
“Kalian sering bertengkar, ya?
Apa dia sama buruknya dengan aku?” tanya Bram yang dilanjutkannya dengan tawa
lepas, seolah-olah apa yang dikatakannya itu sangat-sangat menyenangkan
hatinya.
“Diam, kau!” desis Hana.
Naiklah darahnya mendengar suaminya diperbandingkan dengan Bram sendiri. Bram
malah tertawa semakin keras.
“Kau tidak ada seujung kuku
dibandingkan dia,” kata Hana kemudian dengan bibir mencibir setelah tawa Bram
mereda.
“Lalu kenapa kau sampai ingin
cerai dari dia dan minggat kemari?”
“Aku tidak bilang ingin cerai.
Aku hanya ingin mencari sesuatu di sini.”
“Sesuatu, ya?” Bram
tersenyum-senyum,” Cari saja sampai ketemu, aku tidak bisa membantu karena aku
harus mandi dan siap-siap. Kalau tidak keberatan, tolong ke dapur dan siapkan
sarapan untuk kita berdua.”
Bram lalu bangkit dan berjalan
meninggalkan Hana yang hanya terdiam sambil memejamkan mata dan bersandar bahu
ke belakang. Sampai di bawah tangga dia berbalik.
“Kalau kau ingin istirahat,
pakai kamar manapun yang kau suka, tapi sebagai tuan rumah yang santun aku
menyarankan lebih baik kau di kamarku saja,” katanya sambil mengerling nakal
tapi Hana tak melihatnya karena dia sudah membaringkan tubuhnya di atas sofa
empuk itu. Bram hanya mengangkat bahunya dan berjalan ke atas.
Betapa lelah tubuh Hana
setelah perjalanan semalam. Kali ini dia kembali ke kotanya lagi setelah 2
minggu yang lalu menguburkan ayahnya. Kini dia datang lagi tapi tidak hendak
pulang ke rumah ibunya. Dia hanya ingin di sini.
“Kemana?” semalam Bi bertanya
saat melihatnya berkemas-kemas. Hana diam saja. Dia tidak ingin menantang wajah
suaminya yang selalu penuh pengertian itu, takut kebulatan tekadnya akan buyar.
“Hana ...”
“Aku ingin menyendiri, Bi,”
akhirnya dia menjawab. Kali ini diberanikannya untuk menatap wajah suaminya.
Mata itu ... Hana terkejut. Mata itu tidak seperti biasanya. Biarpun wajahnya
tidak menggambarkan sesuatu yang sedang menyusahkan hatinya dan mulutnya
tersenyum, mata Bi berbicara lain. Kecemerlangannya meredup. Hana sadar, sepertinya
ini adalah puncak dari kesabaran dan ketabahan Bi dan di saat itulah tiba-tiba
Hana merasa sangat takut. Aneh, dia merasa takut bahwa Bi akan melepasnya
begitu saja.
“Pergilah ...” kata Bi
akhirnya, melepasnya dengan mulut masih tersenyum yang malah membuatnya gugup
dalam keterkejutan yang tidak disangkanya. Bi melepasnya begitu saja! Terbuat
dari apakah lelaki ini? Rasa penerimaan yang besar dari Bi membuatnya semakin
tidak mengerti. Mata yang meredup itu memandang wajah Hana dan bagi Hana pandangan
semacam itu justru dirasanya seperti akan mengelupasi satu demi satu kulit dan
membelah tulang kepalanya untuk bisa mengetahui apa yang ada di otaknya secara
mendalam. Dia menggigil.
“Maafkan aku, Bi. Aku memang
butuh waktu untuk menyendiri.”
“Ya, ya ... kau butuh waktu untuk
meyakinkan dirimu sendiri, aku mengerti,” kata Bi sambil mengusap pipi
istrinya, “Pergilah.”
Ingin rasanya Hana memeluk Bi
saat itu, tapi diurungkannya. Di saat lain, di saat keangkuhannya tidak sedang
berkuasa dia akan dengan senang hati melakukannya. Tapi tidak saat itu. Yang
terjadi hanyalah air matanya yang mengucur tak terkendali dengan derasnya.
Sambil mengusap air mata itulah, Hana kemudian cepat beranjak tanpa melihat
lagi ke belakang.
Betapa jahatnya dia, Hana
menyalahkan dirinya sepajang jalan. Siapa kau, Hana? Perempuan angkuh, ya.
Perempuan tidak tahu diri, ya. Apakah setelah ini kau masih bisa berharap lagi
pada Bi jika nantinya kau kembali? Hati lelaki itu pasti hancur karenanya. Bi
pasti sangat tahu apa yang menjadi tujuannya.
Dia teringat ayahnya. Kematian
ayahnya yang membuatnya kembali terombang-ambing dengan perasaannya sendiri.
Saat di mana dia merasa mencintai Bi tapi di lain saat keangkuhannya menawarkan
sesuatu yang lain: cinta itu tidak seperti cintanya dulu kepada Bram dan bahwa
dia tidak pantas untuk Bi.
Perasaan yang tidak menentu,
cinta Bi adalah buatan ayahnya dan Bi hanyalah lelaki yang mengasihaninya, dia
adalah seorang perempuan yang tidak akan seorang lelaki manapun di dunia ini
akan menerimanya apa adanya. Penerimaannya dan cintanya yang kemudian timbul
kepada Bi pun pastilah karena perwujudan rasa terima kasihnya yang besar karena
hanya Bi sajalah lelaki yang berani mencuci lumpur dari badannya.
Selama 2 tahun perpisahannya
dengan Bram dan setahun pernikahannya dengan Bi, dia merasa bayangan-bayangan
ini selalu menghantuinya, rasa sakit yang disebabkannya ....sebenarnya dia
sendiri tidak begitu yakin, kenangannya akan Bram, adakah itu dorongan dari
perasaan cintanya atau hanya sekedar kilasan dari ingatan masa lalu yang memang
tidak akan terlupakan karena sudah terpancang paten di dalam kepalanya? Apalagi
ditambah dengan dosa mereka berdua. Sedangkan Bi ... benarkah cinta untuknya
seperti yang dianggapnya selama ini? Benarkah dia telah membuat jarak dengan
cinta yang di tawarkan Bi karena kesalahan masa lalunya membuatnya merasa tidak
pantas menerimanya?
Dia butuh untuk meyakinkan
dirinya sendiri, meyakinkan cintanya. Karena jika dia terus menerus membiarkan
ini berlarut-larut, dia akan menjadi hantu saking penasarannya dan tidak akan
pernah menjadi tenang.
Saat Bram telah selesai
berpakaian dan turun, dilihatnya Hana hanya diam tak bergerak dalam posisi yang
sama seperti tadi. Dari tempatnya berdiri dia memandangi wajah perempuan cantik
yang tertidur itu. Berbagai perasaan berkecamuk di dadanya. Hana pernah menjadi
bagian dari petualangannya, itu dia sesali. Perempuan itu sangat tidak patut
untuk menjadi salah satu dari obyek pelampiasan cintanya yang bebas, liar dan
tidak mengenal komitmen. Hana satu-satunya penyesalan di hatinya, berbeda
dengan perempuan-perempuan lain yang pernah singgah di dalam hati dan
ranjangnya.
“Sudah kubilang,” gumamnya,
“Jangan jatuh cinta padaku.”
Lalu dia menyiapkan sarapan dan menikmatinya sendiri dengan pikiran yang penuh.
*****
Hana membuka kelopak matanya,
mengerjap beberapa kali, mencoba mengumpulkan apa yang tercerai dari otaknya
akibat tidurnya. Ah, ya ... dia berada di rumah Bram. Dia, perempuan bersuami,
tertidur di rumah bekas kekasihnya!
Dia terlonjak bangkit.
Keraguan menyergap pikirannya tiba-tiba. Bagaimana jika cintanya sebenarnya
memang hanya kepada Bi? Bagaimana jika ternyata pendiriannya saat ini adalah
cerminan dari rasa rendah dirinya di hadapan Bi? Dan kini dia di sini!
Bi menangkapnya ketika ia
yakin tiada seorangpun lelaki yang bersedia menadahkan tangannya untuk
kejatuhannya. Untuk itu saja sebenarnya dia sudah lebih dari patut untuk
memberikan keseluruhan hati dan hidupnya pada Bi, tapi dia menyangkal dengan
keangkuhannya. Dia merasa dikasihani sementara dia benar-benar tidak ingin
dikasihani. Cinta yang tumbuh setelahnya pada Bi telah tercemar oleh racun dari
cinta yang disimpannya untuk Bram. Yang terjadi kemudian adalah, dia membuat
pertahanan diri yang kokoh untuk cinta Bi.
Pada awalnya dia sudah
berusaha menjauh, tapi atas kepatuhan dari seorang anak yang wajib menebus
segala kesalahan yang diperbuat dalam hidupnya dan rasa hormat atas ayahnya,
dia setuju menerima Bi.
Cinta sudah bertumbuh dan akan
berakar makin kuat ketika kemudian ayahnya meninggal 2 minggu yang lalu, kurang
dari setahun sejak pernikahannya dengan Bi. Kegoncanganlah pada batinnya. Rasa
bersalah yang dahulu, menyerangnya kembali dengan hebat. Ketakutan dan pikiran
buruk muncul pula di hatinya, setelah ayahnya tiada Bi akan memperlakukannya dengan
buruk, seburuk keadaannya dulu saat dia memperistrinya. Toh, kini pelindungnya
sudah pergi.
“Sekarang kau boleh
meninggalkan aku, Bi,” katanya pada suaminya setelah pemakaman ayahnya.
Pandangan matanya berkabut, kosong menembus mata Bi.
“Apa maksudmu?”
“Ayah sudah tidak ada, kau
boleh meninggalkan aku.”
Bi terdiam.
“Aku berterimakasih karena kau telah
membuat ayah bahagia dengan menikahiku, anak kesayangannya yang telah
membuatnya kecewa.”
“Kau hanya sedang tergoncang dan
terlalu sedih, Hana,” hibur Bi sambil mencoba merangkul dan yang langsung
ditepiskan oleh Hana. Mata berkaca-kaca itu menatap suaminya dengan tajam.
“Jangan membujukku!” teriaknya
kepada Bi membuat para pelayat yang masih tersisa di rumah itu menjadi terkejut
karenanya. Bi segera menangkap lengan istrinya dan mengajaknya masuk ke dalam
kamar setelah mengucapkan maaf berkali-kali kepada orang-orang yang menyaksikan
mereka.
“Kenapa kau jadi histeris
begini?” tanya Bi dengan sabar, menatap istrinya yang kini terisak-isak menutup
wajahnya. Bi berdiri di hadapannya sambil bersidekap. Matanya memancarkan iba
dan cinta yang sarat, tapi Hana tidak mau tahu.
“Kita bicarakan ini di rumah,
setelah kita pulang tiga hari lagi.”
“Tidak,” sanggah Hana, “Kau
harus dengar ini sekarang.”
Bi menghela napasnya.
“Baiklah.”
“Jawab dengan jujur...kenapa
kau mau menikahi aku, Bi? Bukankah karena ayahku...dan kasihan padaku?”
Bi tidak segera menjawab dan
bergeming dari posisi awalnya, matanya yang tajam bersinar menatap Hana
lekat-lekat.
“Karena aku mencintaimu,”
jawabnya kemudian.
“Tolong, jangan bilang cinta.”
“Dengar, Hana ... kita sudah
sering membicarakan ini. Tidakkah seharusnya ...”
“Jawab aku, Bi!”
“Ah, aku harus jawab apa
lagi?”
“Kau mau menikahi aku karena
kau kasihan padaku dan kau merasa berhutang budi kepada Ayah!” terlepaslah
emosi Hana, walaupun kata-katanya yang keras itu sungguh tidak mencerminkan
hatinya. Kesedihan karena kematian ayahnya mengaktifkan kembali sel-sel
keangkuhan di otaknya. Bibirnya tersenyum sinis. Pertahanan dirinya otomatis
muncul.
“Aku ragu dengan ketulusanmu.
Memangnya ada di dunia ini lelaki yang ajaib seperti peranmu selama ini? Tidak
ada, kau hanya berpura-pura. Ayah pernah melepas budi padamu dan kau
membalasnya dengan menikahiku agar wajah ayah yang tercoreng bisa kembali putih
bersih. Setelah ayah meninggal, kau sudah tidak ada kewajiban apapun lagi. Ayo,
tinggalkan saja aku! Aku toh tidak pernah mencintaimu!”
“Hana,” bisik Bi mencoba
meraih tangan Hana. Hana menepisnya.
“Tidak usah membujukku!”
teriaknya.
“Apa sebenarnya maumu, Hana?”
“Kau belum jawab pertanyaanku,
Bi ... ayo, jangan sampai kau pura-pura lupa untuk menjawabnya.”
“Aku sudah menjawabnya ... aku
cinta kamu. Itu alasannya.”
“Bohong ... apa benar-benar tidak
ada kekhawatiran di hatimu sedikitpun tentang masa laluku?” Hana berbicara
seperti mendesis.
“Kau tahu perasaan cintaku
yang sebenarnya kepada siapa?”
“Sudahlah, Hana ...”
“Kau tidak khawatir jika aku
tidak akan diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mengandung seorang anakpun lagi
karena ... karena kepercayaan Tuhan yang pernah kudapat walaupun dengan cara
yang ... kotor ... dan berdosa sudah kusia-siakan dengan cara yang paling kotor dan
berdosa pula? Kau tidak khawatir jika suatu waktu aku ... aku ... akan
berlari ... kembali kepada Bram?” kata-kata Hana meluncur terbata-bata melalui
bibirnya yang gemetar. Tatapan matanya sayu dan air mata berjatuhan dari
pelupuknya.
“Hana ...” Bi hanya meraih dan
memeluknya. Dalam pelukan yang hangat dan nyaman itu hanya lemas dan pasrah
bagi Hana. Itulah yang dilakukannya. Sebenarnya dia merasakan geteran cinta
yang tulus dari Bi, tetapi hatinya menolak untuk mengakuinya. Perempuan kotor
dan berdosa seperti dia tidak mungkin seberuntung itu mendapatkan cinta dari
seorang seperti Bi, walaupun kenyataannya kini Bi adalah suaminya. Guncangan
atas kematian ayahnya benar-benar merusak segala keseimbangan yang telah
ditatanya selama ini. Kebahagiaannya, rasa cintanya pada Bi, rasa cinta dan
sakitnya pada Bram ...
Dan kini dia di sini, di rumah
Bram, mencoba meyakinkan dirinya sendiri akan cintanya.
Pada titik inilah sebenarnya
dia telah bisa merasakan hatinya. Dia heran dengan perasaannya sendiri saat
pertama bertemu kembali dengan Bram tadi pagi. Sungguh perasaan itu tidak
seperti yang selalu dipikirkannya selama ini. Tidak ada perasaan apa-apa lagi saat
Bram membukakan pintu untuknya; cinta atau dendam sakit hatinya tidak menemui
pelampiasan. Yang ada hanya kering, seperti sebuah babak yang biasa dalam
kehidupannya sehari-hari. Yang ada justru bayangan Bi yang lebih banyak
menguasainya.
Ah, dia telah menyakiti Bi,
kemungkinan dengan parah. Dia sungguh yakin kini akan cinta Bi., ketulusannya,
kemurniannya yang seolah-olah diwakili oleh keseluruhan getar pada panca
inderanya. Sesuatu yang ditolaknya dengan membabi buta karena dia merasa kecil
dan tak berarti buatnya. Selama ini dia hanya memenangkan sisi keangkuhannya
saja, perasaan tidak ingin dikasihani yang dialihkannya dengan dalih bahwa
cintanya tidak akan berubah untuk seorang yang justru telah menyakitinya sampai
dia sendiri sudah tidak bisa merasakan bagaimana lagi rasa sakit itu. Dia
merasa bodoh dengan mencoba mencari keyakinan itu di sini, karena keyakinan itu
sendiri sebenarnya ada di hatinya. Ada di hati Bi, jika dia mau mencarinya di
sana.
Hana, kau bodoh sekali,
desisnya. Sedikit senyuman terlihat di bibirnya.
Ketika Bram pulang sore itu,
dengan heran dia mendapati Hana berdiri di teras rumahnya.
“Eh?”hanya itu komentar Bram.
“Sudah kutemukan,” sambut Hana
dengan senyum yang manis sekali.
“Oya?” dahi Bram berkerut, ”Kau menemukan apa?”
“Yang aku cari.”
“Oh ...”
Bram menjatuhkan pantatnya di
kursi teras itu dengan malas. Kepalanya tengadah memandang ke langit-langit dan
tubuhnya direntangkan sedemikian rupa.
“Tidak jadi menginap?”
tanyanya.
“Tidak.”
“Sial ... padahal aku pikir aku
mendapatkan ikan segar malam ini.”
“Diam, kau!” bentak Hana
lirih, tapi mulutnya tersenyum, “Pikiranmu masih saja kotor seperti dulu.”
Bram terkekeh-kekeh.
“Kenapa bisa kau temukan di
sini?”
“Mudah saja, rumahmu memberi
banyak inspirasi.”
“Oh ...” Bram
mengangguk-angguk, ”Aku pun entah kenapa seharian ini berpikir tentang
perkawinan.”
“Oya?” tanya Hana tertarik,
“Maksudmu kau ingin menikah?”.
Hana mengambil tempat di
sebelah Bram.
“Ya, sepertinya,” jawab Bram
ragu-ragu.
“Siapa kira-kira perempuan
yang menderita itu?”
“Itulah.”
Mereka kemudian tertawa
bersama.
Hana merasakan keganjilan yang
amat besar di dirinya. Dua tahun yang lalu dia adalah perempuan yang masih
belum bisa berkompromi dengan selain kenangan buruk bersama lelaki di sampingnya
ini, tapi kini semua itu tak ada lagi.
Bukan cintanya kepada Bram
yang membuatnya merasa tidak mampu mencintai Bi, ataupun sakit hatinya, tapi
rasa rendah dirinyalah yang menutupi perasaan hatinya sehingga mengabaikan rasa
cinta yang tulus dari Bi. Dia sudah yakin akan dirinya kini. Dia akan pulang
dan menebus segala yang telah dilakukannya terhadap Bi dengan harga yang wajar
sebisa yang dia mampu, mengakui cintanya beribu-ribu kali lipat.
Sungguh, kini dia kangen
sekali pada Bi.
*****
Dinihari itu Hana tiba di
rumahnya. Di kamar, dilihatnya Bi tertidur miring memunggunginya. Dilepasnya
sepatunya, menghampiri suaminya dan memeluknya dari belakang. Gerakan halus
dari Bi membuat Hana mengerti bahwa Bi telah terbangun.
“Jangan berbalik,” bisiknya,
“Aku ingin seperti ini untuk beberapa saat.”
Terasa kemudian Bi hanya
menggerakkan bahunya sedikit untuk memperbaiki posisi tidurnya.
“Sudah puas berlari?” tanya Bi
kemudian. Lembut tanpa terasa menyindir. Matanya masih terpejam, tapi dari
bibirnya tersungging senyuman kelegaan. Sejenak kemudian dirasakannya pelukan
Hana bertambah erat.
“Belum ... aku masih terus ingin
berlari, Bi. Karena dengan berlari aku akan semakin mengenal cintaku sendiri.”
“Perempuan ... jadi apa yang
harus kulakukan? Mengejar?”
“Tidak ... kau diamlah saja di
tempatmu, Bi. Dengan diam kau pun meyakinkanku akan diriku,” bisiknya di telinga
Bi dengan getar penuh keharuan.
“Kau sakit?” Bi bertanya
khawatir. Badannya siap berbalik untuk berhadapan dengan istrinya, tapi Hana
menahannya dengan makin merapatkan pelukan dan menyembunyikan kepalanya di
punggung Bi. Sebenarnya dia pun ingin menyembunyikan air matanya.
“Aku serius, kalau kau sakit
malam ini juga kita ...”
“Ssh ... diamlah,” Hana
mengangkat wajahnya memandang suminya yang juga tengah mencoba memandang pula dari
balik bahunya. Bi melihat senyum bahagia di wajah istrinya pun mata itu sarat
dengan perasaan bahagia yang meluap.
Bi menjatuhkan lagi kepalanya
dan Hana makin kencang memeluknya.
“Bi ...”
“Emm ...?”
“Aku cinta kau ...”
“Iya ...”
“Iya apa?”
“Iya, aku sudah tahu.”
“Tahu dari mana?”
“Bau badanmu.”
Jawaban yang disusul dengan
pekik lirih dari Bi karena Hana langsung mencubit perutnya. Mereka tertawa.
“Bi ...”
“Emm ...?”
“Maafkan aku ...”
“Sudah dimaafkan.”
“Aku sering membuatmu susah.”
“Sudah tidak susah lagi.”
“Sering membuatmu bingung.”
“Sudah tidak bingung lagi.”
Hana tersenyum bahagia.
“Bi ...”
“Emm ...?”
“Maafkan aku karena selalu
menyusahkanmu, membingungkanmu, membuatmu kacau, meninggalkanmu, menyangkal
perasaanku, berkata kasar padamu, melakukan hal yang tidak pantas kepadamu,
membuatmu sedih ...”
“Sssh ... diamlah!”
Cigugur, 2 September 2010
2 komentar:
saklare neng mbang ndi kiye? agep tek sipetna lampune..
Good article....thank,s
Posting Komentar