: keponakan-keponakanku,
Aisyah dan Titi
“Rumah burung di mana, Pak?”
“Di suatu tempat, Nin.”
“Jauhkah?”
“Entahlah.”
“Ninin ingin diantarkan ke rumah burung, Pak. Ninin ingin
main sama burung.”
“Suatu saat nanti, Nin. Suatu saat nanti.”
Tanganku lalu digenggamnya. Kedua bola matanya yang bulat
penuh dan sehitam biji kelengkeng
menatapku dengan binar sebuah bintang di galaksi terjauh yang tak bisa kudeskripsikan
lebih lagi keindahannya. Gerakan kedua alisnya yang melengkung dan saling
bertemu menegaskan padaku bahwa janji yang kuucapkan telah dipahatnya menembus
kulit kepala mencapai otaknya, suatu waktu nanti harap akan ditepati.
“Ninin ingin pergi sekarang,” katanya kemudian dengan
penekanan. Tapi ketika seekor srigunting hinggap lagi pada batang
terendah pohon jambu, dia pun lupa dengan tuntutannya dan dengan jeritan khas
anak-anak memburu burung yang lincah itu. Baru dua langkah dijajaginya, burung
itu telah ketakutan, kabur terbang kembali. Terdengar desah kecewanya. Aku
tersenyum.
“ Marilah,” ajakku. Anakku itu hanya berdiri memandang
pepohonan dengan burung-burung pagi yang berloncatan dari dahan ke dahan.
Kadang menggoyang reranting dan mengirim embun lepas dari dedaunan mencapai
tanah, beberapa memercik pada hidung dan kelopak matanya, tapi dia masih tetap
terpukau terpaku, tak terganggu. Kuusap wajahnya lalu menarik tangannya untuk
pulang. Pagi yang kami nikmati memang telah berlalu dan burung-burung menjalani
kodrat alamnya masing-masing. Begitu pun seharusnya kami.
“Ke rumah burung, Pak,” bisiknya berkali-kali ketika
akhinya kugendong dia karena jalannya serasa setengah hati dengan kepalanya
terus bergerak mencari gerakan-gerakan burung yang seperti bersepakat
bermain-main di sekitar kami.
“Ya, Sayang,” jawabku di telinganya.
Saat itu juga terpikir olehku untuk menangkapi semua burung
yang beterbangan lalu kuletakkan di kedua belah tangannya yang gempal agar
dapatlah burung-burung itu ditanya tentang rumahnya. Pastilah wajah Ninin akan
riah, lalu bayangan teriakan-teriakan girangnya seakan menari-nari di kepalaku.
Aku akan sangat berbahagia menjadi seorang yang dapat memberikan segala yang
dimauinya. Apapun. Walau hingga saat ini hanya kesederhanaanlah yang menempati
keinginan terdalamnya, tapi sungguh, tak ada yang lebih membahagiakan buatku
selain mengetahuinya bahagia.
*****
“Apa yang kau lakukan?”
“Membuat rumah burung.”
“Seperti apa rumah burung yang akan kau buat itu?”
“Entahlah.”
“Kau yakin dengan apa yang kau lakukan?”
“Yakin sekali, Bu. Yakin sekali.”
Dari ekor mataku, kulihat istriku menggeleng-gelengkan
kepalanya. Beberapa orang yang melihatku pun bertanya-tanya hal serupa.
“Kau mau beternak lebah?”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Ini rumah burung.”
Aku sendiri menghabiskan beberapa jam untuk membuat sebuah
kotak sederhana dari papan sekaligus membawa dan mengikatnya pada dahan
tertinggi yang bisa kucapai dari pohon mangga di samping rumah, dekat pada
kamar Ninin. Aku tahu, burung-burung kerap menggoyang kembang-kembang mangga
hingga berjatuhan dan menunda buahnya. Maka, kupikir pohon mangga itulah tempat
yang paling tepat untuk rumah burung itu. Sudah terbayang di mataku beberapa
ekor burung – kuharapkan beberapa jenis – akan memasukinya dan aku bisa sekedar
menggenggam beberapa di antara mereka lalu memberikannya kepada Ninin.
“Kenapa tak kau beli saja seekor burung dengan sangkarnya?” tanya istriku setelah
tahu rumah burung yang kubuat sama sekali belum dihinggapi seekor burung pun.
Aku tersenyum.
“Aku ingin memberi pengetahuan tentang kemurnian alam pada
Ninin. Dia harus melihat segala sesuatu secara wajar sesuai dengan
imajinasinya. Jika aku tiba-tiba memperlihatkan dan memberinya burung dalam
sangkar, bukankah dia tidak melihat proses yang terjadi, bagaimana burung itu
dapat berada dalam sangkar? Lagipula dia sering bertanya padaku tentang rumah
burung. Inilah rumah burung itu. Semua, burung apapun itu, kuharap datang dan
masuk ke dalamnya.”
Kulihat mata istriku berkaca-kaca dan air matanya beberapa
detik kemudian segera tumpah.
“Kenapa menangis?”
“Tentu saja karena haru.”
“Kenapa haru?”
“Aku ingin pula dapat mengerti anak itu seperti halnya
kau.” Dia memelukku.
Itu sehari sebelum apa yang memang kuharapkan terjadi.
Keesokan paginya, kulihat seekor burung mungil berbulu hitam dan berparuh
kuning cerah bertengger di atasnya. Belum kulihat dia memasuki lubang yang
kubuat di bagian depan, tapi itu sudah memberi girang rasa padaku. Tak sabar
hatiku untuk memperlihatkannya pada Ninin. Dia belum tahu bahwa aku
membuatkannya rumah burung justru tepat di luar kamarnya. Aku ingin di saat dia
membuka jendela kamar itu di pagi hari, kelak dapat langsung dipandanginya
rumah burung itu.
Tiap pagi selepas mengajak Ninin berjalan-jalan dan tentu
saja masih mendengar ocehan-ocehannya tentang rumah burung, aku akan langsung
mengamati kotak di atas pohon mangga itu. Memang tidak banyak burung yang
berani untuk mendekat, tapi burung yang kulihat sejak awal hanya bertengger di
atasnya justru kini telah berani memasukinya. Mungkin terpikat biji-biji jagung
dan remah-remah roti yang kutebarkan di dalamnya, mungkin pula tertarik dengan
gerombolan semut yang memang kadang kulihat merubung remah-remah saat aku
memeriksa dan membersihkan rumah burung itu. Yang jelas, burung mungil berparuh
kuning itu selalu berada di sana dan telah mengundang pula seekor dari jenis
yang sama, mungkin pasangan hidupnya. Mereka, dua ekor burung itu, terlihat sangat nyaman
bermain-main di dalamnya.
“Berapa yang sudah singgah hari ini, Pak?” bisik istriku.
Sering dia turut denganku mengamati rumah burung itu.
“Dua. Mereka berpasangan. Ini satu pertanda baik. Jika
mereka bisa menyarangkan telur di sana, bayangkan saja olehmu, Ninin akan
bertetangga dengan sebuah keluarga burung.”
“Burung apa itu?”
“Entahlah.”
Istriku tersenyum lebar. Sepertinya sama denganku, dia
telah membayangkan Ninin akan sangat senang. Teringat kembali pertanyaannya
tentang rumah burung, kini dengan kepala tegak aku bisa menunjukkan kepadanya seperti apa rumah burung itu.
Adakah yang lebih membahagiakan dari keinginan buah hati yang terpenuhi?
*****
“Di mana rumah burung, Pak?”
“Di samping kamarmu sendiri, Ninin.”
“Ninin bisa lihat?”
‘Tentu saja.”
“Kapan Ninin di antar kesana, Pak?”
“Sekarang, Nin. Sekarang juga.”
Kuperlihatkanlah padanya rumah burung yang selama ini
memang kusembunyikan sementara darinya. Dengan adanya dua ekor burung yang
memang sudah menjadi penghuni tetapnya, aku merasa percaya diri. Memang lucu
saat mulut anakku itu terbuka lebar menganga dan kelopak matanya
bekerjap-kerjap gembira segera setelah melihat rumah burung itu, tapi saat dia
mulai akan berteriak-teriak, aku mencegahnya.
“Sshh...kalau kau berteriak dan membuat keributan,
burung-burung penghuninya akan kabur. Siapa pula yang suka dengan tetangga
ribut? Mereka tidak akan betah nantinya.” Ninin mengangguk-angguk dan meletakkan
jari telunjuk di bibirnya. Lalu dengan gerakan komikal yang berlebihan dia
mengendap-endap mendekat ke pokok pohon.
Tidak ada kelompok burung apapun hari ini. Aneh. Dua ekor
burung penghuni rumah burung itu pun tidak terlihat. Perasaan tidak nyaman muncul
di hatiku. Apalagi Ninin mulai terlihat jenuh dan bertanya-tanya kenapa tidak
dilihatnya seekor burungpun, walau kepalanya terus mendongak hingga aku
khawatir lehernya akan menjadi lelah.
Kuputuskan untuk memanjat. Mungkin ada hewan lain yang menempatinya atau
dasarnya telah menjadi kotor dan mereka jadi enggan mendekat sama sekali. Rumah
burung itu memang sepertinya kosong,
tidak ada tanda kedua burung itu di sana. Saat kemudian
aku coba mengintip lewat lubang di bagian depan, beberapa sisa remah roti yang
kemarin masih terlihat, begitupun biji-biji jagung, tapi ada sesuatu yang lain ... seekor ular hijau!
Panas hatiku. Pasti ular itu yang telah membuat
burung-burung pergi. Sia-sia pekerjaanku selama ini, justru di saat pertama aku
akan memperlihatkannya kepada Ninin. Dalam kemarahan, aku mematahkan sebatang
ranting kecil dan langsung memukul-mukulkannya ke bagian atas rumah burung itu.
Dalam hati kumaki-maki ular sialan itu dan berharap kepalanya segera akan
keluar dengan keributan yang kubuat lalu segera kupukul sekuat tenaga. Memang
benar, kepala ular itu akhirnya keluar, tapi justru beberapa detik kemudian
keseluruhan tubuhnya langsung mencelat melewati antara lengan dan perutku,
lolos seperti ikan yang meliuk di antara jaring. Kaget karena lenganku memang
sedikit kubuka untuk berkelit, keseimbanganku hilang, pegangan tanganku
terlepas dan justru tak sengaja menyambar rumah burung itu di saat pijakan kakiku pun ikut terlepas.
Aku jatuh. Rumah burung itu jatuh.
Dunia gelap sekejap. Apa jadinya rumah burung itu?
Rusakkah? Hancurkah? Kemana dua burung penghuninya? Pertanyaan-pertanyaan itu
seperti memaksaku untuk secepatnya membuka mata walaupun nyeri di sekujur tubuhku. Syukurlah, pada saat
akhirnya mataku terbuka, kulihat rumah burung itu sudah ada di pelukan Ninin.
Tidak rusak. Utuh walau jatuh.
“Rumah burung, Pak.”
“Ya, rumah burung,” sahutku sambil mencoba bangkit. Terasa jantungku
diremas kecewa karena rumah burung
itu telah kosong. Mudah-mudahan dia mau mengerti.
“Terima kasih. Ini rumah burung.
Lihat, Pak,” katanya lagi menyodorkan kotak itu ke depan. Seperti sebuah
keajaiban, dua ekor burung berbulu hitam dengan paruh kuning tiba-tiba saja hinggap di
atasnya. Aku tersenyum, senyuman kebanggaan dan kebahagiaan. Ninin pun
tersenyum, manis sekali. Apalagi saat itu sinar matahari pagi yang menerobos
dedaunan menembak tepat pada wajah mongoloid-nya, wajah cantik yang akan
terus menjatuhkan hatiku sampai kapanpun.
Cigugur, 15
Februari 2012
0 komentar:
Posting Komentar