ada sebuah rumah
dengan atap yang tinggi menembus langit
aku berada di dalamnya
enggan keluar
dengan atap yang tinggi menembus langit
aku berada di dalamnya
enggan keluar
hari ke-7....
Jam 12 malam tepat.
Cepat, aku meloncat ke sudut kamar, meringkuk dalam ketakutan. Air hujan yang
dibawa angin menepuk-nepuk kaca jendela menambah ketakutanku. Aku gemetar di
sudut itu. Ada yang rompal dari pohon mangga di luar sana, sepertinya. Ada
suara berdebum, mungkin dahannya patah dijatuhkan hujan angin.
“Manusia,” bisikku, “Pada
terlelap dan bermimpi, hantu-hantu gentayangan mencari-cari.” Entah berapa puluh kali kata-kata itu
kuucapkan, seperti aku menjadi tenang.
“Manusia pada terlelap
dan bermimpi, hantu-hantu gentayangan mencari-cari ...”
Hujan seperti berhenti
tiba-tiba. Sekitarku jadi remang cahaya dan aku merasa, aku telah berada di
tempat lain. Tempat itu, hutan pinus itu.
“Ibu,” aku memanggil,
entah kenapa. Bukankah dia...
“Ibu ...,” aku mengulangnya
sekali lagi. Suaraku seperti merambat lambat di dalam air, mungkin itu memantul
di batang-batang pohon pinus di sekitarku. Aku mencari-cari, memanggil-manggil
berulang kali.
“Ibu, Ibu, Ibu...”
Angin lambai, abai dalam
pikiranku. Tanah bergetar. Aku berjalan dalam keheningan yang luar biasa, pun
dengan ketakjuban yang luar biasa. Bagai aku pernah berjalan di jalan ini, tapi
aku tak tahu kapan. Mungkin di suatu waktu yang jauh, yang sudah tak mampu
kuingat lagi.
Aku mendengar suara.
Wahai, adakah yang bernyanyi? Ataukah suara angin yang melanda pohon-pohon
pinus ini? Aku mendengar nyanyian.
Aku mendengar nyanyian yang hanya kumengerti dalam hati. Bahasa yang tak
kumengerti dengan telingaku, seperti dari tanah yang jauh.
ada sebuah rumah
dengan atap yang tinggi menembus langit
aku berada di dalamnya
enggan keluar
dengan atap yang tinggi menembus langit
aku berada di dalamnya
enggan keluar
Aku terdiam, masih
dalam ketakjuban. Suara itu, nyanyian yang membuat kalbuku menggigil. Kenapa, Tuhan,
ada perasaan seperti ini? Aku teringat dahulu, saat aku masih kecil, kala ibuku
tertawa bangga melihatku bernyanyi di hadapan ayah, kakek dan nenekku.
“Anak pintar,” masih
terngiang ayahku, “Siapa mengajarimu?”
“Ibu!” jawabku cepat
dan berlari mendapatkannya. Ibu memeluk dan menciumiku.
Tapi itu dulu sekali,
sewaktu kenangan masih bukan kenangan dan aku kangen masa itu. Rindu. Begitu
rindunya hingga aku menangis.
Aku kemudian jatuh berlutut. Bersujud di tanah berpasir. Kerinduan yang menggigit membawa kesedihanku membuana ke segala penjuru. Aku kembali tersadar, betapa asingnya tempat ini, begitu terasingnya aku...
Aku kemudian jatuh berlutut. Bersujud di tanah berpasir. Kerinduan yang menggigit membawa kesedihanku membuana ke segala penjuru. Aku kembali tersadar, betapa asingnya tempat ini, begitu terasingnya aku...
“Andini ...,” tiba-tiba
kudengar sebuah suara yang teramat kukenal. Ibu! Aku bangkit dengan cepat.
Pandanganku yang lindap mengais-ngais ke segala arah. Benar suara itu ada, tapi
tak kutemukan asalnya dengan biji mataku. Ada perasaan menggebu-gebu yang
mendorongku, aku berlari. Sekelilingku adalah ilalalang kini, aku tak peduli.
Kedua belah kakiku berderap-derap cepat membelahnya menuruti desakan dalam diriku
yang aku pun tak mengerti. Tapi hingga jauh dan lelah, ilalang-ilalang ini tak
jua pupus dari hadapanku.
Aku lemas dan jatuh seperti daun-daun kering di halaman yang lepas dari dahannya, yang setiap pagi selalu dibersihkan Ibu, yang sering kutusuk-tusuk dengan lidi bila tanah sedang basah, yang setiap sore dibakar Ayah di lubang sampah di halaman belakang...
Aku lemas dan jatuh seperti daun-daun kering di halaman yang lepas dari dahannya, yang setiap pagi selalu dibersihkan Ibu, yang sering kutusuk-tusuk dengan lidi bila tanah sedang basah, yang setiap sore dibakar Ayah di lubang sampah di halaman belakang...
Mataku mengerjap.
Apakah ini aku, masih di sudut kamar menggigil ketakutan? Karena benar-benar
kutakutkan bayangan-bayangan itu, hantu-hantu yang bermunculan dari jendela
kamarku, mamandangiku seperti sesuatu yang mengherankan.
“Tidak ada apa-apa,”
kuingat ibuku berkata suatu waktu, “Kau hanya sedang sakit.” Sakit. Mungkin gila. Dan kegilaanku
itulah yang membuatnya pergi.
“Tidurlah. Ibu akan
selalu menemanimu,” katanya sambil menyelimutiku. Itu dahulu, saat awal
keanehan dalam diriku. Aku selalu terjaga di tengah malam. Kadang menangis,
kadang berteriak-teriak histeris, kadang hanya berjalan-jalan mengitari rumah
atau sejauh apapun yang menggerakkan kakiku tanpa tahu tujuan, bahkan melukai
diriku sendiri. Tapi ibuku benar, ia selalu menemaniku, mengawasi setiap
gerakku dan terus terjaga sepanjang malam.
Angin menyusup tiba-tiba lewat ventilasi kamar. Aku menggigil. Adakah hantu-hantu itu menyusup pula bersama angin?
Angin menyusup tiba-tiba lewat ventilasi kamar. Aku menggigil. Adakah hantu-hantu itu menyusup pula bersama angin?
“Manusia pada terlelap
dan bermimpi, hantu-hantu gentayangan mencari-cari,” mantera itu kuucapkan lagi
berkali-kali.
Usiaku 16 tahun ketika
mulai banyak lelaki yang mendekatiku. Aku cantik, mempesona dengan kepribadian
yang juga cantik. Kata Ibu, aku bagaikan ratu. Karenanya kupikir, aku harus
mendapatkan seorang raja.
Aku tahu, entah bagaimana, seperti itu telah masuk dengan sendirinya ke dalam otakku, seseorang dari mereka telah melingkarkan jerat yang jahat pada leherku. Terkutuklah dia! Penderitaan padaku, juga bagi ayah dan ibuku. Aku tak bisa menerka-nerka siapa, bahkan setiap otakku berusaha untuk, aku tiada pernah bisa. Guna-guna itu begitu kuat, seutuhnya aku berada dalam genggamannya.
Aku tahu, entah bagaimana, seperti itu telah masuk dengan sendirinya ke dalam otakku, seseorang dari mereka telah melingkarkan jerat yang jahat pada leherku. Terkutuklah dia! Penderitaan padaku, juga bagi ayah dan ibuku. Aku tak bisa menerka-nerka siapa, bahkan setiap otakku berusaha untuk, aku tiada pernah bisa. Guna-guna itu begitu kuat, seutuhnya aku berada dalam genggamannya.
Angin menepuk-nepuk
jendela kamarku tiba-tiba. Duh, bukankah ketakutanku tadi mulai reda? Tapi,
bukankah jendela itu pintu masuk pilihan hantu-hantu itu? Jendela itu...
Ada saat-saat aku
sangat menyukai jendela itu, seperti ia sebuah magnet dan aku bilah besinya.
Sepanjang hari aku selalu berdiri di sana memandang keluar, pada tanah dan
pepohonan di pekarangan.
“Kau sudah terlalu lama
di sana, Andini. Kembali ke tempat tidurmu, karena angin musim lagi
buruk-buruknya,” kata ibuku suatu kali. Tidak, bahkan selalu, setiap hari.
Setiap aku terpacak di sana seperti batang pohon besar, bergeming hingga malam
tiba dan menghitamkan pandanganku...
Aku bangkit.
“Manusia pada terlelap
dan bermimpi, hantu-hantu gentayangan mencari-cari.”
Seperti aku menjadi
tenang.
****
hari ke- 39.....
Jam 12 malam tepat. Aku
meloncat ke sudut kamar. Tak ada angin, tak ada hujan, tapi ketakutan
menyelubungiku. Tuhan, guna-guna ini masih ada? Kenapa aku tetap dalam
ketakutan dan kenapa aku menjadi nelangsa? Aku rindu Ibu, tapi kenapa dia
pergi? Kenapa dia pergi dan aku kehilangan pelindungku?
“Semua akan diakhiri,
Andini,” katanya di suatu pagi. Aku hanya terdiam memandang matanya. Ya, akan diakhiri.
“Kau percayalah pada Ibu.”
Dihentikannya belaiannya pada rambutku dan mendekatkan bibirnya ke kupingku.
“Percaya pada ibu,”
bisiknya lagi dengan suara mengandung getar. Ada keharuan di sana, aku
mengerti. Dia menangis, meninggalkan kamarku dengan langkah gontai. Aku pun kini berjalan gontai
mengelilingi kamarku, memandangi foto-foto lama di meja belajarku,
coretan-coretan tak karuan pada tembok kamar, tepat di sudut sana.
“Kau bisa
mencoret-coret buku gambarmu sendiri, Andini. Tunggu sampai ayahmu tahu, kau
pasti kena marah nanti,” kata Ibu ketika memergoki coretan-coretan itu. Tapi Ayah
ternyata tak marah. Biarkan saja, katanya, karena aku sedang giat-giatnya
berimajinasi. Akhirnya memang coretan-coretan itu tetap di sana, Ayah tidak
pernah mengecat ulang tembok kamar ini. Ibu pun tidak pernah
mempermasalahkannya lagi. Tapi lucunya, justru setelah itu aku tidak pernah
lagi mengusik tembok kamar ini lagi dengan coretan-coretanku.
Lama aku memandangi itu, seperti aku tengah di sana, seperti aku tengah berada pada masa kecilku, berkreasi dengan pastelku...
Lama aku memandangi itu, seperti aku tengah di sana, seperti aku tengah berada pada masa kecilku, berkreasi dengan pastelku...
Ada dua buah gunung
sejajar dengan garis yang putus-putus dan asap mengepul dari kedua puncak kerucutnya.
Ada sungai yang membentang panjang di bawahnya dan sawah-sawah lengkap dengan
pohon-pohon padi yang jarang-jarang. Ada juga pesawat terbang, lalu
burung-burung di angkasa. Ah, betapa lucunya. Ada pula tulisan nama-nama teman
sepermainanku... Uli, Santi, Heni, Pupung...
Cahaya tiba-tiba
remang. Muncul suara-suara yang tak kumengerti hilir-mudik di kedua belah
kupingku. Tuhan, perasaan ini datang lagi! Aku menghambur mendapatkan sudutku.
Aku benci perasaan ini, aku benci perasaan takutku...
Di hutan pinus ini,
angin serasa mati dan gelembung-gelembung udara bergerak di sekitarku. Aku
telah hapal jalan ini, telah hapal yang akan terjadi. Aku tahu semuanya pasti
berulang kembali. Nyanyian itu. Nyanyian
itu terdengar lagi menyusup ke inderaku.
ada sebuah rumah
dengan atap yang tinggi menembus langit
aku berada di dalamnya
enggan keluar
dengan atap yang tinggi menembus langit
aku berada di dalamnya
enggan keluar
Aku menangis. Ada yang
menghentak di dadaku ketika mendengar bait yang itu. Aku teringat Ibu. Aku
teringat kata-katanya ketika berdiri mematung di pintu kamarku dan pagi itu terakhir
kalinya kami bertemu.
“Tak akan ada lagi
penderitaanmu, Andini.”
Ia menatapku lama. Kemudian dalam satu gerakan yang tenang ia meraih tanganku...
Ia menatapku lama. Kemudian dalam satu gerakan yang tenang ia meraih tanganku...
Aku berlari lagi kini,
membelah ilalang di hadapanku hingga tersibak semua, terinjak-injak, berpatahan.
Entah ke arah mana ini, tapi aku merasakan kesempatanku telah hampir habis. Aku
seperti diburu-buru waktu. Waktu dan aku harus mendapatkan Ibu. Di ujung sana
atau entah di bagian mana, aku yakin ia tengah menungguku.
“Andini...”
Aku berhenti. Di
hadapanku kini berdiri megah sebuah rumah dengan atap yang tinggi menembus
langit.
“Andini ...,” suara itu
lagi. Di sanalah aku
melihatnya, berdiri di ujung pelangi yang jatuh di atas kolam di tengah taman
yang luas. Entah kenapa, aku tak kuasa berlari mendapatkannya seperti
keinginanku.
“Andini, maafkan Ibu,” ia berkata. Wajahnya begitu damai
dalam cahaya warna pelangi. Aku tak tahu apa yang dimaksudkannya ataupun apa yang
harus kulakukan. Ketika kemudian ia mendekati dan memelukku, terasa lebur
segala sendi dalam tubuhku. Aku menangis, kami menangis bersama…
Aku menangis di
sudutku. Segalanya menjadi terang lampu kamar.
“Manusia pada terlelap
dan bermimpi, hantu-hantu gentayangan mencari-cari..”
Tiba-tiba segalanya
menjadi jelas, ada sebuah kesadaran yang menyusup masuk ke dalam otakku. Selama
ini ia hanya tertutup, segala inderaku mati hingga aku hanya melihat apa yang
ingin kulihat. Pandanganku kemudian mengarah pada cermin yang tergantung di
tembok kamarku. Perlahan, dengan langkah yang beringsut aku mendekati itu dan
memandang ke dalamnya.
Aku menjerit. Aku
berlari dari sana, terhuyung dan hampir saja jatuh jika tidak segera mendapatkan sudutku.
Kenyataan yang terhampar benar-benar memukulku, mengejutkan. Kenapa, Tuhanku? Segala pertanyaan melanda otakku dan
otakku yang tidak mampu ini makin menjadi. Tapi, sungguh, kini segalanya
berputar dengan cara yang benar dan sedikit demi sedikit kesadaranku akan
menemukan jalannya dari ketidakmampuanku. Aku hanya terduduk di sudutku tak
berbuat apapun, menunggu. Kesadaran itu perlahan-lahan terangkat ke permukaan,
segala jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku terhampar. Entah, seperti ia menyusup
masuk begitu saja ke dalam kepalaku. Suatu kenyataan.
Ya, aku mengerti.
Segalanya menjadi jelas sekarang. Segalanya menjadi jelas, Tuhanku.
Aku bangkit.
****
hari ke- 40.....
Jam 12 malam tepat. Aku
hanya berdiri mematung, tiada rasa takut yang asing seperti biasanya itu lagi.
Waktuku memang hampir tiada lagi, karenanya aku harus menuntaskan ini semua. Kemudian aku bernyanyi. Suara yang parau
menembus kesepian dinihari itu. Sebuah nyanyian yang hanya kumengerti dalam
hati.
ada sebuah rumah
dengan atap yang tinggi menembus langit
aku berada di dalamnya
enggan keluar
dengan atap yang tinggi menembus langit
aku berada di dalamnya
enggan keluar
Dengan hati dan sungguh
tiada ketakutan lagi. Semua makin jelas kini. Semua makin jelas kini, Tuhan.
Pitu kamar terbuka
perlahan. Seperti dalam gerakan yang lambat, Ayah berdiri di sana. Seperti
lelah raut wajahnya, kelelahan yang sarat di balik tubuh kekarnya.
“Kembalilah tidur,” ia
bersuara kemudian, sangat hati-hati dan penuh kelembutan. Aku tetap diam, hanya
menatap tepat di matanya.
“Seharusnya kau mampu
melepasnya. Tidak akan berlarut-larut seperti ini,” katanya kemudian. Ya. Tidak akan berlarut-larut karena aku
telah mengerti dan akan mengakhiri semua.
Ayah mendekat, mencoba
meraih leherku. Aku surut ke belakang.
“Kembalilah tidur,”
bujuknya. Aku makin surut ke belakang.
“Aku akan mengakhiri
ini, Ayah,” kataku. Ayah menghentikan
gerakannya. Terkejut.
“Apa ... apa maksudmu?”
ia terbata-bata.
“Aku akan akhiri ini
agar Ibu bisa tenang.” Makin terkejut raut wajahnya,
bibirnya nampak gemetar.
“Ayah,” lanjutku,
“katakan pada Ibu, masa duka cita telah selesai. Takkan ada lagi malam-malam
yang dilalui dengan menangis penuh penyesalan di kamar ini. Aku menyayanginya
dan tidak ingin kehancuran dirinya.”
Terbayang malam-malam
setelah hari itu Ibu selalu menangis di kamar ini. Dia tidak tahu, keadaannya
yang demikian ternyata memperberat jalanku...
Penderitaanku dahulu
memang begitu hebat dan tanpa harapan. Dalam kesakitanku yang tiada tara, tidak
ada siapapun yang mampu tegak hatinya, terlebih lagi seorang ibu. Karenanya aku
benar-benar memahami apa yang ada dalam pikirannya dan sama sekali tidak
menyesali caranya untuk mengakhiri penderitaanku.
Aku lalu berjalan
menuju cermin dan menatap ke dalamnya. Refleksi sosok Ibu terlihat di sana
dengan wajah yang kuyu dan pucat, namun senyum di bibirnya begitu ikhlas, begitu
tulus...
“Aku menyayangi Ibu.
Aku tidak pernah menyesali apa yang Ibu lakukan,” aku berkata padanya, pada
refleksi itu dan menangis. Ibu menangis.
Kurasakan kemudian
tangan kekar Ayah merengkuhku dari belakang bersamaan dengan perasaan kosong
yang melandaku saat itu. Tubuhku terasa ringan dan perlahan kurasakan melayang.
Masih pula kurasakan Ayah mempererat pelukannya menahan tubuh Ibu agar tak
tumbang.
Aku pergi.
Suatu keheningan yang
mendamaikan menyelimuti ketika aku merasa menyatu dengan butir-butir ion udara
yang membawaku melanglang ke keluasan alam semesta. Kenangan-kenangan memenuhi
otakku seperti sebuah catatan yang dibukakan dari awal hingga akhir. Terdengar
tawa-tawa bahagia Ayah dan Ibu. Terdengar pula tangis pertamaku...
Pagi itu ibu berdiri di
depan pintu kamarku.
“Percayalah pada Ibu,
Andini,” katanya. Kemudian ia meraih tanganku dan membimbingku menuju balkon.
Di sana ia memelukku sangat lama seperti belum pernah memelukku sebelumnya. Aku
pun memeluknya, seolah-olah tahu apa yang ada dalam pikirannya dan aku telah
siap...
Masih terasa tiupan
angin yang sepoi-sepoi di telingaku dan kicauan burung-burung pagi itu ketika
ia mengucapkan maaf berkali-kali dan melepaskan pelukannya, membiarkan tubuhku
meluncur ke bawah...
Aku pergi.
Aku pergi dengan tenang
karena sudah pernah kulihat tempat itu. Sebuah tempat yang hanya kutahu dengan
hati. Sebuah rumah yang beratap tinggi menembus langit yang kuyakini dengan
hatiku bahwa aku akan berdiam di dalamnya untuk selama-lamanya...
Cigugur, 6 Mei 2007
2 komentar:
Ini cerita tentang orang sinting, ya?
Dia bunuh diri karena dalam bayangannya, ibunya ngajak dia ke dunia lain: rumah beratap tinggi menembus langit.
Ah, puciiing... Padahal udah baca berkali2.
kuncinya waktu liat cermin dan flashback di ending..haiyah, masa' aku jelasin? ah, cerpen lama inih..hahaha..
Posting Komentar